Selasa, 25 September 2007

BERPEGANG PADA TUHAN, SUMBER KEBENARAN

Renungan Minggu, 25 Februari 2007


Ul. 26:1-11, Mzm. 91:1-16, Rom. 10:8b-13, Luk. 4:1-13

Pola berpikir dan kerohanian kita pada masa kini sebenarnya sangat dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman kita di masa lalu. Namun agar pola berpikir dan kerohanian kita pada masa kini dapat menghasilkan sesuatu yang berkualitas, progresif dan berhikmat, maka berbagai pengalaman masa lalu tersebut perlu disaring agar jernih dan bermakna. Kita perlu terus-menerus menyaring berbagai pengalaman masa lalu, bahkan pengalaman masa kini dengan saringan iman. Walaupun pengalaman merupakan kisah nyata dalam kehidupan seseorang, tetapi perlu tetap disadari bahwa pengalaman tetaplah bersifat subyektif. Karena itu semakin kita mampu menyaring berbagai pengalaman masa lalu dan masa kini dengan saringan iman, maka hidup kita semakin jernih, progresif dan lebih akomodatif untuk mengalami makna perjumpaan dengan Tuhan. Saringan dengan iman yang dilakukan secara benar akan menghasilkan suatu pengakuan iman yang tulus kepada Tuhan. Iman yang jernih dapat mendorong kita menghayati kredo, yaitu tindakan iman yang mengakui dan mengimani karya Tuhan di sepanjang hidup kita. Ul. 26 memberi suatu kesaksian iman tentang bagaimana karya Tuhan yang telah bekerja di dalam sejarah umat Israel sebagai dasar pengakuan iman (kredo) ketika mereka mengungkapkan syukur kepada Tuhan atas karya penyelamatan dan pemeliharaanNya.

Ul. 26:2-3 menyaksikan bagaimana umat Allah dipanggil untuk membawa persembahan syukur dari hasil pertama pekerjaan mereka dan persembahan tersebut harus dibawa ke mezbah Tuhan dengan suatu pengakuan, bahwa semua ini terjadi karena Allah yang telah membawa mereka dapat masuk ke negeri Kanaan dengan sejahtera. Kemudian mulai ayat 5-10 dinyatakan suatu “kredo” yang dimulai dengan penyertaan Tuhan kepada Abraham, penindasan di Mesir, karya pembebasan Allah dari Mesir, karya Allah yang telah memimpin mereka selama di padang -gurun dan karya Allah yang membuat mereka diam dengan sejahtera di tanah terjanji. Dalam hal ini pola pikir dan spiritualitas umat Israel sebenarnya dibentuk oleh saringan iman, yaitu karya Allah yang dialami secara nyata oleh mereka. Sikap iman ini pula yang mereka pakai untuk menyaring pengalaman-pengalaman baru saat mereka tinggal di tanah Kanaan. Tujuan dari tindakan iman yang menyaring berbagai unsur pengalaman tersebut adalah agar semuanya berfokus kepada Tuhan, sumber kebenaran dan keselamatan mereka. Sehingga secara bersengaja mereka berani dan konsisten membuang semua hal yang tidak sesuai dengan karya keselamatan Tuhan. Saringan iman tersebut kemudian dapat menghasilkan tindakan ibadah yang murni dan berfokus kepada Tuhan, sehingga tidak ada tempat atau ruang sedikitpun bagi sikap bermegah-diri karena kepandaian dan kesalehan diri mereka; juga tidak ada tempat sedikitpun bagi kuasa-kuasa lain yang dapat menolong dan memberi kelepasan kepada umat Israel. Ul. 9:4-5, Allah berfirman: “Janganlah engkau berkata dalam hatimu, apabila TUHAN, Allahmu, telah mengusir mereka dari hadapanmu: Karena jasa-jasakulah TUHAN membawa aku masuk menduduki negeri ini; padahal karena kefasikan bangsa-bangsa itulah TUHAN menghalau mereka dari hadapanmu. Bukan karena jasa-jasamu atau karena kebenaran hatimu engkau masuk menduduki negeri mereka, tetapi karena kefasikan bangsa-bangsa itulah, TUHAN, Allahmu, menghalau mereka dari hadapanmu, dan supaya TUHAN menepati janji yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu, yakni Abraham, Ishak dan Yakub”.

Namun dalam kenyataan hidup saringan iman yang dijadikan prinsip dan “dogma” bagi setiap umat percaya sepanjang zaman, kerapkali diingkari dan dilawan secara terselubung atau terbuka. Umat Allah seringkali tergoda untuk terus mencoba menempatkan dirinya sebagai pihak yang menentukan keselamatan hidupnya. Karena itu untuk memperoleh keselamatan, mereka dengan giat melakukan berbagai “amal” dan merasa telah berjasa di hadapan Allah karena telah melakukan berbagai perbuatan baik. Kalau mereka sering menyebut bahwa apa yang mereka lakukan karena kebaikan dan pertolongan Allah, hanyalah sebagai suatu bentuk ungkapan “pemanis” untuk menutupi kesombongan rohani mereka. Ketika sikap iman dan beragama tidak lagi memiliki kemampuan untuk “menyaring” sendi-sendi kepribadian dan spirituaitas diri dan masyarakat, maka pola hidup beriman dan beragama sering menjadi sangat bias dan mendua. Pada satu pihak secara ritual mereka menampakkan kesalehan dan ibadah yang semarak kepada Tuhan, tetapi pada pihak lain mereka terang-terangan menempatkan diri di atas kebesaran Tuhan. Di satu pihak mereka mengucapkan kredo dalam ibadah, dan pada pihak lain mereka memiliki “kredo lain” dalam realita hidup yaitu kepercayaan akan keangkuhan dan keserakahan rohani diri mereka.

Saringan iman pada prinsipnya akan menghasilkan sikap yang konsisten, yaitu sikap yang tidak pernah bias dan mendua. Mzm. 91:1-2 berkata: “Orang yang duduk dalam lindungan Yang Mahatinggi dan bermalam dalam naungan Yang Mahakuasa akan berkata kepada Tuhan: Tempat perlindunganku dan kubu pertahananku, Allahku, yang kupercayai”. Pemazmur sebagaimana juga yang telah dinyatakan oleh Ul. 26 menegaskan prinsip teologis, bahwa Allah adalah satu-satunya tempat perlindungan dan benteng dalam hidupnya. Karena itu seluruh ayat dalam Mzm. 91 memberikan dorongan agar umat beriman tidak gentar ketika mereka menghadapi berbagai bahaya dan malapetaka. Dengan pengertian teologis semacam ini, apakah berarti orang beriman akan selalu bebas dari bahaya dan malapetaka? Mungkin pada satu pihak kita imani bahwa Allah berkuasa memelihara kehidupan umatNya yang sedang menghadapi suatu malapetaka dan ancaman maut. Tetapi yang terpenting dalam kehidupan umat beriman adalah janji keselamatan kekal. Selama masih tinggal di dunia ini umat beriman dapat dianiaya, menderita dan dibunuh. Di Luk. 12:4-5 Tuhan Yesus berkata: “Janganlah kamu takut terhadap mereka yang dapat membunuh tubuh dan kemudian tidak dapat berbuat apa-apa lagi…….. tetapi takutilah Dia, yang setelah membunuh, mempunyai kuasa untuk melemparkan orang ke dalam neraka”. Kuasa dunia dapat mencabut nyawa kita, tetapi mereka tidak berkuasa atas keselamatan kekal. Karena itu setiap orang beriman tidaklah bebas dari bahaya maut, tetapi mereka memiliki jaminan keselamatan kekal yang mana mereka tetap berada dalam persekutuan dengan Tuhan.

Ketika spiritualitas kita hanya berfokus kepada Tuhan, dan hanya kepada Dia kita takut dan mengabdi, maka memungkinkan kita menjadi lebih efektif untuk dipakai oleh Tuhan sebagai alatNya. Ketika hidup kita hanya takut kepada Tuhan, maka kita akan dimampukan untuk menjadi alat pembebas dan keselamatan bagi sesama kita yang menderita. Namun ketika kita takut dan mudah gentar kepada kuasa dunia dan manusia, maka kita akan diperalat oleh mereka sebagai alat-alat perusak, penghancur, penganiaya dan pembelenggu kepada sesama kita. Sehingga sangatlah tepat nas yang dibaca oleh Tuhan Yesus dari Yes. 61:1-2, yang berkata: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang" (Luk. 4:18-19). Dengan demikian spiritualitas yang berfokus kepada Allah dan karyaNya akan memampukan kita untuk bertumbuh dan makin dikuduskan, yaitu sebagai alat pembebas, pemberita kabar baik dan tahun rahmat Tuhan kepada sesama kita yang lemah dan menderita. Setelah itu mereka perlu kita bimbing untuk berjumpa dengan Allah sang penyelamat, sehingga mereka dapat mengucap syukur dengan karya penyelamatan Tuhan yang telah terjadi di dalam pengalaman hidup mereka.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Tidak ada komentar: