Renungan, 29 Juli 2007
Hos. 1:2-10, Mzm. 85, Kol. 2:6-19, Luk. 11:1-13
Tugas khusus dari para nabi Allah adalah diutus untuk memberitakan firman Allah kepada umat agar umat hidup benar menurut kehendak dan firman Allah. Itu sebabnya nabi disebut dengan sebagai “prophet” dan berita kenabiannya disebut sebagai “prophecy”. Sebab dalam pengertian “prophecy” seorang nabi diutus untuk memberitakan suatu peringatan hal-hal yang akan terjadi jikalau umat mengabaikan kehendak Allah. Untuk itu para nabi memberitakan firman dengan berbagai macam bentuk dan metode agar umat dapat memahami firman Allah, sehingga mereka dapat berbalik serta bertobat kepada Tuhan. Salah satu cara yang dipakai oleh para nabi dalam menyampaikan firman Tuhan adalah mereka menggunakan tindakan-tindakan simbolis sehingga umat yang melihat atau mendengar dapat menangkap maksud dari berita yang disampaikan. Bentuk-bentuk simbolis tersebut misalnya nabi menggunakan sebuah batu tulis besar dan membuat tulisan di atasnya (Yes. 8:1-4), ikat pinggang lenan yang diikatkan pada pinggang nabi (Yer. 13:1-11), dan sebagainya. Tetapi kadang-kadang tindakan simbolis yang digunakan oleh nabi melibatkan kediriannya secara total. Dalam hal ini kita dapat melihat kasus nabi Hosea yang diperintahkan oleh Allah untuk mengawini seorang wanita sundal yaitu Gomer binti Diblaim dan kemudian isterinya itu memperanakkan anak-anak sundal (Hos. 1:2).
Latar-belakang Allah memerintahkan nabi Hosea untuk mengawini wanita sundal dan memperanakkan anak-anak sundal pada prinsipnya untuk menunjukkan kehidupan umat Israel yang waktu itu telah “bersundal” dengan membelakangi Allah. Umat Israel telah berpaling dari Allah dengan menyembah kepada dewa Baal (bandingkan Hos. 2:15-16). Dari perkawinan nabi Hosea dengan Gomer binti Diblaim, nabi Hosea kemudian memperoleh 3 orang anak, yaitu: Yizreel, Lo-Ruhama, dan Lo-Ami. Sangat menarik bagaimana Allah menyuruh nabi Hosea menamai anak-anaknya. Sebab nama dari anak-anak nabi Hosea tersebut mengandung makna simbolis untuk mengungkap situasi umat Israel yang nyata. Nama “Yizreel” sebenarnya menunjuk kepada suatu lembah dan dijadikan sebagai tempat tinggal raja Israel Utara. Di Hos. 1:4-5, Allah berfirman: “Berilah nama Yizreel kepada anak itu, sebab sedikit waktu lagi maka Aku akan menghukum keluarga Yehu karena hutang darah Yizreel dan Aku akan mengakhiri pemerintahan kaum Israel. Maka pada waktu itu Aku akan mematahkan busur panah Israel di lembah Yizreel”. Jadi penamaan anak pertama dari nabi Hosea dengan panggilan “Yizreel” pada hakikatnya untuk menyatakan bahwa Allah akan segera menghukum keluarga Yehu, yaitu raja Israel Utara; dan pemerintahannya akan berakhir. Sedang nama anak kedua dari nabi Hosea dipanggil dengan nama “Lo-Ruhama” yang berarti: “tidak disayangi”. Jadi nama “Lo-Ruhama” untuk menunjuk bahwa umat Israel tidak lagi disayang dan diampuni oleh Allah (Hos. 1:6). Lalu anak ketiga dari nabi Hosea dipanggil dengan nama “Lo-Ami” untuk menunjukkan bahwa umat Israel kini tidak lagi berstatus sebagai umat Allah, dan Allah telah menolak mereka untuk menjadi umatNya (Hos. 1:8-9).
Dalam konteks ini nabi Hosea diutus Allah untuk memberitakan firman Allah bukan hanya dengan perkataan dan pengajarannya, tetapi dia bersedia menjadikan kehidupan pribadinya untuk terlibat secara total yang mana dia harus mengawini seorang wanita sundal, dan memiliki 3 orang anak dari perempuan sundal. Seandainya terjadi pada masa sekarang tentulah akan menjadi berita yang heboh, misalnya karena seorang pendeta harus mengawini wanita sundal dan memperoleh anak-anak yang nama-namanya “tidak lazim” untuk menunjukkan situasi kehidupan jemaat yang dilayaninya. Tetapi di balik kesediaan nabi Hosea yang taat kepada firman Allah tersebut kita dapat menangkap sikap pengorbanan diri yang luar-biasa. Nabi Hosea bersedia mempertaruhkan reputasi dirinya sebagai seorang nabi Allah dan dia rela mengorbankan masa depannya yang mungkin menjadi lebih baik jikalau dia tidak menikahi seorang wanita sundal bernama Gomer binti Diblaim. Namun di balik pengorbanan diri dari nabi Hosea tersebut sesungguhnya Allah juga mau menyatakan bahwa Dia Allah yang tetap mengasihi dan setia kepada umatNya. Kehidupan pribadi dari nabi Hosea selain dipakai oleh Allah untuk menyingkapkan situasi dan kehidupan umat Israel yang membelakangi Allah; tetapi juga penderitaan nabi Hosea yang bersedia berkorban diri juga merupakan gambaran dari diri Allah yang menderita akibat dosa-dosa umatNya.
Kalau seandainya Allah menyikapi umatNya hanya dengan keadilan dan kekudusanNya, pastilah seluruh umat Israel binasa. Tetapi Allah yang adil dan kudus itu juga adalah Allah yang pengasih dan penyayang. Dia tetap menyayangi umatNya, walaupun mereka sering berpaling dan membelakangi Allah. Dengan penggunaan kata “ruhama” sebenarnya berasal dari akar kata “rahim”. Jadi Allah mengasihi dan menyayangi umatNya sebagaimana seorang ibu mencintai buah rahimnya sendiri. Walaupun buah rahim yaitu anaknya itu berpaling dan tidak setia, pastilah seorang ibu tetap menyayangi anaknya dengan kasih-setia. Demikian pula dengan sikap Allah. Dia tetap memperlakukan umat Israel sebagai “buah rahimNya”. Itu sebabnya kasih Allah senantiasa memiliki lingkup yang lebih besar dari pada kesalahan dan dosa umatNya. Sehingga Allah akan menyayangi kembali “Lo-ruhama” (yang tidak disayangi) dan menyayangi lagi “Lo-Ami” (yang bukan umat Allah). Bukankah yang umum terjadi adalah kita hanya mampu menyayang yang kita sayangi, dan juga menyayang orang-orang yang berada dalam lingkup keanggotaan kita sendiri? Tetapi dalam kitab nabi Hosea, kita dapat melihat bagaimana Allah dalam kekayaan kasihNya mampu menyayang seseorang yang sebenarnya tidak Dia sayangi. Juga bagaimana Allah tetap mampu menyayang umat Israel yang sebenarnya tidak layak lagi disebut sebagai umatNya. Ini berarti sifat dari kasih Allah yang hakiki adalah kasih yang tanpa syarat (unconditional of love). Allah mengasihi karena hakikatNya Dia adalah kasih (I Yoh. 4:8). Sehingga Allah tetap mengasihi dengan setia kepada umat yang sebenarnya tidak setia dan tidak mengasihi Dia.
Penyataan kasih Allah yang tanpa syarat tersebut seharusnya kita jadikan sebagai pola kehidupan kita. Di dalam kehidupan, pelayanan dan pengorbanan Kristus Allah telah mengungkapkan kasihNya yang secara total kepada seluruh umat manusia. Sebagaimana nabi Hosea bersedia mengorbankan dirinya untuk menjadi simbol pemberontakan umat dan juga simbol dari penderitaan kasih Allah, maka demikian pula hidup dan karya Kristus. Dalam hidupNya sebagai manusia, Allah di dalam Kristus telah mengungkapkan kasihNya yang berkorban diri. Allah tetap menyayangi umat manusia yang telah menolak dan membunuh Kristus. Bahkan melalui kematian Kristus, Allah menyayangi umat yang semula bersikap “lo-ruhama” (yang tidak disayang) oleh Allah, dan Allah berkenan pula merangkul manusia yang “lo-ami” (bukan umat Allah). Itu sebabnya di dalam Kristus, umat Allah tidak lagi terbatas pada lingkup umat Israel saja tetapi kini terbuka kepada semua orang. Karena itu kita selaku umat Allah yang telah ditebus oleh darah Kristus dipanggil untuk memberlakukan kasih Kristus dalam kehidupan sehari-hari. Pola hidup Kristus yang sempurna dalam kasih Allah seharusnya menjadi pola kehidupan setiap orang percaya. Itu sebabnya di Kol. 2:6-7, rasul Paulus berkata: “Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur”. Dalam konteks ini rasul Paulus mengingatkan agar jemaat tetap hidup di dalam Kristus, yaitu jemaat bersedia hidup dengan berakar dan dibangun di atas kasih Kristus. Sebab manakala jemaat tidak mau berakar dan dibangun di atas kasih Kristus, maka mereka akan berpaling dan membelakangi kasih Allah; serta sifat kasih mereka hanya cenderung egois dan bersyarat.
Apabila kesetiaan kasih Allah dalam kitab nabi Hosea ditampilkan seperti seorang ibu sehingga Dia dengan penuh kerahiman yang mampu menyayangi umat “yang tidak disayangi” dan Allah berkenan merangkul umat yang sebenarnya tidak layak disebut sebagai “umat Allah” maka di dalam doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus, Allah dinyatakan sebagai seorang Bapa. Bahkan di dalam Kristus, Allah dipanggilnya dengan sebutan “Abba” yang mana panggilan “Abba” tersebut sebenarnya digunakan dalam hubungan seorang ayah dengan anak-anaknya. DiLuk. 11:11 Tuhan Yesus berkata: “Bapa manakah di antara kamu, jika anaknya minta ikan dari padanya akan memberikan ular kepada anaknya itu ganti ikan? Atau jika ia minta telur, akan memberikan kepadanya kalajengking? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepaa anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepadaNya”. Gambaran Allah sebagai Bapa yang disaksikan oleh Tuhan Yesus adalah pribadi Ilahi yang aktif, peduli, penuh kasih dan tahu memberikan yang terbaik kepada manusia yang meminta kepadaNya. Sehingga Allah tidak mungkin memberikan yang buruk dan mencelakakan anak-anakNya, walaupun anak-anaknya itu sering berpaling dan memberontak kepadaNya. Jadi kasih Allah kepada manusia dinyatakan oleh firman Tuhan bagaikan kasih yang tulus dan suci dari seorang ibu dan ayah yang selalu menyayangi semua anak-anaknya. Semua gambaran Allah sebagai seorang ibu atau ayah tersebut pada prinsipnya bertujuan agar kita dapat memberi respon kasih yang tulus dan berlaku setia tanpa syarat sebagai anak-anak Allah. Kasih dan kesetiaan kita kepada Allah tidak boleh bersifat legalistik sebagaimana umat Israel dalam menghayati hukum Taurat. Jadi yang berkenan kepada Allah bukanlah kasih dan kesetiaan yang lahiriah belaka. Sifat kasih dan kesetiaan yang lahiriah tidak pernah ditandai oleh pertobatan yang nyata, sehingga kita masih hidup dalam kuasa dosa. Itu sebabnya di Kol. 2:11 rasul Paulus berkata: “Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa”.
Dalam praktek hidup sehari-hari, kasih dan kesetiaan kita lebih cenderung bersifat lahiriah belaka. Kita tidak memperlakukan kasih dan kesetiaan sebagai anak-anak di hadapan Allah kita yang menyayangi kita bagaikan seorang ibu dan ayah. Itu sebabnya sejujurnya kita tidak takut berdosa “di hadapan Tuhan”. Kita sering tidak menganggap atau memperlakukan Allah sebagai ibu dan ayah kita. Karena itu kita berani melakukan berbagai dosa secara sembunyi-sembunyi bukan karena kita takut kepada Tuhan, tetapi karena kita takut kepada orang di sekitar kita. Sebab apabila dosa kita sampai ketahuan orang lain, kita akan malu besar dan mengalami penderitaan yang berkepanjangan. Dengan pola pemikiran demikian, kita selaku umat Allah bersama dengan anggota masyarakat yang lain berusaha menyembunyikan berbagai perbuatan dosa dengan rapi. Bahkan kerapian menutupi dan menyembunyikan berbagai dosa atau aib itu kita sembunyikan dengan berbagai simbol keagamaan, melakukan ibadah dengan rajin dan berlaku saleh dengan berbagai pelayanan gerejawi. Jadi ibadah “yes”, dan dosa “tetap jalan terus”. Jadi sesungguhnya kita hanya disunat secara lahiriah belaka, tetapi kita belum disunat secara rohaniah oleh sunat Kristus. Sehingga kekristenan kita tidak ditandai oleh penanggalan akan tubuh yang berdosa, tetapi sebaliknya kekristenan justru sering dipakai sebagai menjadi tempat yang aman untuk menyembunyikan berbagai aib, dosa dan kejahatan para umat Allah. Manakala umat Israel pada zaman nabi Hosea bersundal dengan Baalisme, maka kita selaku umat Kristen juga sering bersundal dengan berbagai dosa.
Kini Allah di dalam Kristus berkenan menyatakan kasihNya yang tanpa syarat dan bersedia berkorban agar kita yang berdosa dipulihkan. Sehingga kehidupan kita yang baru di dalam Kristus sungguh-sungguh ditandai oleh kasih Allah yang tanpa syarat dan rela berkorban pula. Kita tidak lagi hidup menurut kehendak dan keinginan dosa, tetapi kita hidup menurut kehendak Allah. Dalam hal ini hidup kita berakar dan dibangun di dalam Kristus, sehingga pola hidup kita senantiasa mencerminkan kesetiaan kasih Allah yang tanpa syarat itu. Jika demikian, bagaimanakah sikap dan tanggapan kita terhadap kasih Allah yang tanpa syarat dan penuh pengorbanan diri itu? Maukah kita menjadikan hidup kita dikuasai oleh kasih Allah, dan bukan dikuasai oleh cinta diri? Manakala hidup kita dapat bebas dari cinta diri dan dikuasai oleh kasih Allah, maka kita juga dimampukan untuk menyayang setiap orang yang sebenarnya kita benci dan merangkul setiap orang menjadi lawan-lawan atau musuh-musuh kita. Sehingga sangatlah tepat salah satu doa dari Bapa Kami yang berkata: “dan ampunilah kami akan dosa kami, sebab kamipun mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kami” (Luk. 11:4). Amin.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar