Nama nabi Yeremia sering dikaitkan dengan kepribadian yang melankholistis. Tipe karakter dari seorang yang melankholis umumnya memiliki kepribadian yang ditandai oleh perasaan muram atau cenderung murung dalam hidup sehari-hari dan saat menatap masa depan (somebody with a gloomy attitude toward the present and future). Tentunya anggapan terhadap nabi Yeremia tersebut mempunyai dasarnya. Karena nabi Yeremia sering disaksikan suka “menangis” dan bersedih hati. Di Yer. 8:18, nabi Yeremia berkata: “Tidak tersembuhkah kedukaan yang menimpa diriku, hatiku sakit pedih”. Juga di Yer. 9:1, nabi Yeremia berungkap diri: “Sekiranya kepalaku penuh air, dan mataku jadi pancuran air mata, maka siang malam aku akan menangisi orang-orang puteri bangsaku yang terbunuh!” Nabi Yeremia memiliki respon yang berbeda dari pada nabi yang lain! Dia menyatakan bahwa tangisannya seperti pancuran air mata. Lebih dari pada itu, ungkapan kesedihan dan air mata nabi Yeremia secara khusus dikumpulkan dalam salah kitab yaitu Kitab Ratapan yang dahulu disebut dengan kitab Nudub Yeremia. Namun sebenarnya tangisan nabi Yeremia bukanlah sekedar tangisan cengeng! Dia tidak pernah menangisi dirinya sendiri. Tetapi dia menangisi nasib bangsanya yang telah berdosa melawan Allah, dan kini umat Israel mengalami hukuman Allah. Sebab kebanyakan di antara mereka dikalahkan dan dibunuh oleh bangsa Babel. Padahal sebelumnya nabi Yeremia tiada henti-hentinya mengingatkan umat Israel agar mereka segera meninggalkan berhala-berhala dan dewa-dewa pujaan yang menyesatkan. Sebab berhala dan patung yang mereka sembah menyakiti hati Allah. Di Yer. 8:19b, Allah berfirman: “Mengapakah mereka menimbulkan sakit hatiKu dengan patung-patung mereka, dengan dewa-dewa asing yang sia-sia?” Tetapi umat Israel senantiasa mengeraskan hati setiap mereka mendengarkan teguran dan nasihat dari nabi Yeremia. Mereka terus berpaling meninggalkan Allah, yaitu Yahweh. Sehingga akibatnya Allah menyerahkan mereka kepada tangan bangsa asing. Ternyata mereka tidak mampu memberi perlawanan dan gagal untuk mempertahankan diri dari serangan tentara Babel. Justru mereka bagaikan orang-orang yang tidak berdaya ketika tentara Babel menyerang dan akhirnya mengalahkan mereka. Dalam situasi yang demikian nabi Yeremia berduka-cita. Dia berkata: “Karena luka puteri bangsaku hatiku luka; aku berkabung, kedahsyatan telah menyergap aku” (Yer. 8:21). Walaupun umat Israel senantiasa melawan dan menyakiti hati nabi Yeremia dengan sikap mereka yang terus-menerus mengeraskan hati melawan Allah, nabi Yeremia tetap mengasihi bangsanya ketika mereka dihukum oleh Allah. Nabi Yeremia tidak merasa bergembira dengan keadaan umat Israel yang saat itu tercerai-berai dihukum Allah karena mereka tidak mau mendengarkan nasihat dan tegurannya. Justru tangisan dan ratapan nabi Yeremia mengungkapkan sesuatu yang lebih dalam tentang kasih-sayangnya yang begitu besar kepada umat yang selalu mengabaikan dan melawan setiap nasihatnya. Melalui tangisan nabi Yeremia, kita dapat melihat pula kesetiaan yang tanpa syarat kepada bangsanya yang selalu mengeraskan hati. Sebenarnya dari sudut moral keagamaan pada umumnya, nabi Yeremia akan lebih cenderung untuk meninggalkan bangsanya yang telah berzinah dengan ilah-ilah asing. Tetapi ternyata nabi Yeremia lebih memilih berada di tengah-tengah penderitaan mereka. Sehingga segala kesusahan dan murka Allah yang saat itu sedang menimpa bangsanya sebenarnya juga menimpa nabi Yeremia. Di tengah-tengah bangsanya yang menderita, nabi Yeremia berseru: “Dengar! Seruan puteri bangsaku minta tolong dari negeri yang jauh”. Dalam konteks ini nabi Yeremia memerankan dirinya menjadi juru-syafaat bagi bangsanya. Dia mendoakan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hatinya keadaan bangsanya yang terpuruk dan menderita. Begitu buruk dan menyedihkan keadaan umat Israel sehingga mereka tidak mudah dipulihkan dan disembuhkan. Yer. 8:22, berkata: “Tidak adakah balsam di Gilead? Tidak adakah tabib di sana? Mengapakah belum datang juga kesembuhan luka puteri bangsaku?” Apabila dahulu di Gilead sangat terkenal dengan balsam untuk mengobati berbagai macam penyakit dan tabib yang pandai, maka sekarang balsam yang mujarab di Gilead dan para tabib yang pandai itu tidak dapat menolong untuk menyembuhkan keadaan umat Israel. Murka dan hukuman Allah tidak dapat disembuhkan dengan upaya dan pertolongan dari manusia manapun juga. Kesetiaan kita dapat berubah dan menjadi luntur ketika orang-orang yang kita sayangi itu terus bersikap mengeraskan hati dan tidak mempedulikan nasihat atau teguran kita. Sehingga ketika mereka tertimpa suatu bencana, maka kita akan beranggapan bahwa mereka layak untuk menerima hukuman dari Allah. Kesetiaan kita juga akan berubah secara drastis, ketika pasangan hidup kita berselingkuh; maka kita juga merasa berhak membalas pengkhianatan dari pasangan hidup kita dengan perselingkuhan. Prinsip dunia adalah balaslah kesetiaan dengan kesetiaan, dan balaslah ketidaksetiaan dengan ketidaksetiaan. Manakala orang-orang yang semula kita bela mengkhianati kita, maka dunia mengajar agar pengkhianatan tersebut layak untuk dibalas dengan pengkhianatan. Ternyata tidak demikian sikap yang ditempuh oleh nabi Yeremia. Dia tetap mengasihi bangsanya yang tidak pernah mengasihi dia. Untuk itu nabi Yeremia menangisi bangsanya ketika mereka mengalami suatu malapetaka akibat hukuman Allah. Tangisan dan air mata nabi Yeremia bagaikan air mata seorang ibu saat dia menyaksikan anak-anaknya tertimpa suatu bencana, padahal selama ini anak-anaknya tidak pernah peduli, tidak mengasihi dan menghormati dia sebagai ibunya. Karena itu dia terus mendoakan agar Tuhan mau berbelas-kasihan dan menolong anak-anaknya. Tetapi berapa banyak di antara anggota jemaat yaitu kita semua yang memiliki kesetiaan dan kasih seorang ibu? Sebab yang umum terjadi adalah kita sering menangisi diri sendiri karena orang-orang yang kita sayangi mengkhianati dan berlaku tidak setia kepada kita. Kemudian tangisan kita tersebut berubah menjadi rasa puas, ketika mereka tertimpa suatu bencana. Dengan kondisi demikian, kita beranggapan bahwa Allah telah membalaskan sakit hati kita kepada mereka. Prinsip utama dari iman Kristen adalah mengasihi sesama bahkan musuh kita tanpa syarat (unconditional love). Karena itu kesetiaan dalam iman Kristen adalah kesetiaan yang tanpa syarat (unconditional loyalty). Di I Tim. 2:1 rasul Paulus menasihati agar orang percaya mau menaikkan doa syafaat kepada pemerintah. Padahal pada waktu itu pemerintah yang dimaksud oleh rasul Paulus adalah para kaisar Roma yang jelas-jelas anti Kristen dan selalu berupaya menganiaya orang Kristen. Tetapi kasih dan kesetiaan orang Kristen ditempatkan dalam spiritualitas “tanpa syarat”. Itu sebabnya rasul Paulus berkata: “Pertama-tama aku menasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan untuk semua pembesar-pembesar, agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan”. Menaikkan doa syafaat kepada raja-raja dan pembesar-pembesar berarti dengan iman kita menaikkan doa agar Allah berkenan mengaruniakan keselamatan, keamanan, perlindungan dan hikmat kepada mereka. Orang-orang Kristen dipanggil untuk terus mendoakan pemerintahnya, walaupun mereka tahu bahwa pemerintahnya tidak selalu memperlakukan mereka dengan baik dan adil. Tetapi kasih dan kesetiaan orang Kristen tidak boleh berubah karena tindakan atau perlakuan para pemerintah yang tidak pantas, bahkan kerapkali politik pemerintah sering membahayakan keselamatan dan eksistensi mereka. Justru kita terpanggil untuk “menangisi” dan mendoakan dengan sungguh-sungguh para pemerintah kita ketika mereka bertindak yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. |
Dengan perkataan lain, memberlakukan kasih dan kesetiaan tanpa syarat membutuhkan pengorbanan diri yang sangat eksistensial. Kita dianggap mampu berlaku setia karena kita mengasihi para musuh dengan segenap hati kita. Pada sisi yang lain, kasih dapat terwujud ketika kita tetap mampu berlaku setia. Sebab itu selaku jemaat Kristus, kita dipanggil untuk mengasihi mereka yang tidak mengasihi kita. Bukankah sebenarnya kita lebih mudah mengasihi dan berlaku setia kepada mereka yang memang mengasihi dan setia kepada kita? Sebaliknya mengasihi dan berlaku setia kepada mereka yang telah menyakiti hati dan memusuhi kita menimbulkan kepedihan hati yang dalam. Tetapi kepedihan hati kita akan lebih dalam lagi ketika kita menyaksikan para musuh atau lawan kita mengalami penderitaan dan bencana. Bukankah sikap yang demikian yang menjadi inti dari spiritualitas iman Kristen? Kita bersedih dan ikut menangis ketika menyaksikan para musuh kita mengalami kemalangan dan kesusahan. Jadi ketika kita ikut bersukaria dan bersyukur manakala para musuh atau orang-orang yang membenci kita tertimpa suatu bencana sebenarnya kita tidak lagi bersikap secara kristiani. Kitab nabi Obaja menyaksikan murka Allah kepada bani Edom yang bersukaria ketika mereka menyaksikan umat Israel yang sedang tertimpa kemalangan besar. Di Obaja 1:12, Allah berfirman: “Janganlah memandang rendah saudaramu pada hari kemalangannya, dan janganlah bersukacita atas keturunan Yehuda pada hari kebinasaannya; dan janganlah membual pada hari kesusahannya”. Dalam konteks ini kasih dan kesetiaan dalam iman Kristen pada hakikatnya melampui segala kebencian dan dendam, sehingga orang Kristen justru dipanggil untuk mengasihi dan mendoakan setiap musuh-musuhnya; dan memberi pertolongan yang nyata pada saat mereka mengalami kemalangan. Sebenarnya kita sudah mengetahui prinsip-prinsip iman Kristen tentang kasih dan kesetiaan yang tanpa syarat. Tetapi persoalannnya adalah mengapa kita dalam kehidupan sehari-hari sering tidak mampu memberlakukan kasih dan kesetiaan sebagaimana yang telah diajarkan oleh Tuhan Yesus? Mengapa kita lebih cenderung untuk mengasihi hanya kepada mereka yang mengasihi kita, tetapi kita membenci setengah mati kepada mereka yang berlaku tidak setia kepada kita? Mengapa kita tidak memiliki karakter dan spiritualitas sebagaimana yang dimiliki oleh nabi Yeremia atau rasul Paulus? Tindakan untuk mengasihi dan berlaku setia kepada mereka yang tidak mengasihi dan tidak setia kepada kita membutuhkan enersi mental dan spiritutalitas yang tinggi. Untuk itu pertanyaan yang lebih mendasar lagi adalah sejauh mana kita telah memiliki enersi mental dan spiritualitas tersebut? Apakah enersi mental dan spiritualitas kita masih berada dalam level sangat rendah, atau level yang rendah, atau tingkat spiritualitas kita tergolong cukup; ataukah spiritualitas kita berada di level yang tinggi? Tingkat atau level-level tersebut sangat penting untuk diketahui agar kita dapat mengukur tingkat kedalaman dari spiritualitas kita. Sejauh mana tingkat kedalaman dari spiritualitas kita tersebut? Apakah enersi mental dan spiritualitas kita tersebut telah terlatih dalam kehidupan sehari-hari, dan teruji dalam persoalan atau perkara yang kecil dan sederhana? Untuk maksud itulah Tuhan Yesus memberikan pengajaran dengan perumpamaan di Luk. 16:1-13 tentang bendahara yang tidak jujur. Hal yang aneh dalam perumpamaan Tuhan Yesus tersebut adalah sepertinya Tuhan Yesus memberi pujian kepada bendahara yang tidak jujur. Namun kita tidak boleh terlalu cepat menarik kesimpulan bahwa Tuhan Yesus menghargai dan memuji tindakan yang tidak jujur dari bendahara tersebut. Kita perlu memahami budaya zaman dahulu perihal pengelolaan uang yang dipercayakan kepada seorang bendahara. Si pemilik modal hanya menyediakan suatu dana agar manager yang diangkatnya tersebut mampu mengelola uang tersebut sehingga usaha tersebut menghasilkan keuntungan. Karena itu manager yang disebutnya sebagai bendahara yang menentukan tingkat besarnya suatu bunga. Sehingga risiko kerugian harus ditanggung penuh oleh bendahara; tetapi kalau dia berhasil, maka dia akan memperoleh keuntungan lebih. Dalam perumpamaan tersebut akhirnya diketahui oleh si pemilik uang bahwa bendaharanya telah menghambur-hamburkan uang. Dia segera dipanggil oleh tuannya untuk mempertanggungjawabkan seluruh keuangan yang telah dikelolanya. Apa yang kemudian dilakukan oleh bendahara tersebut? Di Luk. 16:5-7, bendahara tersebut mengurangi jumlah hutang dari para krediturnya. Namun dengan mengurangi jumlah hutang dari para krediturnya, berarti pula sang bendahara kehilangan haknya untuk memperoleh keuntungan yang seharusnya. Jadi sebenarnya dia memotong hak keuntungan untuk dirinya dari pemotongan jumlah hutang dari para krediturnya. Sehingga pada akhirnya sang bendahara tersebut mampu mempertanggungjawabkan seluruh keuangan yang telah dipercayakan kepadanya. Sebab uang yang menjadi hak dari tuannya itu tidak berkurang sedikitpun, sehingga dia tidak jadi dipecat dari jabatannya sebagai seorang manajer. Dari perumpamaan Tuhan Yesus ini, kita dapat belajar bagaimana sang bendahara memikirkan masa depannya secara cerdik. Walaupun dia pernah melakukan kesalahan besar, namun dia segera memperbaiki diri dengan memotong apa yang menjadi hak keuntungan pribadinya. Secara finansial sang bendahara itu tidak memperoleh banyak keuntungan dari hak yang seharusnya dia terima, tetapi secara moril dia mampu mempertanggungjawabkan sikapnya. Demikian pula dengan makna kesetiaan yang tanpa syarat. Seorang yang mampu tetap setia kepada orang yang tidak setia berarti dia bersedia mengurangi atau memotong apa yang menjadi haknya. Tetapi dengan bersikap demikian, sesungguhnya dia telah menyelamatkan dirinya dan orang yang tidak setia tersebut. Jadi tekanan utama dari makna perumpamaan bendahara di Luk. 16 bukanlah soal ketidakjujurannya, tetapi kerelaan dia untuk memotong apa yang menjadi hak keuntungannya. Ketidakjujuran bendahara tersebut terjadi ketika dia melakukan kesalahan dengan cara menghambur-hamburkan uang yang bukan miliknya, tetapi dia segera berbenah diri dan mampu mempertanggungjawabkan seluruh keuangan yang dikelolanya, sehingga dia akhirnya dapat menyelamatkan masa depan dan kariernya. Kita gagal untuk berlaku setia karena kita sering mempertahankan hak-hak kita sedemikian rupa, sehingga kita tidak mampu menyediakan ruang sedikitpun untuk memberi pengampunan kepada para musuh kita. Selain itu juga melalui perumpamaan di Luk. 16 Tuhan Yesus mengingatkan agar kita mau memberlakukan nilai-nilai kesetiaan dan kasih seperti kita menggunakan dan mengelola keuangan setiap hari. Bukankah tiap-tiap hari kita harus menggunakan dan mengelola keuangan? Uang menjadi sesuatu yang begitu akrab dalam kehidupan nyata kita. Tetapi apakah kita juga akrab dengan prinsip-prinsip kesetiaan yang tanpa syarat setiap hari? Apabila bendahara yang tidak jujur itu mampu memikirkan masa depannya, maka seharusnya kita juga serius memikirkan masa depan kita yaitu kehidupan kekal bersama dengan Kristus. Untuk itu demi hidup yang kekal, apakah kita bersedia untuk memotong atau mengurangi apa yang menjadi hak-hak kita, agar kita dapat menyelamatkan orang-orang yang jauh dan tidak peduli kepada Allah. Jadi prinsip spiritualitas iman Kristen adalah bersedia mengurangi dan memotong segala hak kita, agar kita memiliki ruang yang cukup lebar untuk mengasihi dan berlaku setia kepada mereka yang membenci dan mengkhianati kita. Sehingga kita dapat terus-menerus mendoakan mereka agar mereka terus diperbaharui oleh Roh Kudus. Dan pada saat yang buruk di mana para lawan kita mengalami kesusahan atau kemalangan, maka kita dengan tulus menolong mereka agar mereka dapat mengalami wujud dari kasih Allah yang sempurna. Jika demikian, bagaimana dengan sikap hidup saudara? Apakah kehidupan kita telah ditandai oleh kesetiaan yang tanpa syarat? Untuk itu kita harus memulai dan melatih terus-menerus kesetiaan dalam perkara-perkara yang kecil setiap hari. Amin. Pdt. Yohanes Bambang Mulyono |
1 komentar:
Benar sekali, dan Cap Kaki Tiga, Setia, Manfaat ini semoga bisa menjadi inspirasi.
Posting Komentar