Rabu, 26 September 2007

YANG BARU DARI SALING MENGASIHI

Renungan Minggu, 6 Mei 2007


Kis. 11:1-18, Mzm. 148, Why. 21:1-6, Yoh. 13:31-35

Ketika kita ditanya oleh orang-orang di sekitar kita tentang bagaimana ciri yang menonjol dari ajaran agama Kristen, maka kita akan segera member jawaban: “Kasih”. Jawaban kita tersebut sangat tepat, sebab Tuhan Yesus telah mengajarkan kepada kita: “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat. 22:37-40). Jadi dengan ajaran Tuhan Yesus tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa ciri utama dari iman Kristen adalah perbuatan kasih kepada Allah dan kepada sesama sebagaimana kita mengasihi diri sendiri. Namun, apakah dengan jawaban tersebut telah menjawab tema khotbah kita pada hari ini, yaitu “Yang Baru Dari Saling Mengasihi?”. Mungkin pertanyaan tentang kasih sedikit terjawab dengan mengutip perkataan dan ajaran dari Tuhan Yesus tersebut. Tetapi yang masih belum dapat terjawab adalah, apa yang baru dari saling mengasihi itu?

Kalau kita mau jujur, jawaban Tuhan Yesus tentang kasih sebagaimana yang disaksikan Mat. 22:37-40 bukanlah suatu ajaran yang sama sekali baru. Ajaran Tuhan Yesus di Mat. 22:37-40 sebenarnya merupakan hasil kutipan dari kitab Taurat, tepatnya dikutip dari Ul. 6:5 dan Im. 19:18? Ul. 6:5 berkata: “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu”. Sedang Im. 19:18 berkata: “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN”. Kalau ajaran Tuhan Yesus di Mat. 22:37-40 merupakan kutipan dari kitab Taurat, dapatkah ajaran Tuhan Yesus tersebut dianggap baru dan menjadi ciri dari iman Kristen? Paling tidak dapat kita katakan bahwa ajaran kasih diajarkan baik oleh Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru; atau ajaran kasih tersebut telah diajarkan oleh kitab Taurat dan juga oleh Tuhan Yesus. Jika demikian, adakah yang sungguh-sungguh baru dari ajaran kasih sebagaimana yang telah diajarkan oleh Tuhan Yesus?

Di Yoh. 13:34, Tuhan Yesus berkata: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi”. Perintah baru yang diberikan oleh Tuhan Yesus adalah: “supaya kita saling mengasihi”. Namun pernyataan yang terpenting dari panggilan untuk saling mengasihi adalah “sama seperti Aku telah mengasihi kamu”. Sebab para murid Kristus tidak akan dapat saling mengasihi, manakala mereka belum menerima pengalaman dikasihi oleh Tuhan Yesus. Selama ini mereka telah mengalami secara nyata kasih Allah di dalam tindakan dan perbuatan Tuhan Yesus, maka mereka dimampukan untuk saling mengasihi. Ini berarti ajaran yang hanya menyatakan agar kita saling mengasihi bukanlah sesuatu yang baru. Sebab kasih pada prinsipnya merupakan ajaran yang universal. Setiap agama, keyakinan dan kepercayaan di seluruh muka bumi ini sebenarnya mengenal ajaran tentang kasih. Itu sebabnya perintah baru dari apa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus adalah para murid hanya dapat mengasihi Allah dan sesama, karena mereka telah mengalami secara nyata bagaimana mereka dikasihi oleh Kristus. Betapa sering kita hanya mampu menganjurkan orang lain atau orang-orang di sekitar kita untuk melakukan tindakan kasih, tetapi kita secara pribadi tidak menyatakan kasih yang menyentuh dan memulihkan kehidupan sesama. Ajaran agama-agama sering hanya mengedepankan tuntutan untuk melakukan perbuatan baik dan kasih, tetapi mereka melupakan aspek yang sangat utama, yaitu menyatakan kasih Allah secara nyata dengan kesediaan berkorban sebagaimana yang telah dilakukan oleh Tuhan Yesus.

Kasih Allah yang dinyatakan oleh Kristus bukan hanya dalam berbagai bentuk perbuatan baik yang mau peduli dengan berbagai pergumulan dan kesusahan hidup para muridNya, tetapi lebih dari pada itu Tuhan Yesus bersedia memberikan nyawaNya bagi mereka. Jadi Tuhan Yesus mengungkapkan seluruh kasihNya yang terdalam dengan memberikan hidupNya. Dia bersedia “ditiadakan” agar umat manusia memperoleh keselamatan dan hidup yang kekal. Dengan perkataan lain, Kristus hidup bukan untuk “meniadakan” eksistensi dan hidup sesamanya; sebaliknya Dia bersedia mengorbankan hidupNya agar kehidupan umat manusia menjadi makin berarti di hadapan Allah dan sesamanya. Karena itu ketika Tuhan Yesus berbicara mengenai “Anak Manusia akan dipermuliakan” (Yoh. 13:31) sama sekali Dia tidak berbicara mengenai “kemuliaan diriNya” dengan cara merebut atau merampas hak hidup orang lain. Sebab makna pengertian “Anak Manusia akan dipermuliakan” justru dimaksudkan oleh Tuhan Yesus untuk menunjuk peristiwa penderitaan dan kematian yang akan dialamiNya. Yoh. 13:33 memperjelas maksud Tuhan Yesus saat Dia berbicara mengenai “Anak Manusia yang dipermuliakan”, yaitu: “Hai anak-anak-Ku, hanya seketika saja lagi Aku ada bersama kamu. Kamu akan mencari Aku, dan seperti yang telah Kukatakan kepada orang-orang Yahudi: Ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang, demikian pula Aku mengatakannya sekarang juga kepada kamu. Di Yoh. 13:33, Tuhan Yesus mengingatkan para murid, bahwa Dia hanya sebentar saja berada di tengah-tengah mereka secara fisik. Sebab setelah itu Dia akan pergi kepada BapaNya. Artinya Kristus akan dipermuliakan oleh Allah dengan peristiwa penderitaan dan kematianNya di atas kayu salib.

Dimensi makna kasih dalam iman Kristen menjadi sesuatu yang baru, karena didasari oleh pengorbanan dan pemberian hidup, yaitu melalui kematian Tuhan Yesus. Namun, bukankah di luar agama Kristen juga banyak contoh yang memperlihatkan tindakan kasih yang didasari oleh pengorbanan hidup? Bukankah para pahlawan umumnya juga memiliki sifat atau ciri-ciri yang bersedia berkorban bagi kepentingan orang banyak atau rakyatnya? Di sinilah iman Kristen khususnya kesaksian Alkitab memberi nuasa baru secara teologis, yaitu Kristus adalah Anak Allah yang mulia. Namun Dia merelakan hidupNya menjadi korban yang mendamaikan antara Allah dengan umat manusia; sehingga dengan kematianNya manusia dapat memperoleh keselamatan dan hidup yang kekal. Dengan demikian tindakan kasih dari Tuhan Yesus yang bersedia mengorbankan diriNya tersebut pada prinsipnya bertujuan untuk menyatakan kasih Allah yang sempurna dan yang menyelamatkan seluruh umat manusia. Kasih yang dinyatakan oleh Kristus, bukan sekedar suatu bentuk dari kasih karitatif; tetapi kasih yang dinyatakan oleh Kristus adalah kasih yang transformatif yang mengubah status umat manusia yang semula berada di bawah kuasa dosa menjadi umat pewaris perjanjian Allah. Kasih Kristus adalah untuk mengangkat harkat manusia yang cemar karena dosa agar mereka dapat menjadi orang-orang yang berhak menyandang gelar sebagai anak-anak Allah, bukan lagi hamba dari kuasa dosa.

Selain itu dimensi perintah baru dari Kristus kini tidak lagi terbatas pada wilayah umat Israel saja. Berulang-ulang dalam ajaranNya, Tuhan Yesus telah memberi contoh bagaimana orang Samaria yang dianggap najis justru memiliki kasih dan kemurahan hati (Luk. 10:25-37), atau wanita Kanaan yang memiliki iman yang sangat mengejutkan dri pada umat Israel sendiri (Mat. 15:21-28). Tujuannya adalah agar umat Israel makin terbuka mata rohani mereka untuk melihat keselamatan Allah yang dinyatakan kepada bangsa-bangsa di luar kehidupan dan keagamaan mereka. Sehingga tidak mengherankan jikalau di Kis. 11:1-18 disaksikan bagaimana Allah di dalam Kristus juga menyatakan keselamatanNya kepada seluruh bangsa, dan tidak lagi terbatas kepada umat Israel. Di Kis. 11:1 menyatakan: “Rasul-rasul dan saudara-saudara di Yerusalem mendengar, bahwa bangsa-bangsa lain juga menerima firman Allah”. Keselamatan yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus bergeser dari lingkup yang semula bersifat eksklusif yaitu umat Israel, kini berubah menjadi lingkup yang inklusif yaitu seluruh umat manusia. Itu sebabnya di Kis. 11:18 umat Kristen yang berlatar-belakang Yahudi akhirnya tiba pada sebuah kesadaran. Kis. 11:18 menyatakan: “Ketika mereka mendengar hal itu, mereka menjadi tenang, lalu memuliakan Allah, katanya: Jadi kepada bangsa-bangsa lain juga Allah mengaruniakan pertobatan yang memimpin kepada hidup”. Jemaat Kristen perdana telah mengalami perubahan paradigma teologis yang sangat penting. Mereka kini menghayati kasih Kristus sebagai karya keselamatan Allah yang terbuka kepada seluruh umat manusia. Paradigma teologis tersebut menjadi dasar pijak teologis bagi jemaat atau kekristenan untuk menyatakan kasih Kristus yang menyelamatkan kepada seluruh umat manusia.

Kehidupan umat manusia pada masa kini cenderung berada dalam kehidupan yang serba kontroversial. Pada satu pihak kita telah berada pada aras global yang telah didukung oleh berbagai alat multi-media dan teknologi komunikasi serta ilmu pengetahuan, sehingga kita dengan mudah dan cepat mampu menyerap berbagai hal dari seluruh belahan muka bumi. Itu sebabnya pada masa kini hal mode, gaya hidup, jenis makanan dan minuman cenderung menjadi serba sama. Tetapi pada sisi lain umat manusia juga berada dalam kecenderungan yang sangat kuat untuk menonjolkan kesukuan, etnis, golongan, dan fanatisme keagamaan. Dapat kita simpulkan bahwa ciri hidup umat manusia pada masa kini adalah kehidupan global yang primordialistik. Hasilnya kita tahu bahwa situasi global yang dimaksudkan sama sekali bukan menunjuk kepada kasih yang mampu mengglobal, yaitu kasih yang mampu menembus batas-batas kesukuaan, etnis, golongan dan fanantisme agama. Tetapi sebaliknya kasih umat manusia pada masa kini adalah kasih yang serba primordialistik, yaitu kasih yang sangat eksklusif dan cenderung untuk meniadakan kehidupan orang lain yang dianggap berbeda. Itu sebabnya yang ditonjolkan bukan suatu paradigma teologis yang bersedia mengorbankan dirinya, tetapi paradigma dengan nama “teologis” (dengan nama “Allah”) untuk mengorbankan hidup orang lain. Bahkan mereka merasa diberkati oleh Allah, manakala mereka dapat membantai sebanyak mungkin orang hanya karena orang lain dianggap tidak sepaham atau seagama. Di tengah-tengah arus globalisasi teknologi, ilmu pengetahuan dan informasi juga terjadi pembunuhan dan pembantaian global atau massal.

Tidak berkelebihan jikalau dinyatakan bahwa secara hakiki: Kristus versus primordialisme. Manakala kasih Kristus senantiasa “mengglobal” yang mampu menembus batas-batas kesukuan, etnis, golongan, nasionalisme dan fanatisme keagamaan; maka sikap primordialisme justru mendorong umat manusia memberlakukan kasih yang serba sempit dan dangkal. Primordialisme justru mengagung-agungkan kesukuaan, etnis, golongan, kebangsaan dan agama seraya mendiskreditkan dan meniadakan pihak lain. Sikap primordialistik senantiasa mempersubur sikap fanatik, sikap ekstrem yang radikal dalam menghayati suatu ajaran agama, kehausan untuk menumpahkan darah kepada orang-orang yang dianggap sebagai lawan yang berbahaya, dan rela mengorbankan diri secara destruktif (bom bunuh diri) agar banyak orang yang binasa. Justru di tengah-tengah keadaan itu Kristus menampilkan diriNya sebagai Anak Allah yang bersedia berkorban tanpa syarat (the unconditional of love). Dia bersedia mati secara hina di atas kayu salib agar seluruh umat manusia dapat selamat dan memperoleh hidup yang berkelimpahan sebagai anak-anak Allah.

Jika demikian pertanyaan utama yang perlu direnungkan dan dijawab dengan jelas oleh umat percaya adalah apakah sikap primordialistik tersebut masih menyelinap dan bekerja secara efektif dalam hati-sanubari kita sehingga karakter dan kepribadian kita masih menunjukkan sikap yang duniawi dan jauh dari tindakan kasih? Sangat celaka jikalau roh primordialistik yang mengagung-agungkan kesukuan, etnis, golongan dan agama kemudian diberi label “iman Kristen”. Label-label “rohani” inilah yang membuat kita tidak lagi peka dan kritis dengan jati-diri kita, sehingga membuat diri kita selalu merasa benar walau telah banyak menyengsarakan orang lain. Padahal setiap label dengan topeng “agama atau kekristenan” tersebut telah menempatkan diri kita pada posisi sebagai lawan dari Kristus. Mengapa dalam posisi itu kita telah menjadi lawan dari Kristus? Karena berarti sesungguhnya kita belum mengalami secara nyata dan eksistensial kasih Allah sebagaimana yang telah dinyatakan di dalam Tuhan Yesus. Ketika kita belum membuka diri untuk dikasihi oleh Tuhan, maka hidup kita hanya dipenuhi oleh kebencian, rasa curiga, perasaan diri superior dan dendam kepada sesama. Sebaliknya kita dapat menjadi kawan-sekerja Allah, pada saat kita saling mengasihi dan bersedia untuk berkorban. Jika demikian, apakah kehidupan kita saat ini telah dipenuhi oleh kasih Allah? Seberapa luas lingkup kasih kita kepada sesama, apakah hanya terbatas pada kelompok etnis tertentu, suku tertentu, golongan tertentu dan agama tertentu saja? Ataukah lingkup kasih kita makin meluas dan tidak pernah dibatasi lagi oleh tembok-tembok kesukuan, geografis, golongan, denominasi dan keagamaan? Sebagaimana Tuhan Yesus telah mengasihi umat manusia secara inklusif dan meluas ke seluruh pribadi umat manusia sepanjang abad, maka marilah kita juga saling mengasihi sesama. Bahkan lebih dari pada itu Tuhan Yesus bersedia berkorban dan memberikan hidupNya bagi seluruh umat manusia, maka marilah kita sebagai jemaatNya juga bersedia untuk berkorban dengan kasih yang tanpa syarat. Sikap kasih yang demikian baru mencerminkan sebagai umat percaya, karena kita telah menerima yang baru dari kasih Allah.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Tidak ada komentar: