Renungan Minggu, 18 Februari 2007
Kel. 34:29-35, Mzm. 99, II Kor. 3:12 – 4:2, Luk. 9:28-43
Di gunung Sinai Musa menerima Sepuluh Firman Allah. Dia diperkenankan untuk berhadapan dan memandang kemuliaan Allah. Proses pewahyuan firman Allah di dalam diri Musa, bukan hanya disaksikan bahwa Musa dimampukan untuk mendengar “suara” Allah. Tetapi juga Musa diperkenankan untuk “melihat” dan memandang wajah Allah. Kel. 33:11 menyaksikan: “Tuhan berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seseorang berbicara kepada temannya”. Saat Musa berhadapan dengan diri Allah, dia tidak hanya melihat kemuliaan Allah; tetapi juga dia mengalami kehadiran Allah yang dahsyat itu sebagai seorang sahabatnya. Pewahyuan firman Allah dikomunikasikan dalam wajah kemuliaan Allah yang dahsyat, tetapi sekaligus juga tetap tampil bersahabat dan penuh keakraban. Saat Musa turun dari gunung Sinai, tanpa dia ketahui wajahnya bersinar memancarkan cahaya kemuliaan Allah. Umat IsraeL tidak tahan menatap wajah Musa yang bersinar, sehingga Musa harus mengenakan kain selubung agar ia dapat berbicara menyampaikan firman Tuhan kepada umat Israel.
Walau demikian cahaya kemuliaan Allah yang terpancar di wajah Musa hanya bersifat sementara. Wajah Musa tidak senantiasa mampu memancarkan cahaya kemuliaan Allah yang kudus selama-lamanya. Dia hanya sementara saja memantulkan cahaya kemuliaan Allah. Tetapi harus diingat, pengalaman spiritual yang dahsyat itu tidak pernah mengubah status atau kedudukan Musa sebagai seorang abdi Allah biasa, walau dia pernah mengalami pengalaman iman yang paling luar biasa. Sebab siapakah di antara umat manusia yang mampu memandang wajah Allah? Sebab “tidak ada orang yang memandang wajah Allah dapat hidup” (Kel. 33:20). Keadaan cahaya kemuliaan Allah yang bersifat temporal ini kemudian dipakai oleh rasul Paulus di ll Kor. 3 untuk menunjukkan perbedaan bahwa cahaya kemuliaan KrIstus sesungguhnya tidak pernah pudar. Musa adalah abdi Allah yang diperkenankan Allah untuk memantulkan cahaya kemuliaanNya. Tetapi Kristus adalah cahaya kemuliaan Allah itu sendiri (bdk. Ibr. 1:3). Karena itu cahaya kemuliaan Kristus tidak pernah pudar sampai selama-lamanya. Itu sebabnya rasul Paulus berkata: “Sebab jika yang pudar itu disertai dengan kemuliaan, betapa lebihnya lagi yang tidak pudar itu disertai kemuliaan” [2 Kor. 3:11].
Kitab Injil menyaksikan bagaimana peristiwa transfigurasi terhadap diri Tuhan Yesus terjadi. Luk. 9:29 menyaksikan bagaimana tiba-tiba wajah Tuhan Yesus berubah penuh kemuliaan Allah saat Dia berdoa ditemani oleh Petrus, Yohanes dan Yakobus. Kini jati diri ke-Tuhan-an Yesus disingkapkan dalam peristiwa transfigurasi itu. Keilahian Kristus saat itu tidak lagi tersembunyi dan tidak terselubung oleh keberadaanNya sebagai manusia. Pada saat kemuliaan Kristus terjadi maka disebutkan datanglah Musa dan Elia. Mereka berbicara dengan Tuhan Yesus tentang tujuan kepergian dan kematianNya yang akan terjadi di Yerusalem. Musa yang pernah memancarkan cahaya kemuliaan Allah, dan nabi Elia yang pernah menyatakan kuasa Allah di atas gunung Karmel dengan menurunkan api dari langit. Namun kini mereka secara khusus menjumpai Kristus dalam kemuliaanNya. Keduanya, yaitu Musa dan Elia adalah saksi yang meneguhkan keTuhanan Yesus.
Namun yang harus diingat oleh kita adalah bahwa peristiwa transfigurasi Kristus di atas gunung tersebut bukanlah puncak dari kemuliaanNya. Tuhan Yesus kelak akan memperoleh kemuliaanNya melalui penderitaan dan kematianNya di atas kayu salib. Cahaya kemuliaan Kristus yang kekal dinyatakan dengan tubuh kebangkitanNya setelah Dia mengalahkan kuasa maut. Kristus sejak dari kekal adalah cahaya kemuliaan Allah, tetapi kebangkitanNya dari maut menyaksikan kedirianNya yang kekal dan mulia kepada umat manusia di tengah-tengah sejarah hidup mereka.
Ketika Petrus dalam peristIwa transfigurasi menyaksikan kedatangan Musa dan Elia, secara spontan dia berkata: “Guru, betapa bahagia bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia” (Luk. 9:33). Perkataan Petrus yang tampaknya sangat simpatik tersebut ingin mengajak Tuhan Yesus, Musa dan Elia untuk tinggal dalam kemah. Tetapi tujuannya agar kemuliaan Kristus tidak lagi terpancar, tetapi terkurung dalam kemah buatan Petrus. Saat Kristus, Musa dan Elia berada dalam kemah buatan manusia, maka cahaya kemuliaan Allah tidak akan tampak lagi.
Seandainya Kristus berdiam atau tinggal tetap di dalam kemah, Dia tidak akan berangkat ke Yerusalem untuk menyongsong penderitaan dan kematianNya. Ternyata dalam ucapan Petrus yang tampaknya sangat simpatik itu mengandung suatu maksud yang tersembunyi untuk menghalangi rencana keselamatan Allah di dalam kematian Kristus. Bukankah perkataan Petrus tersebut menggemakan kembali bagaimana sikap Petrus yang pernah menarik Tuhan Yesus ke samping dan menegor, katanya: “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau” (Mat. 16:22). Pada saat itulah Tuhan Yesus berkata kepada Petrus: “Enyahlah Iblis, engkau suatu batu sandungan bagiKu sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia” [Mat. 16:23].
Teologi 'kemah selubung' dari Petrus sering kali masih menjadi pola hidup umat Kristen. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering tanpa sengaja telah menutupi cahaya kemuliaan Kristus yang seharusnya kita pancarkan kepada sesama. Dengan pola hidup yang demikian kita akan lebih menyukai sikap tertutup, dan menikmati keselamatan dan kemuliaan Kristus untuk diri mereka sendiri. Teologi selubung hanya menjadikan diri kita menjadi pribadi yang egois dan eksklusif. Pengalaman iman yang seharusnya memperkaya integritas dan relasi dengan sesama sering kita redusir menjadi pola hidup yang menarik diri dari pergaulan dengan sesama dan terlena dalam kenikmatan rohani untuk diri kita sendiri. Teologi selubung hanya mendangkalkan, bahkan membelenggu rahasia keselamatan Allah yang seharusnya kita singkapkan dan kita bagi-bagikan kepada sesama di sekitar kita. Karena itu selaku umat percaya, kini kita semua dipanggil untuk berani membuka selubung agar kita dapat memancarkan cahaya kemuliaan Kristus kepada sesama di sekitar kita.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar