Rabu, 26 September 2007

MENJAMU PARA MALAIKAT

Renungan Minggu, 2 September 2007


Yer. 2:4-13; Mzm. 81:1-16; Ibr. 13:1-8, 15-16; Luk. 14:1, 7-14

Secara kebetulan saya berkenalan dengan seorang Nigeria di suatu seminar. Dari perkenalan itu akhirnya kami berteman, sehingga kami dapat berbicara dari hati ke hati. Akhirnya dia mengisahkan peristiwa yang mengerikan yang pernah menimpa dirinya ketika terjadi konflik agama di negaranya antara Muslim dan Kristen. Dia kehilangan hampir seluruh keluarga besarnya. Mereka dibantai dan dibunuh secara mengerikan. Sebelum membunuh mereka berulang-ulang meneriakkan nama Allah. Fenomena tersebut mencerminkan kebengisan kepada sesama yang telah dilegitimasikan dengan model teologi yang vertikalistis. Jadi pengertian model teologi yang vertikalisme pada prinsipnya merupakan keyakinan yang dogmatis bahwa tindakan memuliakan Allah ditempuh dalam berbagai cara untuk menegakkan keyakinan agamanya sedemikian rupa, sehingga dimungkinkan bagi mereka untuk meniadakan atau membinasakan sesama yang dianggap tidak sejalan atau tidak memiliki keyakinan yang sama. Dengan kata lain pemahaman teologi yang vertikalis menempatkan “keagungan Allah” dengan meniadakan “keagungan ciptaanNya” manakala ciptaanNya tersebut dianggap tidak mempermuliakan Allah menurut prinsip keyakinan agamanya. Sehingga tidak mengherankan agama-agama yang cenderung hanya vertikalis dalam perjalanan sejarah umumnya mudah jatuh dalam berbagai tindakan kekerasan terhadap sesama yang dianggap berbeda keyakinan atau agama. Mereka sangat serius menegakkan keagungan Allah, tetapi mereka gagal untuk menegakkan kasihNya.

Sebenarnya para penganut teologi vertikalis juga mengenal dan mempraktekkan “kasih persaudaraan”. Tetapi kasih persaudaraan yang mereka maksudkan hanyalah sebatas persaudaraan di lingkungan internal mereka saja. Kasih yang mereka maksudkan bukanlah kasih yang universal, yaitu kasih yang tertuju kepada setiap orang tanpa memandang keyakinan, agama dan suku atau bangsa. Di tengah-tengah situasi yang demikian, penulis surat Ibrani memberi nasihat: “Peliharalah kasih persaudaraan!” (Ibr. 13:1). Tetapi kasih persaudaraan yang dimaksudkan oleh penulis surat Ibrani ternyata tidak eksklusif dan terbatas hanya kepada suatu lingkungan internal jemaat Kristen saja. Sebab di Ibr. 13:2 firman Tuhan berkata: “Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat”. Pemberian tumpangan yang dimaksudkan dalam Ibr. 13:2 ternyata bukan hanya ditujukan kepada orang-orang yang kita telah kenal, tetapi justru diingatkan agar kita mau peduli dengan orang-orang asing yang membutuhkan pertolongan. Di Kej. 18:1-15 disaksikan bagaimana sikap Abraham yang menunjukkan kemurahan hati dan keramahannya saat dia menyambut 3 orang tamu asing di kemahnya. Abraham segera menyediakan makanan dan minuman kepada para tamunya serta membasuh kaki mereka. Akhirnya diketahui oleh Abraham bahwa ketiga orang tamunya itu sesungguhnya adalah para malaikat Tuhan. Tradisi dari kisah Abraham ini menyampaikan suatu pesan teologis bahwa Allah kadang-kadang menyatakan diriNya sebagai tamu-tamu asing yang hadir di tengah-tengah kehidupan kita. Allah tidak hanya tampil dalam keagunganNya saja, tetapi juga Dia kadang-kadang menyatakan diriNya melalui sesama yaitu orang-orang asing (the strangers) yang mungkin tidak satu suku, satu keyakinan dan satu agama dengan kita. Allah kita adalah Allah yang transenden (melampaui segala hal dan sangat agung), tetapi sekaligus Dia imanen (hadir) di tengah-tengah realita kehidupan kita.

Orang-orang asing yang perlu kita bela dan lindungi dalam kehidupan sehari-hari mungkin tampil sebagai orang-orang hukuman dan orang-orang yang diperlakukan secara sewenang-wenang. Kita mengetahui apa artinya keadaan dan status dari orang-orang hukuman karena mereka umumnya tidak berdaya dan sering diperlakukan secara sewenang-wenang. Mereka membutuhkan kemurahan hati dan kasih kita agar mereka memperoleh sedikit kelegaan dan keringanan dari beban hidup yang sangat berat. Sehingga mereka dapat merasakan kebaikan Allah yang luar biasa ketika mereka memperoleh segelas air dan sesuap makanan serta keramahan kita yang tulus. Dalam hal ini betapa sering wajah kita tidak ramah dan tangan kita tidak menunjukkan kemurahan kepada sesama yang sedang terbeban dan menanggung persoalan yang begitu berat. Manakala kita tidak ramah dan bermurah hati untuk hal-hal yang sederhana, maka kita tidak mungkin memberikan kemurahan hati untuk membela kasus mereka d depan hukum. Saya sangat terkesan dengan seorang pengacara dari Pakistan yaitu Parvez Aslam yang memiliki komitmen untuk membela setiap orang yang tertindas di negaranya. Karena umat Kristen di Pakistan banyak ditindas, diteror dan difitnah, dia beberapa kali menunjukkan komitmen pembelaannya di depan hukum. Untuk itu dia membentuk suatu asosiasi pengacara pengadilan tinggi (advocate high court) agar pembelaannya dapat lebih efektif dan keadilan ditegakkan bagi orang-orang yang tertindas dan tidak berdaya.

Model teologi/agama yang vertikalistis sering gagal melihat kehadiran Allah dalam diri sesama yang ada di sekitarnya. Mereka terus-menerus mencari dan menyembah Allah yang di atas, tetapi mereka mengabaikan kehadiran Allah di tengah-tengah kehidupan bersama sesamanya. Tepatnya teologi yang vertikalistis sering memisahkan secara tajam diri Allah dengan eksistensi dan hidup sesama. Mereka merasa telah beriman dan melakukan hal-hal yang berkenan kepada Allah dengan berbagai ritual ibadah dan hukum-hukum agama, tetapi mereka tidak peduli dan mengasihi sesamanya yang berbeda. Martin Buber seorang filsuf Yahudi dalam bukunya yang berjudul “I and Thou” mengulas secara mendalam tentang kehadiran Allah yang ditampilkan dalam wajah sesama. Sebab kecenderungan manusia pada umumnya memiliki relasi “I-It” (aku dan benda) yang mana sesama hanya dijadikan obyek, sehingga nilai dan martabat kemanusiaannya tidak dipedulikan dan dihargai sebagaimana yang seharusnya. Karena sesama hanya dijadikan obyek, maka sesama sering dieksploitasi, disiksa dan dibunuh. Kita dapat melihat berbagai kasus seperti pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan kepada para tenaga kerja Indonesia, ekploitasi sebagai budak dan gaji yang tidak manusiawi. Dalam relasi “I-It” agama banyak berbicara tentang Allah, tetapi mereka gagal memahami Allah sebagai pribadi (“religion means talking to God, not about God”). Itu sebabnya Buber mengajak agar kita berbicara kepada Allah secara personal melalui kehadiran dari pribadi-pribadi sesama. Bahkan manusia menjadi lebih sadar akan keberadaan Allah dalam setiap perjumpaan dengan sesama jika dia mau tetap terbuka dan siap memberi respon dengan seluruh keberadaannya (“man becomes aware of being addressed by God in every encounter if he remains open to that address and ready to respond with his whole being”). Makna “kasih persaudaraan” tidak lagi dipahami bahwa sesama yang dikasihi hanya karena dia sepaham, sesuku, seiman atau seagama; tetapi karena melalui sesama tersebut, Allah berkenan menyatakan wajahNya. Itu sebabnya di Mat. 25:40, Tuhan Yesus berkata: “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”.

Di Mat. 25:40 justru Tuhan Yesus menegaskan bahwa kehadiran diriNya dinyatakan melalui setiap sesama yang hina-dina. Sehingga perlakuan kita kepada setiap orang yang hina-dina pada hakikatnya merupakan perlakuan kita secara langsung kepada Tuhan Yesus. Ini berarti betapa seriusnya Tuhan Yesus menempatkan masalah hubungan kita dengan sesama sebagai bentuk hubungan kualitatif iman kita dengan Allah. Dalam konteks ini kita dianggap tidak beriman oleh Tuhan Yesus, ketika kita gagal untuk peduli dan mengasihi sesama. Manakala kita tidak mengasihi sesama, maka kita akan ditolak untuk masuk ke dalam kerajaan Allah. Dalam pandangan Tuhan Yesus sesama yang menderita dan hina tidak dianggap sebagai kelompok yang boleh dimarginalisasi dan dieksploitasi oleh karena ketidakberdayaannya. Justru umat percaya dipanggil untuk memberi prioritas dan perhatian kasih kepada sesama yang hina dan menderita. Di Luk. 14:13-14, Tuhan Yesus berkata: “Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Sebab engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar”. Nasihat Tuhan Yesus tersebut ditempatkan secara kontras dengan kecenderungan dan pola berpikir dunia pada umumnya. Sikap dunia pada umumnya lebih cenderung untuk memberi perhatian dan kasih hanya kepada sesama yang setara, yang kaya, sepaham dan yang mampu membalas kebaikan. Dalam hal ini kasih persaudaraan dipahami oleh dunia sebagai bentuk kasih dan kepeduliaan kita kepada teman-teman, saudara-saudara, orang-orang yang berada, orang-orang yang sesuku dan seagama. Mengapa kita lebih peduli dan mengasihi mereka? Di Luk. 14:12b, Tuhan Yesus berkata: “karena mereka akan membalasnya dengan mengundang engkau pula dan dengan demikian engkau mendapat balasan”. Betapa sering motif kita memberi dan melakukan kasih kepada sesama atau orang-orang tertentu, karena sebenarnya kita ingin memperoleh balasan dan pujian dari mereka. Itu sebabnya kita menjadi kurang peduli dan berlaku kurang ramah serta tidak bermurah hati kepada orang-orang yang miskin, hina dan menderita; karena mereka tidak mampu membalas kebaikan dan kemurahan hati kita.

Hubungan firman Tuhan di Ibr. 13:1-2 dan Luk. 14:13-14 merupakan hubungan yang sinergis dan saling melengkapi. Ketika kita memperlakukan sesama yang hina, miskin dan menderita dengan penuh kasih sesungguhnya kita telah menjamu para malaikat Tuhan. Kehadiran Allah bukan hanya di sorga, tetapi di bumi ini yaitu realita hidup kita. Kasih persaudaraan terwujud ketika kehadiran Allah dialami melalui kehadiran dari setiap sesama khususnya mereka yang miskin, cacat, lumpuh dan orang-orang buta. Mereka tidak lagi ditempatkan berada di luar wilayah hidup kita, tetapi sebaliknya mereka berada secara riel di dalam pusat hidup kita. Kita tidak sekedar bersimpati dengan penderitaan dan kesusahan mereka, tetapi lebih dari pada itu kita terpanggil untuk berempati dan berbela-rasa dengan mereka. Sehingga penderitaan dan kesusahan mereka menjadi pijakan yang integral dengan spiritualitas iman kita kepada Tuhan. Ini berarti penderitaan dan kesusahan mereka bukan sekedar sasaran dari spiritualitas iman kita, tetapi lebih dari pada itu penderitaan dan kesusahan mereka kini dapat terintegrasi secara penuh dengan spiritualitas kita. Dalam tahap spiritualitas yang demikian, kita dapat menghayati dan mengalami kembali makna penderitaan Kristus yang telah mengasihi setiap orang yang menderita dan menjadi korban ketidakadilan.

Manakala nabi Yeremia menegur umat Israel yang telah berbalik dari Allah dengan mengikuti dewa kesia-siaan, sebenarnya nabi Yeremia mau mengingatkan dan menegaskan bahwa relasi Allah dan umat Israel berada dalam relasi kasih. Di Yer. 2:2, Allah berfirman: “Aku teringat kepada kasihmu pada masa mudamu, kepada cintamu pada waktu engkau menjadi pengantin, bagaimana engkau mengikuti Aku di padang gurun, di negeri yang tiada tetaburannya”. Tetapi ternyata kemudian umat Israel berpaling dengan meninggalkan Allah. Mereka menyembah berbagai dewa kesia-siaan. Pengertian dewa kesia-siaan di sini sebenarnya menunjuk tindakan penyembahan berhala di mana mereka menjadikan “sesuatu yang bukan Allah” sebagai idol mereka. Jadi Allah tidak lagi menjadi idol utama yang dimuliakan. Akibatnya, para berhala atau dewa kesia-siaan tersebut menjauhkan umat Israel dari kuasa kasih Allah. Sebab mereka kemudian akan mengidolakan (memberhalakan) berbagai nafsu, pola hidup dan berbagai tingkah-laku yang buruk seperti mempersembahkan sesama atau anak-anak mereka kepada para berhala itu (bandingkan Im. 18:21!). Umumnya penyembahan berhala dalam pengertian ini senantiasa diikuti oleh kejahatan dan kekerasan kepada sesama. Jadi kasih persaudaraan dalam arti yang universal dan suci tidak mungkin dilakukan oleh para penyembah berhala. Sebab para penyembah berhala akan cenderung untuk menjadikan orang lain sebagai korban. Karena itu pengertian para penyembah berhala kini bukan hanya menunjuk kepada orang-orang yang tidak ber-Tuhan atau “kafir”; tetapi penyembah berhala sebenarnya juga menunjuk orang-orang yang menjadikan sesamanya sebagai korban sebagai pelampiasan hawa nafsu dan keinginannya yang duniawi.

Jika demikian, makin jelaslah bahwa pengertian para penyembah berhala tidak lagi hanya terbatas kepada orang-orang yang tidak beragama; tetapi para penyembah berhala pada masa kini meliputi setiap orang yang tidak menempatkan Allah sebagai pusat hidupnya sehingga mereka kehilangan kuasa kasihNya yang suci. Karena itu mereka tidak mampu mengasihi sesama sebagaimana yang seharusnya. Mereka lebih suka memperlakukan sesama hanya sebagai benda dan obyek untuk dieksploitasi. Karena itu mereka tidak pernah berjumpa dengan Allah walau mereka mungkin sangat khusuk dan taat beribadah. Jika demikian, kualitas iman kita kepada Tuhan Yesus sangat ditentukan pula oleh sikap dan perlakuan kita kepada sesama khususnya mereka yang hina, menderita dan menjadi korban ketidakadilan. Bagaimanakah sikap dan respon saudara? Amin.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Tidak ada komentar: