Renungan Minggu, 15 Juli 2007
Amos 7:7-17, Mzm. 82, Kol. 1:1-14, Luk. 10:25-37
Dalam suatu acara Pemahaman Alkitab, ketika Injil Lukas 10:25-37 selesai dibacakan, seorang pengkhotbah bertanya kepada anggota jemaat, demikian: “Menurut saudara, tema atau judul apakah yang tepat untuk menjelaskan makna dari firman Tuhan di Luk. 10:25-37?” Secara spontan seorang anggota jemaat segera memberi jawaban, bahwa tema yang tepat adalah: “Siapakah sesamaku manusia? Sebab telah tertulis di Luk. 10:29!” Menurut saudara sendiri, benarkah jawaban dari anggota jemaat tersebut? Dalam beberapa percakapan ketika menyusun suatu tema khotbah, beberapa orang mengusulkan agar Luk. 10:25-37 sebaiknya diberi tema: “Siapakah sesamaku manusia?” Mereka tampaknya tidak menyadari bahwa pernyataan “Siapakah sesamaku manusia” di Luk. 10:29 sebenarnya muncul dari ungkapan salah seorang ahli Taurat untuk membenarkan diri di depan Tuhan Yesus. Terhadap pertanyaan ahli Taurat tersebut justru Tuhan Yesus tidak segera memberi jawaban langsung tentang: “Siapakah sesamaku manusia?” Tetapi Tuhan Yesus memberi suatu perumpamaan tentang seorang laki-laki Yahudi dalam perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho yang dirampok, dianiaya dan dibiarkan tergeletak di jalan. Ketika seorang Imam lewat di jalan itu, dia hanya melihat dan tidak menolong. Demikian pula ketika seorang Lewi lewat, dia juga hanya melihat orang malang tersebut dan tidak berbuat sesuatu. Tak lama kemudian datanglah seorang Samaria yang lewat di jalan itu. Ketika dia melihat pria Yahudi yang malang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Karena itu dia segera membalut luka-luka pria Yahudi tersebut. Dia memberi obat dengan minyak, kemudian dia membawa ke tempat penginapan agar pria yang malang tersebut dapat memperoleh pengobatan dan perawatan yang lebih baik. Sebelum pergi melanjutkan perjalanannya, orang Samaria tersebut menyerahkan uang 2 dinar kepada pemilik penginapan sambil berkata: “Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali” (Luk. 10:35).
Sebagai ganti pertanyaan: “Siapakah sesamaku manusia?” yang telah diajukan oleh ahli Taurat, setelah Dia selesai memberi perumpamaan tersebut Tuhan Yesus mengajukan pertanyaan sebagai berikut: “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” (Luk. 10:36). Pertanyaan Tuhan Yesus tersebut juga dapat diungkapkan sebagai berikut: “Siapakah di antara ketiga orang yaitu Imam, orang Lewi dan orang Samaria yang akhirnya mampu menjadi sesama bagi orang yang malang tersebut? Pertanyaan Tuhan Yesus tersebut kemudian dijawab oleh ahli Taurat, yaitu: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya” (Luk. 10:37). Sebenarnya pertanyaan Tuhan Yesus juga dapat dijawab oleh ahli Taurat, dengan jawaban: “Orang Samaria, karena dia telah menunjukkan belas kasihan kepada orang Yahudi yang malang tersebut”. Sebab tokoh Imam dan orang Lewi dalam perumpamaan tersebut telah gagal untuk menjadi sesama bagi pria Yahudi yang sebenarnya satu etnis dan satu agama. Mereka berdua lebih memikirkan kepentingan dirinya sendiri, dan juga agar mereka tidak menjadi najis karena mungkin mereka waktu itu mengira orang Yahudi yang malang itu telah mati (bandingkan Bil. 19:11-13). Sebaliknya orang Samaria yang sebenarnya sedang bermusuhan dengan orang Yahudi lebih tergerak oleh belas-kasihan dan dia segera bertindak menolong serta menyelamatkan nyawanya. Orang Samaria tersebut mengabaikan masalah perbedaan etnis, latar-belakang agama yang berbeda, dan situasi permusuhan yang ratusan tahun telah terbentuk dengan orang-orang Yahudi. Dia sekarang hanya tahu bahwa di depan matanya terdapat seorang pria yang sedang mengalami penderitaan dan membutuhkan pertolongan segera. Orang Samaria tersebut hanya melihat pria Yahudi tersebut sebagai sesamanya yang membutuhkan pertolongan oleh siapa saja tanpa kecuali. Jadi lingkup spiritualitas orang Samaria tersebut ternyata lebih luas dan lebih konkrit dari pada spiritualitas Imam dan orang Lewi. Sebab spiritualitas Imam dan orang Lewi dalam perumpamaan Tuhan Yesus tersebut hanya mampu tampil dalam kegiatan ritual ibadah, tetapi mereka gagal untuk mengaplikasikan kasih Allah dalam kehidupan nyata.
Saat kita membaca dan merenungkan kisah perumpamaan Tuhan Yesus tersebut sering timbul perasaan tidak simpati kepada tindakan tokoh Imam dan orang Lewi, dan pada pihak lain timbul sikap simpati kita kepada tokoh orang Samaria yang baik hati itu. Padahal dalam praktek hidup sehari-hari termasuk dalam kehidupan jemaat kita justru sering mempraktekkan tindakan dari tokoh Imam dan orang Lewi. Bukankah pola spiritualitas kita cenderung menganut “ideologi” ahli Taurat yang bertanya kepada Tuhan Yesus: “Siapakah sesamaku manusia?” Dalam pertanyaan itu sebenarnya mengandung mengklasifikasikan manusia, yaitu siapakah yang termasuk sesamaku, dan siapakah yang tidak termasuk sebagai sesamaku. Bagi orang-orang Kristen, sesamaku sering dimengerti sebagai tiap-tiap orang Kristen khususnya mereka yang satu gereja atau satu denominasi dengan aku. Bagi orang Muslim, sesamaku dipahami sebagai orang-orang yang seagama dan sealiran denganku. Bagi orang Hindu dan Budha, arti sesamaku adalah mereka yang memiliki keyakinan dan kepercayaan yang sama dengan aku. Jadi arti “sesame” di sini dipakai untuk menunjuk kepada orang-orang yang berada dalam lingkup agama, kepercayaan, dan keyakinan, atau etnis yang sama. Sedang mereka yang tidak seagama, seiman, satu kepercayaan dan keyakinan bahkan mereka yang berbeda suku dan etnis tidak dianggap sebagai sesama. Akibat dari pemikiran ini adalah munculnya sikap primordialisme, yang mana kita cenderung hanya mengagung-agungkan agama dan kepercayaan/keyakinan kita sendiri, menonjolkan superioritas aliran dan denominasi sendiri, serta dukungan yang membabi-buta terhadap suku dan etnis kita sendiri. Paham kita seringkali adalah: ‘Right or wrong is …… (my religion/my tribe/my nation/my country)”.
Jadi pertanyaan ahli Taurat yang berkata: “Siapakah sesamaku manusia” merupakan benih-benih dari sikap yang primordialisme dan paham eksklusivisme yang hanya memilah-milah manusia berdasarkan kriteria agama, kepercayaan, keyakinan, suku, etnis atau ekonomi dan politis. Di Luk. 10:30-37, dalam perumpamaanNya Tuhan Yesus menunjukkan bahwa tokoh orang Samaria yang sebenarnya telah menjadi musuh bagi orang Yahudi selama ratusan tahun justru dia mampu menjadi sesame bagi musuhnya. Orang Samaria tersebut tidak terjebak dalam sikap eksklusif dan primordialistik. Kemurahan hatinya mengalir jernih menembus batas-batas kesukuan, etnis dan agama serta kondisi permusuhan yang kronis. Yang sangat mengherankan justru sikap dari tokoh Imam dan orang Lewi. Walaupun mereka satu etnis dan satu agama dengan pria Yahudi yang malang itu, ternyata mereka sama sekali tidak tergerak oleh belas kasihan dan tidak melakukan tindakan apapun untuk memberi pertolongan. Sebab mungkin bagi tokoh Imam dan orang Lewi makna dari sesamanya adalah hanya orang-orang yang “satu level” atau “satu status” dan “satu kedudukan” dengan diri mereka. Sebaliknya orang-orang yang tidak mempunyai kedudukan sosial yang sama walaupun satu etnis dan satu agama dengan mereka, oleh mereka tetap dianggap bukan sebagai sesama. Betapa sering pola pembedaan atau klasifikasi yang mendiskriminasi manusia terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Sehingga kita gagal untuk menegakkan prinsip belas-kasihan yang universal dan sikap yang adil. Kita hanya berbelas-kasihan kepada orang-orang tertentu, tetapi kita bersikap kejam kepada yang lain. Kita bersikap adil kepada kelompok kita sendiri, tetapi kita bersikap tidak adil (unjust) kepada kelompok yang lain.
Di Mzm. 82 melukiskan suasana persidangan ilahi, yaitu “pantheon” di mana Allah sebagai Tuhan berdiri di antara para ilah; dan Allah kemudian menghakimi para ilah tersebut, yaitu: “Berapa lama lagi kamu menghakimi dengan lalim dan memihak kepada orang fasik?” Dalam persidangan ilahi tersebut, para ilah dihakimi oleh Allah sebab mereka telah menghakimi dengan sikap yang lalim dan mereka ternyata justru memihak orang fasik. Kesaksian Alkitab tidak menyangkal eksistensi dari para ilah, yaitu para dewa sebagai “anak-anak Yang Mahatinggi” (Mzm. 82:6). Tetapi pada pihak lain ditegaskan bahwa “para ilah seperti manusia akan mati, dan seperti salah seorang pembesar mereka juga akan tewas” (Mzm. 82:7). Dalam pemikiran Alkitab para ilah tidak bersifat kekal, mereka semua akan mati. Jadi hanya Allah saja yang kekal, mulia dan benar. Itu sebabnya para ilah dapat menghakimi dengan lalim dan memihak kepada orang fasik. Padahal yang dikehendaki oleh Allah adalah agar setiap mahluk senantiasa bertindak adil dan benar, serta tidak membedakan-bedakan manusia secara tidak adil atau bertindak secara diskriminatif. Di Mzm. 82:3-4, Allah berfirman: “Berilah keadilan kepada orang yang lemah dan kepada anak yatim, belalah hak orang sengsara dan orang yang kekurangan! Luputkanlah orang yang lemah dan yang miskin, lepaskanlah mereka dari tangan orang fasik!” Dengan demikian Allah pada hakikatnya adalah Tuhan yang membenci setiap sikap yang primordialistik dan sikap yang eksklusif, yang memilah-milah manusia secara diskriminatif dalam kategori buatannya sendiri. Sebab yang dikehendaki oleh Allah adalah setiap orang harus senantiasa bersikap adil kepada setiap orang lemah, menolong setiap orang yang kekurangan dan peduli kepada setiap orang sengsara – siapapun mereka walau mereka tersebut secara faktual berbeda keyakinan, agama, aliran, suku dan etnis, tingkat sosial dan politis. Dasar pemikiran teologisnya jelas, yaitu: Allah adalah yang memiliki segala bangsa. Mzm. 82:8 berkata: “Bangunlah ya Allah, hakimilah bumi, sebab Engkaulah yang memiliki segala bangsa”.
Dengan demikian perumpamaan Tuhan Yesus dengan kesaksian Mzm. 82 sangat integral. Tuhan Yesus memanggil setiap orang untuk memperlakukan setiap sesamanya dengan prinsip kasih dan keadilan tanpa mempersoalkan latar-belakang, etnis, suku dan agamanya. Sebab Allah adalah Pencipta dan yang memiliki kehidupan semua manusia dan mahluk. Karena itu siapapun orang yang memilah-milah manusia berdasarkan kategori buatannya sendiri, sehingga menghasilkan tindakan yang diskriminatif, sewenang-wenang dan yang tidak berbelas-kasihan kepada sesamanya telah menjadi musuh Allah. Sebab tindakan yang lalim, tidak adil dan pilih kasih serta membenarkan tindakan orang yang fasik merupakan pola kerja dari para “ilah”, tetapi bukan kehendak dari Allah. Bagi setiap orang yang lemah, sengsara, anak yatim, dan kekurangan maka sesungguhnya Allah menjadi pembela dan penyelamat mereka. Jadi makna mengikut Kristus berarti kita bersedia menjadi kawan sekerja Allah untuk membela setiap orang yang lemah, mereka yang sengsara, tertindas dan diperlakukan tidak adil. Dalam konteks yang berbeda namun dengan pemahaman teologis yang mirip, rasul Paulus berkata: “Kami meminta, supaya kamu menerima segala hikmat dan pengertian yang benar, untuk mengetahui kehendak Tuhan dengan sempurna, sehingga hidupmu layak di hadapanNya serta berkenan kepadaNya dalam segala hal, dan kamu memberi buah dalam segala pekerjaan baik dan bertumbuh dalam pengetahuan yang benar tentang Allah, dan dikuatkan dengan segala kekuatan oleh kuasa kemuliaanNya untuk menanggung segala sesuatu dengan tekun dan sabar” (Kol. 1:9-11). Jadi makna hidup yang layak dan berkenan di hadapan Allah adalah ketika kita hidup dengan memberi buah dalam segala pekerjaan baik dan bertumbuh dalam pengetahuan yang benar tentang Allah.
Karena itu sebenarnya tidaklah tepat jikalau makna pemberitaan Injil senantiasa dipahami sebagai upaya “kristenisasi” kepada sesama yang berbeda agama. Pemberitaan Injil sebagai kabar baik justru harus dipahami sebagai manifestasi dari karya keselamatan Allah yang telah terjadi dalam peristiwa hidup Kristus untuk membebaskan setiap orang yang tertindas oleh kuasa dosa, mereka yang tertawan oleh belenggu nafsu, dan mereka yang terpenjara oleh sistem dari kuasa dunia. Kini sebagai aktualisasinya, peristiwa hidup Kristus yang membebaskan sesama yang terpenjara dan terbelenggu oleh kuasa dosa juga harus menjadi “peristiwa hidup kita sendiri”, - yang mana kita juga bersedia menjadi “kepanjangan tangan” dari Kristus untuk menolong sesama yang menderita. Jika demikian, bagaimanakah peran kita selaku jemaat Tuhan? Apakah kita telah memerankan diri dalam hidup sehari-hari sebagai tokoh Imam dan orang Lewi yang tidak mau peduli dengan sesama yang menderita? Apakah kita hanya peduli dengan orang-orang tertentu yang kita kasihi, tetapi kita bersikap dingin dan tidak adil kepada orang-orang yang kita anggap rendah? Ataukah kita mampu bersikap seperti yang dilakukan oleh tokoh orang Samaria yang memiliki kemurahan hati; yang mana kemurahan hatinya mampu menembus batas-batas kesukuan, etnis dan agama, serta kepentingan diri? Karena itu sikap yang benar sebagai orang Kristen, bukanlah “Siapakah sesamaku manusia?”, tetapi yang tepat adalah: “Apakah kita bersedia menjadi sesama bagi setiap orang yang lemah, menderita dan sengsara?” Amin.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar