Renungan tanggal 13 Mei 2007
Kis. 16:9-15, Mzm. 67, Why. 21:10, 22 – 22:5, Yoh. 5:1-9
Injil Yohanes dalam menyaksikan kisah penyembuhan di tepi kolam Betesda hanya memberi keterangan dengan latar-belakang yang sangat singkat, yaitu: “Sesudah itu ada hari raya orang Yahudi, dan Yesus berangkat ke Yerusalem” (Yoh. 5:1). Dalam keterangan ini Injil Yohanes tidak memberi catatan yang spesifik jenis hari raya orang Yahudi, sehingga kita tidak mempunyai gambaran yang jelas. Tetapi yang jelas pada hari raya tersebut Yesus berangkat ke Yerusalem. Sehingga apapun bentuk hari raya itu pastilah kota Yerusalem waktu itu diwarnai oleh sukacita dan keramaian orang banyak. Namun menarik di tengah-tengah keramaian dan sukacita orang banyak yang merayakan hari raya tersebut, secara kontras dekat Pintu Gerbang Domba ada sebuah kolam yang bernama Betesda hanya banyak orang dari berbagai penyakit sedang berbaring. Di sana banyak orang sakit berbaring, yaitu orang-orang buta, orang-orang timpang dan orang-orang lumpuh. Mereka tidak dapat merayakan kegembiraan dan sukacita pada hari raya tersebut. Aktivitas mereka hanyalah menantikan dengan rasa was-was goncangan air kolam itu. Sebab ketika kolam air tergoncang oleh malaikat Tuhan, maka barangsiapa yang terdahulu masuk ke dalamnya maka ia akan sembuh, apapun juga jenis penyakitnya. Karena itu yang timbul dalam pikiran mereka hanyalah senantiasa bersikap waspada dan segera cepat-cepat untuk masuk ke kolam ketika air kolam tersebut tergoncang. Air kolam itu menjadi pusat perhatian yang mana semua pancaindera orang sakit tertuju ke arah air kolam tersebut.
Bagi orang buta, yang jadi andalannya adalah pendengarannya. Sehingga ketika mereka mendengar bunyi air kolam tergoncang maka mereka segera lari menuju kolam Betesda walau mungkin mereka dapat salah arah. Sebaliknya bagi orang timpang, mereka mampu melihat goncangan air kolam tersebut tetapi mereka tidak mudah masuk ke dalam air kolam tersebut. Lebih sulit lagi bagi orang yang lumpuh, mereka senantiasa kalah cepat untuk masuk ke dalam kolam Betesda. Karena itu di sekitar kolam air Betesda tersebut tidak ada suasana gembira dan sukacita. Semua orang sakit sedang berjuang dan bersaing untuk menjadi yang paling cepat untuk masuk ke dalam air kolam tersebut. Nama kolam “Betesda” berarti: “rumah anugerah” (house of grace). Tetapi semua orang sakit tersebut tidak merasa berada dalam suasana sukacita karena anugerah Allah. Mereka sedang berpikir untuk keselamatannya masing-masing, dan hanya mereka yang cukup sigap, terampil dan lebih cepat yang dapat memperoleh kesembuhan. Sehingga tidak mengherankan apabila ada orang sakit yang terus terbaring walau dia sudah 38 tahun lamanya lumpuh. Dia selalu kalah cepat, dan terus terbaring tanpa pengharapan. Dalam konteks ini anugerah Allah hanya dapat diperoleh secara kompetitif dan dikaruniakan kepada mereka yang berprestasi lebih cepat dan sigap. Sangat menarik untuk memahami konteks kolam Betesda sebagai rumah anugerah Allah yang justru diwarnai oleh suasana persaingan, upaya saling mendorong sesama yang sakit, dan mencoba untuk menjadi yang paling cepat. Di kolam Betesda yang adalah rumah anugerah Allah tersebut ternyata dihuni oleh orang-orang yang egoistis memikirkan kesembuhan dan keselamatannya masing-masing, serta miskin dalam kemurahan hati.
Ketika seseorang telah terbiasa tinggal dengan sesama atau orang-orang yang egoistis, maka dia juga terbiasa untuk bersikap dingin untuk menyambut orang lain yang datang. Di Yoh. 5:5-6 orang yang sakit lumpuh selama 38 tahun tidak memperlihatkan sikap antusias dalam menyambut Tuhan Yesus. Dia juga tidak berseru minta tolong kepada Tuhan Yesus agar dia disembuhkan dari penyakitnya. Justru sebaliknya, dalam kasus ini Tuhan Yesus yang berinisiatif menawarkan kesembuhan kepada orang yang sakit lumpuh itu. Tuhan Yesus berkata: “Maukah engkau sembuh?” Jawab orang yang sakit lumpuh itu: “Tuhan, tidak ada orang yang menurunkan aku ke dalam kolam itu apabila airnya mulai goncang, dan sementara aku menuju ke kolam itu, orang lain sudah turun mendahului aku” (Yoh. 5:7). Di balik perkataan orang lumpuh tersebut kita dapat merasakan suatu nada putus-asa yang sangat dalam karena berulangkali dia selalu gagal untuk menuju kolam karena teman-temannya selalu lebih berhasil mendahului dia. Justru di tengah-tengah perasaan putus-asa itulah Tuhan Yesus memberikan penyembuhan yang menyeluruh. Tuhan Yesus berkata kepadanya: “Bangunlah, angkat tilammu dan berjalanlah” (Yoh. 5:8). Maka orang yang telah sakit lumpuh selama 38 tahun tersebut segera dapat berjalan dan pulih kembali.
Selama hampir 4 dekade orang lumpuh itu terabaikan dan tidak ada orang yang mau peduli untuk menolong menggendong dia ke arah kolam ketika air tergoncang. Bahkan orang-orang lain di tepi kolam Bethesda itu mungkin dapat memperoleh keuntungan tertentu dengan kondisi fisik orang lumpuh yang lemah dan tidak berdaya itu. Justru di tengah-tengah sesama yang selalu mengabaikan dia, Tuhan Yesus memberi perhatian yang sangat khusus dan memulihkan keadaan sakitnya. Bukankah melalui kisah ini kita disadarkan bahwa ketika kita berada dalam posisi diabaikan dan tidak dipedulikan oleh sesama dan orang-orang di sekeliling kita, sesungguhnya Tuhan memberi perhatian khusus kepada kita? Kehidupan sehari-hari dalam masyarakat kita sebenarnya banyak dihuni oleh orang-orang yang merasa dirinya diabaikan oleh orang lain. Mereka merasa serba sendiri dan kesepian di tengah-tengah keramaian orang banyak. Bahkan perasaan terabaikan, serba sendiri dan kesepian tersebut sering menghinggapi semua lapisan anggota masyarakat, tidak peduli apakah mereka kaya, orang-orang yang terpandang maupun kaum intelektual. Apabila orang-orang yang kaya, terpandang dan terpelajar sering mengalami perasaan terabaikan oleh kehidupan masyarakat yang serba sibuk dan modern ini, kita tidak dapat membayangkan bagaimana keadaan anggota masyarakat kita yang hidup dalam kekurangan, miskin, tidak memiliki kekuatan apa-apa, tidak memiliki akses pertolongan, dan hidup dalam berbagai tekanan psikologis maupun politis. Jadi situasi marginalisasi dalam kehidupan masyarakat kita tidak cukup hanya terbatas kepada suatu kelompok tertentu. Tetapi harus kita akui bahwa kelompok masyarakat yang lemah secara ekonomis, kurang terpelajar dan tidak memiliki kemampuan atau keahlian tertentu merupakan kelompok masyarakat yang paling menderita baik secara lahir maupun batin. Mereka sungguh-sungguh terabaikan selama puluhan waktu lamanya tanpa ada harapan pemulihan dan perubahan masa depan yang lebih cerah.
Berita firman Tuhan pada hari ini memberi pengharapan yang baru dan melegakan. Ketika orang yang sakit lumpuh selama hampir 40 tahun lamanya tanpa harapan untuk pulih, justru pada saat itulah Tuhan Yesus mendatangi dia untuk dipulihkan. Ini berarti di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang sering ditandai oleh kesepian, kesendirian, merasa hidup tidak bermakna, dan terabaikan maka pada saat yang demikian Tuhan Yesus datang menemui setiap individu untuk merespon tawaran pemulihan yang disediakan olehNya. Apalagi ketika di antara kita saat ini mengalami marginalisasi secara nyata yang mana anda selalu diabaikan, tidak pernah dianggap ada, dipandang sebelah mata, selalu dihina, dikalahkan dan ditekan habis-habisan; maka pada saat yang kelam tanpa pengharapan tersebut Tuhan Yesus datang menemui saudara, dengan mengajukan pertanyaan: “Maukah engkau sembuh?” Sebelum kita menunjukkan prestasi diri sebagai orang yang mengasihi dan melayani Dia, Tuhan Yesus telah terlebih dahulu menyembuhkan semua luka-luka batin yang selama ini telah melumpuhkan kekuatan kepribadian kita. Luka-luka batin kita dibalutNya dengan kelembutan kasihNya, sehingga kelumpuhan spiritual dan kepribadian kita diberdayakan kembali. Karena sentuhan kasihNya kita dapat menemukan kembali sumber kekuatan, daya semangat, pengharapan dan martabat kita sebagai citra Allah yang berharga. Tujuannya agar kita dapat menjadi tangan-tangan Kristus yang bekerja untuk memulihkan sesama yang terabaikan atau yang termarginalisasi dalam berbagai bentuk.
Anggota jemaat yang disaksikan di Kis. 16 merupakan persekutuan jemaat yang telah dipulihkan oleh kasih Kristus. Itu sebabnya di Kis. 16:5 disaksikan, yaitu: “Demikianlah jemaat-jemaat diteguhkan dalam iman dan makin lama makin bertambah besar jumlahnya”. Tampaknya orang-orang Yahudi dalam Kis. 16 merupakan orang-orang yang hidup di perantauan dan mereka menjadi kelompok minoritas. Namun dalam iman kepada Kristus, mereka tidak lagi terikat secara eksklusif oleh hubungan etnis sebagai orang Yahudi. Sebagai jemaat Kristen, mereka dipersekutukan juga dengan orang-orang Yunani yang percaya kepada Tuhan Yesus. Sehingga label minoritas dan eksklusivisme sebagai orang Yahudi tidak lagi disandang oleh mereka. Mereka kini menjadi persekutuan umat yang saling mengasihi dalam iman kepada Kristus. Itu sebabnya jemaat-jemaat Kristen tersebut makin diteguhkan dalam iman dan mereka makin lama makin bertambah besar jumlahnya. Tetapi ternyata peneguhan dan pertambahan jumlah anggota jemaat tersebut bukan sekedar suatu laporan pertambahan secara kuantitatif belaka. Peneguhan dan pertambahan anggota jemaat tersebut pada prinsipnya justru untuk mendukung para utusan Tuhan ke Makedonia.
Sangat menarik bahwa Tuhan menggerakan rasul Paulus dan Silas ke arah Makedonia. Di Kis. 16:6-7 disaksikan: “Mereka melintasi tanah Frigia dan tanah Galatia, karena Roh Kudus mencegah mereka untuk memberitakan Injil di Asia. Dan setibanya di Misia mereka mencoba masuk ke daerah Bitinia, tetapi Roh Yesus tidak mengizinkan mereka”. Tentunya sangat menarik apabila ada kajian teologis yang ilmiah mengenai ayat ini dengan suatu pertanyaan, mengapa Roh Kudus mencegah rasul Paulus dan Silas untuk memberitakan Injil di Asia dan daerah Bitinia. Namun satu hal yang penting dalam teologi iman Kristen, yaitu bahwa seluruh arah gerak dan pertumbuhan gereja didasarkan pada kuasa anugerah dan kehendak Allah sendiri. Berhasil atau tidaknya suatu pemberitaan Injil atau pembentukan jemaat bukanlah ditentukan oleh kekuatan, kepandaian dan teknik yang canggih dari orang-orang Kristen. Manakala Tuhan Yesus dan Roh Kudus menggerakkan rasul Paulus dan Silas ke Makedonia, karena waktu itu Makedonia merupakan daerah yang sangat terpencil dan membutuhkan pertolongan. Itu sebabnya dalam suatu penglihatan, rasul Paulus dan Silas melihat ada seorang Makedonia yang berseru: “Menyeberanglah ke mari dan tolonglah kami!” (Kis. 16:9). Perhatikanlah bahwa dalam penglihatan itu orang Makedonia berseru agar dilawat dan minta tolong kepada rasul Paulus dan Silas. Apakah ini berarti penglihatan tersebut merupakan simbolisasi dari orang-orang Makedonia yang saat itu sedang tidak berdaya dan termarginalisasi, sehingga mereka membutuhkan pertolongan dan pemulihan?
Selaku gereja kita sering memiliki orientasi teologis yang ego-sentris. Kita sering memposisikan diri sebagai orang-orang yang lemah, minoritas dan tanpa daya tetapi mengabaikan kasih-karunia Allah yang sudah diterimanya. Akibatnya kita tidak mampu peduli dengan sesama yang sebenarnya lebih menderita dari pada kita. Teologi operasional kita sering berwujud dalam bentuk ketidakpedulian dan tanpa simpati terhadap sesama yang terabaikan dan termarginalisasi. Karena itu kita seperti orang-orang sakit yang sedang berada di tepi kolam Betesda menunggu malaikat Tuhan datang untuk menggoncang air kolam tersebut. Sehingga tanpa rasa malu kita berebut untuk menjadi yang lebih dahulu memperoleh keselamatan bagi diri kita sendiri. Untuk itu mungkin kita juga tidak akan segan-segan menggunakan siku tangan, tendangan kaki dan kekuatan fisik kita agar dapat menyingkirkan semua rival kita. Situasi ini seperti mengulang kembali kisah tragedi di Mina atau seperti orang berebut ke luar dari stadion sepak bola yang sedang ricuh. Tak perlu merasa bersalah ketika kaki kita menginjak-injak kepala orang yang sedang jatuh, terluka dan tidak berdaya; sebab bukankah yang penting diri kita sendiri yang selamat? Di dalam lingkup halaman Betesda yang adalah rumah anugerah Allah (house of grace), manusia sering berjuang meraih keselamatan dengan mengedepankan egoisme diri dan sikap yang tega untuk mengorbankan kehidupan dan masa depan sesamanya. Mereka melupakan satu aspek teologis yang sangat penting, bahwa ternyata Tuhan Yesus tidak berada di pihak mereka atau mendukung arogansi mereka. Justru Tuhan Yesus lebih berpihak dan berada di antara sesama yang terabaikan dan yang menjadi korban karena sikap egoisme diri dari dari sesamanya.
Karena itu dalam kehidupan sehari-hari di manakah posisi kita berada? Apakah kita lebih berperan sebagai orang-orang yang hanya peduli dengan keselamatan diri kita sendiri sebagaimana seperti orang-orang sakit yang menunggu di tepi kolam Betesda? Ataukah kita memposisikan diri sebagai orang yang sakit lumpuh selama bertahun-tahun, sehingga kita mengembangkan perasaan tidak berdaya dan menjadi orang-orang yang kalah dalam kehidupan ini? Kita perlu waspada dengan perasaan minoritas yang berkelebihan (syndrome of minority) atau perasaan bahwa diri kita kurang berharga. Karena Tuhan Yesus dengan kasihNya telah memulihkan kita agar kita dapat menjadi tangan-tangan Kristus yang terulur untuk memulihkan dan menolong sesama yang lemah. Jika demikian, apakah kita mau menjadi seperti Kristus yang senantiasa tanggap dan peduli terhadap penderitaan sesama kita? Bahkan sebelum sesama kita berteriak minta tolong, kita telah terlebih dahulu menyalurkan anugerah kasih Allah yang memulihkan kehidupannya. Sebab Tuhan mengasihi setiap orang yang menderita dan yang terabaikan. Dia juga peduli dengan kehidupan dan penderitaan kita masing-masing. Bagaimana sikap hidup kita sekarang? Amin.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar