Selasa, 25 September 2007

DIBERKATILAH DIA YANG DATANG DALAM NAMA TUHAN

Renungan Minggu, 4 Maret 2007

Minggu Pra-Paskah II - Tahun C


Kej. 15:1-12, 17-18, Mzm. 27, Fil. 3:17-4:1, Luk. 13:31-35

Tokoh nama “Farisi” dalam persepsi kita bukanlah suatu sebutan yang positif. Sebutan “Farisi” menciptakan suatu gambaran kepada suatu kelompok orang yang sangat taat kepada ajaran agama Yahudi tetapi juga orang-orang yang sangat kaku dalam memahami dan menerapkan ajaran agama tersebut. Tidak mengherankan jikalau sebutan “Farisi” sering menimbulkan perasaan muak sebab mereka selain sangat kaku, tetapi mereka juga sangat arogan dalam memandang dirinya seakan-akan mereka adalah orang-orang yang paling benar dan paling baik di antara sesamanya (bdk. Luk. 18:9-14). Kehidupan dan pelayanan Tuhan Yesus tidak luput dari pertentangan dengan orang-orang Farisi. Mereka sering disebutkan bersekongkol untuk mencobai Dia (Mat. 16:1), dan juga mereka bersekongkol untuk membunuhNya (Mat. 15:12). Kepada para muridNya, Tuhan Yesus mengingatkan mereka agar “berjaga-jaga dan awas terhadap ragi orang Farisi dan ragi Herodes”(Markus. 8:15). Para murid dinasihati oleh Tuhan Yesus agar mereka selalu mau waspada terhadap pengaruh spiritualitas yang negatif dan merugikan dari pola hidup orang-orang Farisi dan keluarga Herodes.

Tetapi sangat menarik kisah ketika Tuhan Yesus akan pergi menuju kota Yerusalem, karena disebutkan datanglah beberapa orang Farisi dan berkatalah mereka kepada Dia: “Pergilah, tinggalkanlah tempat ini karena Herodes hendak membunuh Engkau” (Luk. 13:31). Apabila orang-orang Farisi sering disebutkan bersekongkol dengan orang-orang Herodian untuk membunuh Tuhan Yesus (Markus. 3:6), maka dalam Luk. 13:31 justru disebutkan seorang Farisi memperingatkan Tuhan Yesus agar meninggalkan kota Yerusalem dengan tujuan agar Dia tidak dibunuh oleh Herodes. Sikap simpatik dari beberapa orang Farisi ini disampaikan oleh Injil Lukas, agar kita selaku umat Allah tidak mencitrakan (mengeneralisir) semua orang Farisi sebagai sekelompok orang yang berhati jahat dan mengabaikan prinsip kasih. Jadi ternyata tidak semua orang Farisi selalu mendukung rencana jahat dari Herodes, dan juga tidak semua orang Farisi menginginkan kematian Tuhan Yesus. Injil Yohanes juga menyaksikan seorang Farisi bernama Nikodemus datang untuk menjumpai Tuhan Yesus, yang mana dia mengakui Tuhan Yesus sebagai guru yang diutus oleh Allah (Yoh. 3:1-2). Pada waktu Tuhan Yesus wafat, disebutkan di Luk. 23:50-51, yaitu: “Adalah seorang yang bernama Yusuf. Ia anggota Majelis Besar, dan seorang yang baik lagi benar. Ia tidak setuju dengan putusan dan tindakan Majelis itu”. Yusuf dari Arimatea inilah yang datang menghadap Pilatus untuk minta mayat Tuhan Yesus agar dikuburkan. Kemudian ia meletakkan mayat Tuhan Yesus di kubur yang masih baru. Jadi kemungkinan besar Yusuf dari Arimatea seorang Farisi, walau dia disebut oleh Injil Lukas sebagai anggota dari Majelis Besar (Sanhedrin).

Reaksi Tuhan Yesus ketika Dia diberitahu bahwa Herodes akan membunuhNya adalah: “Pergilah dan katakanlah kepada si serigala itu: Aku mengusir setan dan menyembuhkan orang, pada hari ini dan besok, dan pada hari yang ketiga Aku akan selesai”. Dalam kasus ini Herodes disebut oleh Tuhan Yesus sebagai “serigala” untuk menunjuk kepada mahluk hewan yang buas, liar dan kejam. Tetapi pada sisi lain Tuhan Yesus mau menegaskan bahwa karya keselamatan Allah yang dinyatakan dalam pelayananNya sama sekali bukan ditentukan oleh tindakan dan keputusan Herodes terhadap diriNya. Masa pelayanan Tuhan Yesus sebagai Messias dan Juru-selamat telah ditentukan oleh Allah sendiri. Sehingga Dia akan tetap dipakai oleh Allah untuk mengusir setan dan menyembuhkan orang sampai saat yang telah ditentukan oleh Allah. Dengan perkataan lain, Tuhan Yesus juga mengingatkan kepada beberapa orang Farisi yang telah menasihati Dia untuk menyingkir dari kota Yerusalem, agar mereka mau menyadari bahwa hidup dan karyaNya sama sekali bukan ditentukan oleh keputusan dan rencana manusia, termasuk upaya yang telah dilakukan oleh Herodes. Karya dan kehidupan Kristus masih akan tetap berlangsung sampai pada akhirnya juga bukan ditentukan oleh upaya yang “simpatik” dari beberapa orang Farisi yang berusaha mencegah Dia dari upaya pembunuhan Herodes. Baik Herodes yang berniat jahat maupun beberapa orang Farisi yang berniat baik tersebut pada prinsipnya tidak dapat mencegah atau menghalangi Tuhan Yesus dalam menjalankan kehendak Allah. Sebab Tuhan Allah sendiri yang menjadi pokok keselamatan hidupNya. Sangatlah tepat jika Mzm. 27:1 berkata: “Tuhan adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut? Tuhan adalah benteng hidupku, terhadap siapakah aku harus gemetar?”.

Untuk itu pada hakikatnya tidak ada seorangpun yang dapat mencegah Tuhan Yesus untuk memasuki kota Yerusalem. Dia akan tetap memasuki kota Yerusalem, sebab di sanalah Tuhan Yesus memenuhi kehendak BapaNya, yaitu untuk mengalami kematian sebagai Messias. Dalam hal ini kota Yerusalem ditempatkan dalam pengertian yang kontroversial. Di satu pihak kota Yerusalem sebagai kota suci dan raja besar (Mat. 5:35), tetapi juga kota Yerusalem sebagai tempat di mana para nabi dibunuh (Luk. 13:33). Selain itu kota Yerusalem sebagai representasi tempat di mana umat Allah tinggal dan diberkati, namun mereka juga selalu menolak para nabi yang diutus Allah dengan membunuh mereka. Di Luk. 13:34, Tuhan Yesus meratapi kota Yerusalem, yaitu: “Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau”. Dalam ratapan Tuhan Yesus tersebut, kita dapat merasakan ratapan hati Allah yang begitu mengasihi umatNya seperti seekor induk ayam yang tiada henti-hentinya berusaha untuk mengumpulkan dan melindungi anak-anaknya yang tercerai-berai agar mereka mau berlindung di bawah kepak sayapnya. Tetapi sayang sekali umat Allah tersebut ternyata tetap mengeraskan hati dan menolak kasih Allah tersebut. Itu sebabnya Allah akan menghukum mereka, sehingga kota Yerusalem kelak menjadi kota yang sunyi ditinggalkan oleh para penduduknya (Luk. 13:35). Nubuat Tuhan Yesus tersebut kelak terwujud yang mana kota Yerusalem diserang dan dihancurkan oleh jenderal Titus dari kerajaan Romawi pada tahun 70.

Gambaran Herodes yang berusaha membunuh Tuhan Yesus dan penduduk kota Yerusalem yang mendukung upaya pembunuhan tersebut merupakan gambaran dari orang-orang yang hidup sebagai “seteru salib Kristus”. Di Fil. 3:17-18, rasul Paulus berkata: “Saudara-saudara, ikutlah teladanku dan perhatikanlah mereka yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu. Karena, seperti yang telah kerapkali kukatakan kepadamu, dan yang kunyatakan pula sekarang sambil menangis, banyak orang yang hidup sebagai seteru salib Kristus”. Ciri-ciri dari orang-orang yang hidup sebagai seteru salib Kristus (Fil. 3:19) adalah:

- Kesudahan mereka ialah kebinasaan

- Tuhan mereka adalah perut mereka

- Kemuliaan mereka adalah aib mereka

- Pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara duniawi

Dengan perkataan lain, orang-orang yang hidup sebagai seteru salib Kristus pada prinsipnya lebih mengutamakan kehendak dirinya di atas kehendak Allah, sehingga mereka tidak tunduk kepada rencana dan karya keselamatan Allah. Tidak mengherankan jikalau orang-orang yang demikian cenderung menghalalkan segala macam cara untuk memuaskan hasrat manusiawinya, termasuk pula menghalalkan cara untuk menghalangi karya keselamatan Allah di dalam Kristus dengan berusaha membunuhNya. Itu sebabnya rasul Paulus mengingatkan agar kita selaku umat percaya tidak hidup sebagai seteru salib Kristus, karena kita sebagai umat di dalam Kristus memiliki kewargaan di dalam sorga. Kita dipanggil untuk memikirkan perkara-perkara sorgawi dan bukan perkara-perkara yang duniawi sebab kewargaan kita yang sesungguhnya bukanlah kerajaan dunia ini, tetapi kewargaan kita yang sesungguhnya adalah di dalam kerajaan sorga.

Manakala kita terus bertekun dalam perkara-perkara sorgawi yaitu setia melaksanakan kehendak dan karya Allah seantero hidup kita, maka kita akan diperkenankan bersama dengan umat Allah yang semula menolak namun kemudian mau percaya Kristus untuk menyambut kedatangan Kristus kelak dalam kemuliaanNya. Kita akan bersama-sama menyambut kedatangan Kristus sambil berkata: “Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan!” Dengan perkataan lain, mereka yang hidup sebagai seteru salib Kristus apakah umat Israel dahulu yang telah dipilih oleh Allah dan kita yang kini ditebus oleh darah Kristus tetapi dalam kenyatan memiliki kehidupan yang jahat dan menghalangi karya keselamatan Allah, maka umat Allah dengan sikap yang demikian tidak akan diperkenankan untuk menyambut Kristus yang akan datang dalam kemuliaanNya. Bahkan umat Allah yang demikian akan ditinggalkan oleh sesamanya, dan hidup dalam kesunyian yang mengerikan.

Karena itu kita harus senantiasa introspeksi dan waspada agar kita tidak dipengaruhi oleh “ragi” kehidupan dari orang-orang Farisi yang merasa selalu benar dijiwai oleh perasaan superiotas dan bertindak arogan kepada sesama, maupun pengaruh dari kelompok keluarga Herodes yang senantiasa berusaha menghalangi karya keselamatan Allah dengan menghalalkan segala macam cara termasuk tindakan kekerasan dan usaha membunuh. Kita harus selalu waspada karena karakter sebagai “seteru salib Kristus” kerapkali menyelinap dalam spiritualitas kekristenan diri kita sendiri. Karakter sebagai seteru salib Kristus dapat menyelinap di dalam tugas pelayanan gerejawi, ketika kita bekerja di rumah dan di kantor, atau ketika kita berelasi dan berkomunikasi dengan sesama. Manakala kita hidup sebagai seteru salib Kristus, kita tidak akan mampu menyambut orang-orang di sekitar kita dengan ucapan berkat, tetapi kita akan menyambut mereka dengan ucapan kutuk. Jika demikian bagaimana sikap hidup kita selaku umat Allah?

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Tidak ada komentar: