Rabu, 26 September 2007

SENTUHAN BELAS KASIHAN

Renungan Minggu, 10 Juni 2007


I Raj. 17:7-24, Mzm. 146, Gal. 1:11-24, Luk. 7:11-17

Kisah Luk. 7:11-17 merupakan kesaksian yang khas Injil Lukas. Di ayat 11 disaksikan Tuhan Yesus pergi ke kota Nain. Dari peta, kita dapat melihat kota Nain terletak dekat perbatasan Galilea dan Samaria, sekitar 10 km di sebelah tenggara Nazaret. Dalam perjalanan tersebut Tuhan Yesus, murid-murid dan orang banyak telah sampai di dekat pintu gerbang kota Nain. Mereka berjumpa dengan rombongan orang yang sedang mengusung jenasah seorang anak muda. Injil Lukas memberi keterangan bahwa anak muda yang mati itu adalah anak seorang janda. Tampaknya selama perjalanan ke kubur, janda tersebut terus menangisi kepergian anak laki-lakinya. Ketika Tuhan Yesus melihat kesedihan dan air mata janda tersebut, maka di Luk. 7:13 disebutkan: “tergeraklah hati Yesus oleh belas-kasihan”. Lalu Tuhan Yesus menghampiri usungan itu dan menyentuh keranda jenasah sambil berkata: “Hai anak muda, Aku berkata kepadamu, bangkitlah!” (Luk. 7:14). Dengan perkataan Tuhan Yesus tersebut, anak muda yang telah mati itu menjadi hidup kembali. Karya mukjizat yang terjadi di kota Nain pada hakikatnya dilandasi oleh belas-kasihan Tuhan Yesus kepada janda yang menjadi ibu dari anak muda yang telah meninggal itu. Karena Dia tergerak oleh belas-kasihan, maka Tuhan Yesus membuat mukjizat. Ini berarti karya-karya mukjizat Kristus pada hakikatnya merupakan manifestasi dari rasa belas-kasihanNya kepada orang yang sedang menderita.

Makna kata “belas-kasihan” diterjemahkan dari kata “esplagkhnisthe” (Yun.) yang menunjuk pada pengertian “bela-rasa”. Dalam pengertian “bela-rasa” atau “compassion” pada prinsipnya merupakan: “sympathy for the suffering of others, often including a desire to help” (rasa simpati terhadap penderitaan sesamanya yang dinyatakan dengan keinginan untuk menolong). Jadi makna dari pengertian “compassion” lebih dari pada sikap “simpati”, karena makna sikap simpati lebih cenderung pada rasa belas kasihan, tetapi tidak dinyatakan dalam sikap yang konkret untuk menolong. Itu sebabnya setiap kali disebutkan “tergeraklah hati Yesus oleh belas-kasihan” maka senantiasa diikuti dengan suatu tindakan nyata dari Tuhan Yesus sebagai respon atau solusiNya dalam permasalahan tersebut. Misalnya dengan Mat. 13:14 yang berkata: “Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hatiNya oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan mereka yang sakit”. Setiap kali Tuhan Yesus tergerak oleh belas-kasihan, maka Dia segera bertindak untuk menolong. Sikap bela-rasa Kristus kepada setiap orang yang menderita merupakan dasar dari seluruh karyaNya. Jadi jati-diri Tuhan Yesus yang sesungguhnya adalah rasa belas-kasih (compassion), karena itu Dia tidak dapat menangguhkan diri untuk segera menolong. Di Luk. 7:16 orang banyak yang melihat karya mukjizat Tuhan Yesus yang dapat membangkitkan pemuda Nain tersebut memberikan suatu respon. Mereka segera memuliakan Allah sambil berkata: “Seorang nabi besar telah muncul di tengah-tengah kita, dan Allah telah melawat umatNya”. Bukankah ungkapan orang banyak tersebut yang menyaksikan karya bela-rasa Kristus diyakini sebagai wujud dari kehadiran Allah yang melawat umatNya yang menderita?

Mzm. 146 diawali dengan ungkapan “Haleluya” untuk menyatakan pujian dan tindakan yang memuliakan Allah. Pemazmur memuji dan memuliakan Allah karena Dia menunjukkan kesetiaanNya. Karena kasih dan kesetiaanNya, maka Allah menegakkan keadilan untuk orang-orang yang diperas, memberi roti kepada mereka yang lapar, membebaskan orang-orang yang terkurung, membuka mata orang-orang yang buta, menjaga orang asing, anak yatim dan janda. Jati-diri Allah terungkap sangat jelas, yaitu: “Tuhan mengasihi orang-orang benar” (Mzm. 146:8). Untuk itu Allah melawat dan bertindak dalam sejarah umatNya. Dia tidak dapat membiarkan umat atau orang-orang yang tertindas berada dalam belenggu dan penindasan. Itu sebabnya Alkitab senantiasa menyaksikan karya Allah yang selalu berbela-rasa.

Ajaran atau teologi “Allah melawat umatNya dengan bela-rasa yang dinyatakan dengan tindakan penyelamatan” sangatlah berbeda esensinya dengan: “Allah melawat umatNya dengan karya mukjizat”. Teologi tentang Allah melawat umatNya dengan penekanan pada karya mukjizat akan cenderung untuk terus-menerus menekankan berbagai macam perbuatan spekatakuler (supranatural) sebagai bukti kehadiran Allah. Dengan pemahaman ini perbuatan mukjizat atau hal-hal supranatural sebagai isi atau substansi utama dari pemberitaan firman. Karena itu berbagai perbuatan mukjizat atau hal-hal yang supranatural perlu terus-menerus didemontrasikan dan dialami oleh setiap orang yang mengaku percaya. Pemahaman teologis tersebut sebenarnya sangat asing dan tidak dianut dalam iman Kristen arus utama. Karena tekanan utama dari kesaksian Alkitab adalah Allah hadir dan melawat umatNya dengan menyatakan bela-rasa dan kasihNya, dan untuk itu Dia bertindak menyelamatkan umatNya. Dalam pengertian ini makna Allah melawat umatNya karena Dia mengasihi kita, dan karena itu Dia terus berkarya. Prinsip teologis ini membawa suatu konsekuensi penting dalam kehidupan iman kita, yaitu setiap orang percaya yang telah mengenal kasih Allah seharusnya ditandai oleh sikap bela-rasa dari Kristus, sehingga setiap orang percaya bersedia ambil bagian dengan seluruh jiwanya dalam karya keselamatan Allah untuk menolong sesamanya.

Manakala kita hanya menekankan perbuatan mukjizat atau hal-hal yang supranatural dalam pemberitaan firman dan pengajaran gereja, maka kita tidak akan pernah ambil bagian secara eksistensial dan nyata dalam karya Allah di dunia. Padahal apa artinya kita mampu melakukan berbagai macam “perbuatan mukjizat” jikalau tidak dilandasi oleh kasih. Di Mat. 7:22-23 disaksikan demikian: “Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!" Berbagai karya supranatural dan natural, mukjizat atau berbagai pelayanan gerejawi yang tidak dilandasi oleh kasih dan bela-rasa dari Kristus akan menjadi sia-sia belaka. Karena pada hari penghakiman, karya yang demikian akan ditolak oleh Kristus. Padahal dalam praktek hidup, sejujurnya kita justru sering mengabaikan kasih dan bela-rasa Kristus. Kalau tidak mau disebut mengabaikan kasih dan bela-rasa Kristus, sering berbagai pelayanan atau kepedulian kita hanya didasari oleh rasa simpati belaka kepada sesama yang menderita. Dalam hal ini kita hanya berbelas-kasihan saja, tetapi kita tidak pernah terlibat secara nyata untuk menolong permasalahan sesama dengan seluruh hati kita. Di I Raj. 17:17-24 menyaksikan bagaimana nabi Elia oleh belas-kasihannya menolong janda di Sarfat, dia memohon kepada Allah agar berkenan membangkitkan anak dari janda tersebut yang telah meninggal. Allah kemudian bersedia mendengar dan mengabulkan doa nabi Elia, karena nabi Elia sungguh-sungguh mendoakan dengan bela-rasa dan kasih yang dalam.

Teologi hidup Kristus adalah teologi bela-rasa (the compassion of theology). Jadi seharusnya teologi seluruh umat Kristen adalah teologi bela-rasa yang dinyatakan secara operatif dalam tindakan nyata kepada sesama yang menderita dan tertindas. Teologi yang saya maksudkan di sini bukanlah sekedar suatu pola berpikir yang sistematis-alkitabiah dan etis tentang “bela-rasa Kristus”. Lebih tepat saya pahami teologi bela-rasa Kristus sebagai suatu sistem kerohanian yang mampu direfleksikan dan diwujudkan secara nyata dalam suatu tindakan dan karya. Sehingga boleh saja pengertian “teologi” di sini dipahami sebagai suatu “spiritualitas” yang seluruhnya mencerminkan bela-rasa Kristus dalam seluruh aspek kehidupan umat percaya saat dia berpikir, merasa, berkata-kata, bertingkah-laku dan bertindak. Jadi selaku jemaat Tuhan, seharusnya kita bertindak dan mengambil keputusan etis berdasarkan bela-rasa Kristus (compassion of Christ), bukan karena sekedar dorongan dari bela-rasa yang manusiawi (compassion of human). Dalam bela-rasa yang manusiawi hanya timbul perasaan puas sebab dapat andil/berperan bahwa kita dapat menolong sesama yang menderita dan membela orang-orang yang tertindas. Tetapi dalam bela-rasa Kristus bukan lagi sekedar rasa puas dan punya andil, tetapi timbul rasa hormat yang mempermuliakan nama Tuhan karena Dialah yang satu-satunya menjadi pemilik kehidupan dan pembela orang-orang yang tertindas dan menderita. Kita mempermuliakan nama Tuhan dengan karya dan tindakan yang berbela-rasa.

Panggilan untuk merayakan kehidupan dengan bela-rasa Kristus, mengingatkan kita akan seorang teolog bernama: Albert Schweitzer (1875-1965). Teolog asal Jerman ini dijuluki orang sebagai teolog yang serba bisa, sebab dia juga seorang filsuf, ahli musik, dan misionaris medis. Karya-karyanya di bidang teologi, filsafat, dan musik sangat berpengaruh luas. Saat dia telah mencapai karier yang sukses sebagai teolog dan ahli musik pada umur 30 tahun, Albert Schweitzer kemudian belajar ilmu medis dan bedah pada tahun 1905-1913. Lalu pada tahun 1913 bersama dengan isterinya ia pergi ke Gabon, Afrika sebagai seorang misionaris yang menangani pengobatan kepada orang-orang yang menderita. Tahun pertama di Afrika dia dapat mengobati 2000 orang pasien. Selama Perang Dunia I tahun 1914-1918, Schweitzer dan isterinya melakukan pelayanan di penjara Perancis. Dia lalu membuat refleksi teologis dan filosofis tentang peradaban manusia dengan judul “The Decay and the Restoration of Civilization” dan “Civilization and Ethics”. Schweitzer meringkaskan panggilan setiap orang agar bersedia untuk “hormat kepada kehidupan” (reference for life) yang mana didasari oleh bela-rasa yang mendalam kepada semua bentuk kehidupan (compassion all forms of life). Albert Schweitzer bukan hanya ahli sebagai seorang teolog, filsuf dan musikus besar; tetapi dia juga mempraktekkan refleksi teologisnya yang kaya dengan tindakan dan perbuatan nyata untuk menyatakan bela-rasa Kristus. Gereja-gereja Tuhan sangat membutuhkan orang-orang yang memiliki spiritualitas seperti Albert Schweitzer, yang mampu membuat refleksi teologis yang dalam, sekaligus dengan komitmen dan tindakan nyata berbela-rasa. Kita tidak boleh mendidik anggota jemaat sebagai “teolog” yang hanya mahir dengan ayat-ayat Alkitab dan berbagai doktrin, tetapi mereka ternyata sangat miskin dalam kasih sehingga mereka enggan untuk berbela-rasa dan menyatakan kasih Kristus kepada sesamanya.

Bela-rasa Kristus juga ditujukan kepada sesama yang hidup dalam dosa dan yang membenci kita. Di Gal. 1:11-24 menyaksikan bagaimana Kristus mengasihi Saulus yang menganiaya jemaat. Makna bela-rasa Kristus di sini bukan karena Dia mengasihi dosa-dosa yang dilakukan oleh Saulus. Sebab Tuhan membenci dan akan melawan setiap dosa dan kejahatan, tetapi Dia mengasihi setiap manusia. Jadi Kristus menyatakan bela-rasa kasihNya kepada Saulus sebagai pribadi, dan bukan kepada kesalahan atau dosa-dosanya. Ketika kita mampu menyatakan bela-rasa dengan mengasihi sesama sebagai seorang pribadi, maka dengan rahmat Tuhan kita dapat membawa dia kepada Kristus sehingga dia mengalami pengampunan Allah dan dapat bertobat. Kegagalan kita sebagai umat percaya adalah seringkali kita membenci seseorang dan perbuatannya. Seharusnya yang kita benci hanyalah perbuatan dan tindakannya yang jahat, tetapi kita harus selalu mengasihi dirinya sebagai pribadi yang telah ditebus oleh kasih Kristus. Namun ketika kita tergoda untuk membenci seseorang, maka pastilah kita akan gagal untuk menyatakan bela-rasa Kristus.

Jika demikian bagaimanakah kualitas bela-rasa kita? Apakah yang kita miliki selama ini sekedar suatu bela-rasa yang manusiawi, ataukah hidup kita telah mencerminkan bela-rasa dan kasih dari Kristus? Ketika kita menganggap telah didasari oleh bela-rasa kasih Kristus, apakah hidup kita secara nyata telah mengungkapkan kasih Allah kepada sesama? Sejauh mana kepedulian kasih kita? Apakah kita juga mampu mengasihi orang-orang yang jahat dan memusuhi kita? Jadi bela-rasa Kristus adalah suatu panggilan hidup. Ketika kehidupan kita didasari oleh bela-rasa Kristus, maka sesungguhnya kita telah merayakan kehidupan ini dengan mempermuliakan nama Allah. Amin.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Tidak ada komentar: