Rabu, 26 September 2007

SETIA DALAM PANGGILAN

Renungan 26 Agustus 2007

HUT Penyatuan GKI ke XIX


Yer. 1:4-10, Mzm. 71:1-6, Ibr. 12:18-29, Luk. 13:10-17

Kita sering berpikir bahwa pemerintah HIndia Belanda yang beragama Kristen zaman pra-kemerdekaan Republik Indonesia tentulah senantiasa mendukung pengembangan iman Kristen. Padahal dari dokumen sejarah terlihat bahwa pemerintah Hindia Belanda pada zaman dahulu di pulau Jawa sering menyita sejumlah Alkitab Perjanjian Baru. Sehingga praktis sampai tahun 1850 pulau Jawa tertutup bagi penginjilan dan pengembangan gereja Tuhan. Namun sangat menarik proses pendirian dan pengembangan jemaat yang kelak menjadi cikal bakal GKI di wilayah Jawa Timur dimulai oleh peristiwa yang sederhana tetapi langka. Seorang pemuda usia 18 tahun bernama Oei Soei Tiong pada tahun 1894 bekerja di pabrik petasan di Sidoarjo secara tidak sengaja menemukan sobekan kertas yang ternyata sobekan dari Injil Yohanes yang mana Tuhan Yesus berkata: “Akulah Gembala yang baik” (Yoh. 10:11). Sobekan dari Yoh. 10:11 ini kemudian membawa Oei Soei Tiong mengenal Kristus. Dia kemudian dibaptis pada tanggal 19 Februari 1898 di Kendal Payak, Malang Selatan. Setelah itu Oei Sioe Tiong membentuk persekutuan di antara orang-orang Tionghoa. Kelak persekutuan-persekutuan tersebut menjadi cikal bakal jemaat GKI wilayah Jawa Timur. Demikian pula kisah cikal bakal pendirian jemaat di wilayah GKI Jawa Barat yang dimulai dari seorang pemuda bernama Ang Boeng Swi. Dia mengenal Kristus karena ingin mengenal keselamatan yang sesungguhnya. Dalam pencarian keselamatan itu, secara kebetulan dia bertemu dengan seorang temannya yang sedang membawa Alkitab dalam bahasa Jawa. Dia tertarik untuk mempelajari isi Alkitab tersebut. Saat Ang Boeng Swi membaca isi Alkitab itu dia makin sangat terpikat dan percaya dengan firman Tuhan. Dia kemudian dibaptis pada tahun 1858. Kelak dari pelayanan Ang Boeng Swi berdiri jemaat yang bernama GKI Indramayu. Sedang jemaat GKI wilayah Jawa Tengah sebenarnya dimulai oleh pelayanan perseorangan. Pelayanan tersebut berkembang pesat, kemudian mulai tanggal 8 Agustus 1945 di Jawa Tengah secara resmi berdirilah gereja yang kemudian disebut GKI Jawa Tengah.

Kedua tokoh tersebut yaitu Oei Sioe Tiong dan Ang Boeng Swi merupakan kisah dari para pemuda yang pernah digerakkan oleh Tuhan melalui pembacaan Alkitab sehingga mereka mengenal Kristus dan terpanggil untuk melayaniNya. Sangat menarik, bertepatan dengan hari ulang tahun penyatuan GKI yang ke-19 firman Tuhan pada hari ini juga berbicara tentang kisah seorang pemuda yang dipanggil oleh Allah. Di Yer. 1:4-10 kita dapat melihat panggilan Allah kepada Yeremia untuk menjadi nabiNya. Allah berfirman kepada Yeremia: “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa” Yer. 1:5). Namun jawaban Yeremia waktu itu masih dipenuhi dengan keragu-raguan sebab dia merasa masih muda dan tidak pandai bicara, sehingga dia berkata: “Ah, Tuhan Allah! Sesungguhnya aku tidak pandai berbicara, sebab aku ini masih muda” (Yer. 1:6). Apabila kedua pemuda yang bernama Oei Sioe Tiong dan Ang Boeng Swi menemukan keselamatan dan panggilan karena mereka membaca ayat-ayat Alkitab, maka dalam kisah pemanggilan Allah kepada nabi Yeremia lebih menunjuk kesaksian tentang otoritas atau kedaulatan Allah atas hidup manusia. Jadi dalam pemanggilan Allah kepada nabi Yeremia, dapat dinyatakan dalam model: “Allah memanggil, manusia memberi respon/jawaban”. Sebaliknya dalam kisah Oei Sioe Tiong dan Ang Boeng Swi merupakan model panggilan Allah yang dimulai dari: “manusia bertanya, dan Allah menjawab”. Kedua bentuk panggilan Allah tersebut, yaitu model otoritas atau kedaulatan Allah dan model manusia diberi rahmat untuk bertanya pada hakikatnya merupakan dinamika dari cara penyataan Allah di dalam sejarah umatNya agar mereka dapat melayani Allah sebagai para hambaNya. Itu sebabnya peristiwa penyatuan GKI yang terdiri dari ketiga sinode wilayah yaitu GKI wilayah Jawa Barat, GKI wilayah Jawa Tengah dan GKI wilayah Jawa Timur pada tanggal 26 Agustus 1988 merupakan karya Allah yang berkenan menjadikan manusia sebagai kawan-sekerjaNya. Dalam usianya yang relatif masih muda, penyatuan jemaat dari ketiga sinode wilayah yang bernama GKI tersebut juga menerima panggilan dari Allah untuk mencabut dan merobohkan setiap dinding pemisah, untuk membinasakan dan meruntuhkan perseteruan dan kebencian; dan untuk membangun dan menanam kasih, keadilan dan perdamaian (bandingkan Yer. 1:10). Sebab Allah telah meletakkan firmanNya di dalam kehidupan jemaat (Yer. 1:9) agar firman itu terus diberitakan dan disebarkan.

Dasar penyatuan jemaat dari ketiga sinode wilayah dari GKI Jawa Barat, GKI Jawa Tengah dan GKI Jawa Timur pada hakikatnya sebagai respon iman kepada karya keselamatan Kristus yang telah terjadi dalam peristiwa salib. Dalam peristiwa salib, darah Kristus yang tertumpah berkuasa untuk mendamaikan antara Allah dengan manusia yang berdosa; dan mendamaikan antara manusia dengan sesamanya. Itu sebabnya di Ef. 2:14 rasul Paulus berkata: “Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan”. Sangat berbeda dengan makna peristiwa penumpahan darah Habel yang telah dibunuh oleh Kain, kakaknya. Setelah Habel dibunuh oleh Kain, Allah berfirman kepada Kain: “Apakah yang telah kauperbuat ini? Darah adikmu itu berteriak kepadaKu dari tanah. Maka sekarang, terkutuklah engkau, terbuang jauh dari tanah yang mengangakan mulutnya untuk menerima darah adikmu itu dari tanganmu” (Kej. 4:10-11). Darah Habel menuntut balas dan menimbulkan kutukan bagi Kain sehingga dia harus terbuang jauh dan terkucilkan dari pergaulan dengan sesamanya. Dengan pemahaman ini kita dapat melihat bahwa peristiwa penyatuan jemaat dari ketiga sinode wilayah GKI pada prinsipnya untuk memenuhi panggilan Allah yaitu setiap diri kita juga dipanggil untuk saling membuat jembatan yang menghubungkan komunikasi yang telah rusak antara Allah dengan manusia, dan komunikasi antara manusia dengan sesamanya. Penyatuan GKI tidak boleh menjadi penyatuan yang membahayakan eksistensi jemaat atau gereja-gereja yang lain. Juga penyatuan GKI sama sekali tidak boleh membahayakan hubungan dengan para pemeluk agama lain. Bahkan sebaliknya penyatuan GKI seharusnya mampu menjadi media yang komunikatif dan membawa rahmat, bukan untuk berkonfrontasi dengan sesamanya. Penyatuan GKI adalah karya rahmat Allah yang membawa damai-sejahtera dan pengampunanNya, sebab berdasar kepada karya penebusan Kristus di atas kayu salib; dan sama sekali bukan didasarkan kepada tuntutan pembalasan dendam dari darah Habel. Sehingga sangatlah tepat firman Tuhan di Ibr. 12:24 berkata: “dan kepada Yesus, Pengantara perjanjian baru, dan kepada darah pemercikan, yang berbicara lebih kuat dari pada darah Habel”.

Ini berarti kita selaku jemaat GKI dalam menghayati makna ibadah atau kebaktian tidak boleh sekedar suatu ritual keagamaan. Tetapi melalui ibadah yang diselenggarakan oleh GKI pada prinsipnya bertujuan agar kita dapat membangun spiritualitas iman kepada Kristus sehingga kita dimampukan untuk menjadi media damai-sejahtera Allah dengan setiap orang yang kita jumpai. Di Ibr. 12:28, firman Tuhan berkata: “Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepadaNya, dengan hormat dan takut”. Teologi GKI menempatkan ibadah sebagai dasar spiritualitas iman setiap jemaat untuk melayani karya keselamatan Allah dengan mengabdikan diri kita, yaitu: untuk mencabut dan merobohkan setiap dinding pemisah, untuk membinasakan dan meruntuhkan perseteruan dan kebencian; dan untuk membangun dan menanam kasih, keadilan dan perdamaian. Sehingga melalui ibadah atau kebaktian di GKI kita boleh mendengar panggilan firman Allah yang selalu memampukan kita untuk mau peduli dan membebaskan setiap orang yang terbelenggu dan berada di bawah kuasa dosa dengan kuasa kasih Kristus. Namun betapa sering dalam lingkungan jemaat GKI, kebaktian masih dipakai sebagai sarana untuk memuaskan kebutuhan dirinya sendiri. Akibatnya di antara kita cukup banyak anggota jemaat yang tidak pernah terdorong untuk ambil bagian dalam pelayanan, atau bersikap enggan untuk terlibat dengan serius dalam berbagai persoalan masyarakat dan bangsa. Mereka sangat sibuk dengan permasalahan diri mereka pribadi, sehingga mereka tidak pernah mau mendengar panggilan Allah sebagaimana dinyatakan kepada nabi Yeremia.

Dengan penyatuan GKI yang relatif masih muda, sebenarnya kita masih belum memiliki pengalaman yang cukup untuk menghayati makna keesaan gereja. Sehingga dalam kondisi yang demikian kita sebagai jemaat membutuhkan pijakan hukum (peraturan-peraturan gerejawi yang sifatnya yuridis-teologis) dan landasan ekklesiologi (pemahaman tentang makna hidup berjemaat, ber-klasis dan ber-sinode) yang kuat dan teratur. Tetapi kebutuhan tersebut dapat menjadi suatu bumerang, yaitu seperti senjata makan tuannya. Karena secara tidak sadar atau cukup disadari kita cenderung menjadi orang-orang yang bersifat terlalu legalistis dan mengedepankan peraturan dan ajaran gereja sedemikian rupa sampai kita tidak tanggap dan rela mengorbankan kebutuhan yang lebih manusiawi. Sebagai contoh kita dapat menggunakan Tata Gereja GKI sebagai legitimasi atau pembenaran diri, atau kita menggunakan klausul-klausul peraturan Tata Gereja sebagai pengganti firman Tuhan yaitu Alkitab dalam mengambil keputusan gerejawi. Atau mungkin sebaliknya kita secara dangkal menggunakan ayat-ayat Alkitab tertentu untuk menolak dan membuang peraturan Tata Gereja tanpa pijakan studi teologis yang seharusnya. Sikap kita tersebut sebenarnya juga mencerminkan pengaruh dari spiritualitas orang-orang Farisi dan ahli Taurat pada zaman Tuhan Yesus. Sebab orang-orang Farisi dan ahli Taurat sering menggunakan peraturan hukum Taurat tentang hari Sabat untuk menolak karya keselamatan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus.

Di Luk. 13:10-17 menyaksikan Tuhan Yesus yang sedang mengajar pada hari Sabat di salah satu rumah ibadah/sinagoge. Ketika Tuhan Yesus mengajar, Dia melihat seorang perempuan yang telah 18 tahun sakit bungkuk di punggungnya. Luk. 13:12-13 memberi kesaksian demikian, yaitu: “Ketika Yesus melihat perempuan itu, Ia memanggil dia dan berkata kepadanya: Hai ibu, penyakitmu telah sembuh. Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas perempuan itu, dan seketika itu juga berdirilah perempuan itu, dan memuliakan Allah”. Disaksikan bahwa “ketika” Tuhan Yesus melihat perempuan itu, Dia segera memanggil dan menyembuhkan ibu yang sedang sakit bungkuk di punggungnya. Artinya waktu itu Tuhan Yesus tidak menunda-nunda pertolongan kepada ibu yang telah 18 tahun sakit bungkuk di punggungnya. Jadi Tuhan Yesus segera menyembuhkan wanita tersebut pada hari itu juga, yang kebetulan hari itu adalah Sabat. Di Luk. 13:14 menyaksikan kepala rumah ibadah itu menjadi sangat gusar karena Yesus menyembuhkan wanita itu pada hari Sabat. Di Luk. 13:15-16, Tuhan Yesus memberi jawaban, yaitu: "Hai orang-orang munafik, bukankah setiap orang di antaramu melepaskan lembunya atau keledainya pada hari Sabat dari kandangnya dan membawanya ke tempat minuman? Bukankah perempuan ini, yang sudah delapan belas tahun diikat oleh Iblis, harus dilepaskan dari ikatannya itu, karena ia adalah keturunan Abraham?" Orang-orang Farisi dan ahli Taurat mempunyai kebiasaan untuk melepaskan hewan peliharaannya mereka pada hari Sabat, tetapi mereka melarang Tuhan Yesus melepaskan penderitaan seorang wanita pada hari Sabat. Dengan pola berpikir yang serba legalistis dan dangkal dapat membuat seseorang memiliki anggapan bahwa “hewan peliharaannya” atau harta miliknya lebih penting dari pada keselamatan dan kebahagiaan sesamanya. Atau suatu anggapan/pandangan yang menempatkan hukum dan peraturan harus ditegakkan sedemikian rupa tanpa pernah dia mau peduli terhadap efek atau akibatnya bagi orang-orang yang akan menanggungnya. Apabila jemaat-jemaat GKI memiliki dan mempraktekkan sikap pandangan dan spiritualitas orang-orang Farisi dan ahli Taurat tersebut, maka kita akan menjadi jemaat yang sangat kaku, legalistis, merasa diri selalu benar, perasaan superioritas diri, dan kita kehilangan kepekaan terhadap permasalahan sesama manusia.

Kita selaku jemaat Tuhan yang berjuang di tengah-tengah dunia ini juga tidak boleh menyerah ketika kita dihambat untuk melaksanakan karya keselamatan Allah. Sebagaimana Kristus juga dihambat oleh kepala rumah ibadat, maka gereja Tuhan juga akan mengalami penghambatan atau penolakan oleh kuasa dunia ini. Sejauh kita selaku gereja Tuhan sungguh-sungguh konsisten untuk setia kepada panggilan kita menghadirkan karya keselamatan Allah di tengah-tengah kehidupan umat manusia, kita tidak boleh kecil hati atau gentar ketika kita dihambat atau dirintangi. Karena itu kita harus tahu secara persis dan obyektif apakah rintangan atau hambatan tersebut disebabkan oleh pola pendekatan dann pola komunikasi kita yang kurang bijaksana, ataukah memang hambatan tersebut terjadi karena kita konsisten dengan nilai-nilai iman Kristen yaitu sikap kasih sebagaimana yang telah diajarkan oleh Tuhan Yesus. Jadi seluruh jemaat GKI dipanggil untuk senantiasa konsisten dalam memberlakukan kasih dan keadilan dengan membela setiap orang yang tertindas dan lemah tanpa mempedulikan latar-belakang suku, etnis dan agama. Jika panggilan ini dapat terwujud maka kita dapat menjadi jemaat yang membawa rahmat Allah dan pembebas bagi sesama kita. Bagaimanakah sikap keputusan saudara untuk merespon HUT penyatuan GKI ke-19? Mari kita meresponnya dengan sikap setia dan komitmen iman yang mantap sebagai para pelayan Kristus, yaitu untuk berjuang menghadirkan karya kasih Allah di atas muka bumi ini. Amin.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Tidak ada komentar: