Renungan Minggu 11 Maret 2007
Pra-Paskah III, Tahun C
Yes. 55:1-9, Mzm. 63:1-8, I Kor. 10:1-13, Luk. 13:1-9
Masa Pra-Paskah dihayati oleh gereja Tuhan sebagai masa khusus untuk merenungkan dan memahami secara imaniah makna peristiwa penderitaaan/sengsara Kristus. Untuk itu gereja pada umumnya memaknai peristiwa penderitaan Kristus dengan cara “berpuasa” sebagai suatu proses pertobatan dan tanda penyangkalan diri. Secara prinsipial pengertian “berpuasa” dalam kehidupan gereja Tuhan tidak dipahami sebagai suatu tindakan religius dengan cara sekedar mengurangi makan atau menahan lapar. Tetapi makna puasa sesungguhnya lebih dihayati sebagai tindakan untuk menahan diri dan menyangkal diri untuk melawan berbagai keinginan dan nafsu yang selama ini membelenggu kehidupan seseorang. Kita menyadari bahwa keinginan dan nafsu dalam kehidupan manusia merupakan kenyataan batiniah yang sangat fundamental dan begitu menyatu dengan seluruh karakter kita, sehingga sering sulit kita kendalikan. Tidaklah mengherankan jikalau keinginan dan nafsu menjadi menjadi akar dari berbagai dosa umat manusia sepanjang masa. Dalam hal ini Alkitab menyadari kekuatan destruktif dari nafsu keinginan yang menjadi sumber dosa. Misalnya salah satu makna dari pemahaman Sepuluh Firman Allah adalah peringatan terhadap dosa keinginan. Itu sebabnya dalam Firman kesepuluh, Allah berfirman: “Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamamu” (Kel. 20:17).
Ketika seseorang dicengkeram oleh nafsu keinginan, dia sedang didorong oleh rasa “haus” yang sangat kuat terhadap sesuatu, sehingga dia terus berusaha untuk segera melegakan atau melepaskan rasa “haus-nya”. Kehidupan kita selaku umat Allah di dunia ini juga tidak terlepas dari rasa haus terhadap berbagai keinginan dan nafsu. Misalnya rasa haus tersebut mendorong kita untuk membelanjakan berbagai barang, sehingga melahirkan nafsu konsumtivisme. Juga rasa haus terhadap kekuasaan, sehingga mendorong diri kita menjadi pribadi yang sangat ambisius untuk menduduki suatu jabatan dengan cara yang tidak halal. Rasa haus terhadap uang dan materi, yang menyebabkan kita menjadi pribadi yang berjiwa materialistik. Rasa haus terhadap nafsu seks yang menyebabkan kita melakukan berbagai perselingkuhan. Rasa haus terhadap berbagai kenikmatan duniawi ini, sehingga kita menjadi orang-orang yang hedonistis. Selama kita masih dikuasai oleh rasa haus yang duniawi, maka kita tidak memiliki kesediaan dan kemampuan untuk bertobat. Sebab rasa haus terhadap berbagai kenikmatan duniawi dapat diumpamakan seperti saat kita sedang kehausan di tengah laut dengan meminum air asin. Akibatnya rasa haus kita tersebut justru makin bertambah kuat. Dalam kehidupan sehari-hari rasa haus terhadap suatu dosa yang ada berusaha kita hentikan, tetapi dengan cara yang ironis, yaitu kita justru melakukan suatu dosa yang lain. Jadi rasa haus yang duniawi telah mendorong kita untuk terjebak dalam dosa yang semakin dalam dan kompleks.
Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, rasul Paulus memberi nasihat dan peringatan demikian: “Semuanya ini telah terjadi sebagai contoh bagi kita untuk memperingatkan kita, supaya jangan kita menginginkan hal-hal yang jahat, seperti yang telah mereka perbuat” (I Kor. 10:6). Bentuk-bentuk keinginan sebagai rasa “haus” sehingga akhirnya umat Israel berdosa diuraikan oleh rasul Paulus sebagai berikut, yaitu:
- Menjadi penyembah-penyembah berhala (ayat 7)
- Melakukan percabulan (ayat 8)
- Mencobai Tuhan (ayat 9)
- Bersungut-sungut (ayat 10)
Semua jenis dosa yang diuraikan di atas senantiasa diawali dengan keinginan yang begitu kuat bagaikan orang yang sedang kehausan. Manakala mereka tidak sempat melakukan keinginan tersebut, maka mereka merasa ada sesuatu yang “hilang” atau sesuatu yang masih “kurang” di dalam diri mereka. Sehingga tidak mengherankan pengetahuan dan pemahaman mereka yang cukup tentang firman Tuhan dan kehendakNya ternyata tidak pernah menyurutkan hati mereka untuk berani melanggarnya. Umumnya kita semua mengerti dan mengetahui segala hal yang dilarang oleh Allah. Tetapi hampir pasti kebanyakan dari antara kita bersikap secara sengaja untuk melanggar firman Tuhan tersebut. Mengapa? Karena dosa keinginan kita dalam kehidupan sehari-hari ternyata lebih kuat dari semua hal yang kita ketahui dan pahami tentang firman Tuhan tersebut. Rasa haus akan kenikmatan dosa tersebut juga ternyata lebih besar dari pada pengaruh suara hati dan pemahaman etis kita tentang kehendak Allah. Jadi apabila kita tidak waspada dan berjuang sungguh-sungguh, kita semua dapat menjadi budak-budak keinginan dosa sepanjang hidup kita. Apabila kita membiarkan diri kita terus-menerus terbelenggu oleh dosa keinginan tersebut, maka kita tidak akan pernah mengecap dan mengalami makna keselamatan dari Allah yang membebaskan, walaupun mungkin kita tergolong seorang yang religius dan sangat taat beribadah sebagai umat Kristen.
Di Yes. 55:1, Allah berfirman: “Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air, dan hai orang yang tidak mempunyai uang, marilah! Terimalah gandum tanpa uang pembeli dan makanlah, juga anggur dan susu tanpa bayaran”. Sejarah umat manusia telah membuktikan bahwa dunia tidak dapat memuaskan rasa haus umat manusia yang terdalam. Sehingga dunia dan segala kuasanya tidak mampu memberikan jalan keluar dan keselamatan bagi umat manusia yang telah dicengkeram oleh rasa haus terhadap keinginan dosa. Jadi hanya Tuhan sajalah yang mampu melegakan rasa haus dan keselamatan kepada umat manusia. Apabila dunia hanya dapat memberikan makanan yang tidak dapat mengenyangkan kebutuhan rohani manusia yang terdalam, maka di Yes. 55:2 Allah menjanjikan makanan yang dapat mengenyangkan dan menyelamatkan setiap orang yang menyambutnya. Allah berfirman: “Sendengkanlah telingamu dan datanglah kepadaKu; dengarkanlah, maka kamu akan hidup!” (Yes. 55:3). Makanan rohani yang dapat mengenyangkan dan memberi keselamatan adalah saat kita secara konsisten dan intensif bersedia menyendengkan telinga dan datang kepada Tuhan. Sebab telinga merupakan alat inderawi yang paling peka di mana kita sering tertarik untuk mendengar sesuatu, lalu kita tergerak untuk mengisi batin kita dari apa yang kita dengarkan. Tetapi manakala kita mau menyendengkan telinga kepada Tuhan saja, maka roh atau seluruh kepribadian kita akan dipenuhi oleh firman Tuhan.
Makna pertobatan yang sejati bukan lagi sekedar kisah kesaksian tentang “pindah agama” atau ungkapan emosional religius yang hanya indah dan tampak saleh pada saat diucapkan. Tetapi pertobatan menjadi suatu peristiwa perubahan orientasi kehidupan yang menyeluruh sebab batin dan roh kita sepenuhnya telah dikuasai oleh firman Allah. Rasa haus kepada kenikmatan dan nafsu duniawi, diubah menjadi rasa haus yang berorientasi kepada kuasa kasih Allah. Sehingga dengan rasa haus yang rohaniah tersebut, umat percaya memiliki kerinduan yang sangat dalam untuk berjumpa secara personal dengan diri Allah. Mzm. 63:2 berkata: “Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau, jiwaku haus kepadaMu, tubuhKu rindu kepadaMu, seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair”. Dalam relasi kasihnya dengan Allah, si pemazmur kini tidak memiliki rasa haus yang lain kecuali rasa haus kepada kasih Allah. Sebab itu pemazmur berkata: “Sebab kasih setiaMu lebih baik dari pada hidup; bibirku akan memegahkan Engkau” (Mzm. 63:4).
Jika demikian, bagaimana orientasi dari rasa haus kita? Apakah rasa haus kita terarah kepada kenikmatan duniawi dan kuasanya? Ataukah rasa haus kita justru terarah kepada kehendak dan rencana Allah, sehingga kita dengan tulus bersedia mengerahkan seluruh tenaga, waktu dan dana serta hati kita untuk kemuliaan dan karyaNya? Apabila saat ini kita belum mengarahkan hati kepada Tuhan dan haus kepada firmanNya, maka kini masih tersedia kesempatan bagi kita untuk bertobat dari rasa haus yang duniawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar