Selasa, 25 September 2007

PENGAMPUNAN YANG AGUNG

Renungan Minggu 18 Maret 2007

Pra-Paskah IV (Tahun C)


Yos. 5:9-12, Mzm. 32, II Kor. 5:16-21, Luk. 15:1-3, 11b-32

Setiap kebaktian Minggu kita mendengar pernyataan berita anugerah dari Tuhan. Namun belum tentu melalui liturgi tersebut kita semua meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa dosa dan kesalahan kita telah diampuni. Sebab setelah kebaktian selesai, pada umunya kita tetap melanjutkan kebencian dan permusuhan dengan sesama. Manusia seringkali gemar hidup dalam hawa nafsu amarah, kebencian dan dendam sampai akhirnya dia menyadari bahwa sikapnya tersebut telah mencelakakan dan membuat dia hidup dalam permasalahan besar. Dalam situasi demikian, barulah dia menyadari makna dari Mzm. 32:1 yang berkata: Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi!”. Latar-belakang Mzm. 32 menyaksikan bagaimana seseorang memperoleh pengampunan dari Allah setelah dia harus melewati perjuangan batin yang sangat pahit. Semula sebelum dia diampuni Tuhan, dia memiliki kepribadian sebagai “orang yang berjiwa penipu” (Mzm. 32:2), dia lebih gemar “menyembunyikan diri” dalam pengertian dia lebih suka menyembunyikan dosanya kepada Tuhan dan tidak mau mengaku kesalahannya (Mzm. 32:3-4), dan pola berpikirnya seperti seekor kuda atau bagal yang tidak berakal (Mzm. 32:9). Semua sikap tersebut telah membuat dia sangat menderita, tidak bahagia dan hidup tanpa damai-sejahtera. Sehingga setelah dia memperoleh pengampunan dari Allah, dia kemudian dapat mengalami kebahagiaan yang tiada terkira. Pengampunan Allah terjadi ketika dia mau mengaku dosa dan kesalahannya. Mzm. 32:5 berkata: “Dosaku kuberitahukan kepadaMu dan kesalahanku tidaklah kusembunyikan; aku berkata: aku akan mengaku kepada Tuhan pelanggaran-pelanggaranku, dan Engkau mengampuni kesalahan karena dosaku”.

Kehidupan kita sebagai umat Allah kerapkali tidak berbeda jauh dengan kehidupan anak-anak duniawi. Identitas kita secara formal adalah umat Allah, tetapi hati dan pikiran kita seringkali tetap duniawi. Luk. 15:11-32 melukiskan keadaan kita seperti anak bungsu yang berani meminta bagian harta milik yang dianggap sebagai haknya. Kemudian anak bungsu tersebut pergi meninggalkan rumah ayahnya. Lalu dia hidup berfoya-foya sehingga seluruh harta pemberian dari ayahnya akhirnya habis. Dalam waktu yang bersamaan terjadilah bencana kelaparan di negeri tersebut, sehingga anak bungsu tersebut benar-benar menjadi sangat melarat dan tidak memiliki apapun lagi untuk mengisi perutnya. Sehingga akhirnya dia bekerja di rumah orang kafir untuk menjaga babi-babinya. Gambaran perumpamaan dari Injil Lukas tersebut sangat menyentuh hati dan menimbulkan rasa malu bagi orang-orang Yahudi. Sebab bagaimana mungkin seorang muda Yahudi dari keluarga berada, kini dia harus menjadi hamba seorang kafir dan menjaga hewan yang menurut adat dan hukum agama adalah sangat najis (Im. 11:7). Bahkan kini anak muda Yahudi ini terpaksa harus makan ampas yang menjadi makanan babi tersebut. Bagi orang Israel, menyentuh hewan yang bernama babi saja sudah merupakan sesuatu yang najis, tapi kini si anak bungsu terpaksa harus makan dari ampas yang dimakan babi. Sangat memilukan dan tragis keadaan si anak bungsu itu!

Sangat menarik, bahwa manusia sering memperoleh kesadaran dan penemuan diri ketika dia berada di titik nol. Si anak bungsu memperoleh “pencerahan” atau insight yang baru ketika dia berada di titik nihil, yaitu pada saat dia makan ampas babi. Saat itu dia mulai menyadari seluruh kesalahannya. Dia melihat seluruh kebaikan dan kasih dari ayahnya. Timbullah tekad untuk kembali pulang menemui ayahnya dan mohon pengampunan. Dia ingin mengaku dosa dan kesalahannya, sambil berkata: “Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa” (Luk. 15:18-19). Saat dia berjalan pulang ternyata ayahnya telah lama menunggu dan dia telah melihat anak bungsunya dari kejauhan. Dengan penuh kasih-sayang, ayahnya segera memeluk dan mencium anaknya yang lama pergi meninggalkan dia. Kemudian ayahnya memberikan jubah yang terbaik, mengenakan cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Si anak bungsu tersebut dipulihkan kedudukannya. Seandainya perumpamaan tersebut sungguh-sungguh terjadi, pastilah si anak bungsu juga akan berkata seperti pemazmur: “Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi!” (Mzm. 32:1). Peristiwa pemulihan ini dapat terjadi karena sikap penyesalan dan pertobatan dari anak bungsu. Tetapi sesungguhnya pemulihan tersebut dapat menjadi kenyataan karena ayah dari si anak bungsu menunjukkan belas-kasihan dan pengampunannya yang luar-biasa. Karena itu perumpamaan Luk. 15:11-32 lebih tepat diberi judul: “Bapa Yang Penuh Kasih” dari pada berjudul: “Anak Yang Hilang”.

Dalam menyikapi perumpamaan Tuhan Yesus di Luk. 15:11-32, umumnya kita lebih cenderung memerankan diri sebagai anak yang bungsu. Dalam peran tersebut kita akan datang untuk menemui Allah dan mohon pengampunanNya setelah kita melakukan begitu banyak kesalahan dan dosa. Akibatnya banyak orang Kristen beranggapan bahwa mereka akan bertobat dan kembali kepada Tuhan setelah mereka puas melakukan “cara-cara menurut dunia” ini. Atau sebaliknya, sikap kita selaku umat Kristen memposisikan diri seperti anak yang sulung. Dalam peran tersebut kita merasa diri lebih baik dari pada “adiknya” yang hidup secara duniawi. Kita merasa bahwa hidup kita lebih saleh, tidak berfoya-foya, setia melaksanakan kehendak dan firman Allah. Tetapi ironisnya kita menjadi sangat marah ketika Allah berkenan mengampuni orang yang berdosa dan memberi karuniaNya kepada orang-orang yang berdosa. Bukankah kita sering merasa diri lebih saleh dan hidup benar, tetapi pada sisi lain kita bersikap iri-hati terhadap kebaikan Allah yang dinyatakan kepada orang-orang yang kita anggap lebih buruk dari pada kita? Ternyata kedua peran, baik sebagai anak bungsu maupun sebagai anak sulung bukanlah peran yang tepat untuk kita jalani sebagai umat percaya. Peran yang seharusnya kita lakukan dengan penuh kesadaran dan komitmen iman adalah kita mau berperan sebagai ayah dari kedua anaknya, baik yang sulung maupun yang bungsu. Peran tersebut adalah: “memiliki kasih seorang bapa”.

Manakala kita menghayati bahwa Allah di dalam Kristus adalah seorang Bapa yang penuh kasih, maka seharusnya kita dengan kuasa anugerahNya juga bersedia memerankan kasih seorang bapa yang selalu bersedia untuk mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kita. Dalam perumpamaan di Luk. 15:11-32, Tuhan Yesus menunjukkan bahwa ayah dari 2 anak tersebut sebenarnya sangat menderita. Dia harus membagikan harta miliknya kepada anak bungsunya ketika dia masih hidup. Dia sangat terluka ketika anak bungsunya meninggalkan dia dan menghabiskan seluruh harta miliknya. Tetapi dia juga sangat bersedih ketika anaknya yang sulung menjadi marah atas kebaikan dan kemurahan yang diberikan kepada adiknya yang baru pulang dan telah menyesali kesalahannya. Namun yang luar-biasa, ayah tersebut tetap mengasihi kedua anaknya. Inilah gambaran dari anugerah kasih Allah kepada umat manusia, yaitu bahwa kasih Allah senantiasa tidak bersyarat. Dia tetap mengasihi kita walaupun kita seringkali memberontak dan menyakiti hatiNya. Kasih Allah tersebut sangat berbeda/kontras dengan sikap anak-anaknya yang lebih cenderung memiliki kasih yang bersyarat! Dengan perkataan lain, kita akan gagal memerankan kasih seorang bapa ketika jenis/kualitas kasih kita masih bersyarat. Kita tidak akan dapat memberi pengampunan yang tulus kepada sesama atau musuh yang kita benci, selama jenis kasih kita tersebut didasari oleh syarat-syarat duniawi terlebih dahulu, misalnya: “Saya bersedia mengampuni, jikalau dia mau meminta maaf terlebih dahulu”, atau: “saya bersedia memaafkan kesalahannya, jikalau dia mau datang ke rumahku untuk meminta maaf”.

Makna ucapan rasul Paulus bahwa siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang (II Kor. 5:17) ditempatkan dalam konteks hidup “berdamai dengan Allah” (II Kor. 5:19-20). Kita dapat menjadi ciptaan baru di dalam Kristus ketika kita bersedia memberlakukan kasih yang mengampuni setiap orang. Ketika kehidupan kita ditandai oleh pengampunan kepada sesama, maka sesungguhnya kita telah mengalami secara nyata dan eksistensial bagaimana wujud pengampunan dari Allah. Ciri kehidupan dengan kekayaan pengampunan tersebut merupakan tanda dari orang yang telah berdamai dengan Allah di dalam pengorbanan Kristus di atas kayu salib. Jika demikian, bagaimana sekarang peran kita sebagai umat Allah? Apakah kita lebih cenderung berperan sebagai anak yang bungsu, yaitu orang-orang yang berencana bertobat setelah kita melakukan banyak kesalahan dan penderitaan? Ataukah sebagai anak yang sulung yang merasa hidupnya lebih baik, lebih benar dan karena itu memiliki perasaan superioritas rohani tetapi juga bersikap iri-hati terhadap kemurahan dan pengampunan Allah kepada orang berdosa? Atau kini dengan penuh kesadaran akan kasih anugerah Allah, kita bersedia untuk memerankan kasih Allah karena Dia telah mengasihi kita terlebih dahulu.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Tidak ada komentar: