Selasa, 25 September 2007

MEMANDANG KEPADA DIA YANG TERTIKAM

Renungan: Jumat, 6 April 2007

Jumat Agung (Tahun C)


Yes. 52:13 – 53:12, Mzm. 22, Ibr. 10:16-25, Yoh. 19:28-42

Nubuat nabi Yesaya menyaksikan tentang gambaran “hamba Tuhan” (Ebed Yahweh) secara ironis. Pada satu pihak sang hamba Tuhan tersebut akan berhasi, ditinggikan, disanjung dan dimuliakan (Yes. 52:13). Namun pada pihak lain sang hamba Tuhan tersebut akan membuat orang tertegun karena buruk rupanya (Yes. 52:14). Lalu di Yes. 53:2-3 diuraikan bagaimana keadaan dari sang hamba Tuhan tersebut, yaitu: ia tidak tampan, tidak tampil semarak, ia tidak diinginkan orang, dihina, dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan ia tidak masuk hitungan orang-orang di sekitarnya. Itu sebabnya di Yes. 53:1 muncul suatu ungkapan yang bernada agak pesimistis dan ragu-ragu, yaitu: “Siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar, dan kepada siapakah tangan kekuasaan Tuhan dinyatakan?” Manakala sang hamba Tuhan tersebut tidak memiliki daya semarak secara duniawi, tetapi ia selalu akan dihina dan dicaci maki, maka siapa yang mau percaya kepada berita yang disampaikan olehNya? Pastilah berita atau firman yang disampaikan oleh sang hamba Tuhan tersebut akan selalu dicibirkan, diabaikan dan ditolak oleh banyak orang. Namun di balik ironi kehidupan sang hamba Tuhan yang sangat menderita itu, sesungguhnya Dia telah ditetapkan oleh Allah untuk menanggung segala penyakit kita. Sang hamba Tuhan tersebut menjadi “asyam” (korban penghapus dosa). Itu sebabnya Yes. 53:4-5 berkata: “Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh”.

Sang hamba Tuhan yang dinubuatkan oleh nabi Yesaya tersebut adalah Tuhan Yesus Kristus. Sehingga tidak mengherankan jikalau Yohanes Pembaptis saat dia melihat diri Yesus, dia membuat suatu pernyataan di hadapan orang banyak, yaitu: “Lihatlah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia” (Yoh. 1:29). Sebagaimana Yohanes Pembaptis memandang Tuhan Yesus sebagai Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia, maka kitapun perlu memandang dan memaknai kisah penderitaan dan kematian Kristus sebagai sang Anak Domba Allah yang tersembelih untuk keselamatan kita. Karena tidaklah mudah bagi dunia untuk menerima peristiwa penderitaan dan kematian Kristus sebagai karya penyelamatan Allah bagi umat manusia. Peristiwa salib menurut pemahaman dunia dengan mengutip perkataan rasul Paulus adalah: bagi orang Yahudi, salib menjadi batu sandungan; sedangkan bagi orang Yunani, salib merupakan suatu kebodohan (I Kor. 1:23). Itu sebabnya bagi sebagian orang, Yesus tidak pernah disalibkan dan mati. Karena tidaklah layak seorang Messias harus mengalami kematian dengan cara yang sangat hina. Itu sebabnya Allah kemudian menyelamatkan Yesus dari tangan para musuhNya, dan kemudian mengangkat Dia langsung ke surga. Dalam pengertian ini, Kristus dimuliakan oleh Allah ke surga tanpa melalui peristiwa penderitaan dan kematian di atas kayu salib. Namun ada pula yang beranggapan bahwa dalam peristiwa salib, yang menderita dan wafat hanyalah segi manusiawinya yaitu manusia yang bernama Yesus dari Nazaret; sedangkan segi ilahiNya yaitu roh Kristus yang datang dari sorga tidak pernah menderita dan mengalami kematian. Dalam pandangan-pandangan tersebut tampak secara jelas, bahwa sangat sulit bagi dunia untuk menerima peristiwa salib yang menimpa diri Yesus Kristus. Bukankah lebih afdol, kalau karya keselamatan Allah tidak terjadi melalui penderitaan dan kematian salib? Atau dengan perkataan lain, bukankah karya Allah akan lebih efektif dan diterima oleh banyak orang ketika tidak ditampilkan melalui kehidupan dari sang Hamba Tuhan yang menderita?

Gambaran diri Kristus sebagai hamba Tuhan yang menderita disaksikan oleh Injil Yohanes sebagai pribadi yang begitu tegar dan tetap mampu mengendalikan semua situasi yang paling buruk dan kritis sekalipun. Di hadapan musuh-musuh yang ragu-ragu untuk menangkapNya, Tuhan Yesus berkata: “Akulah Dia” (Yoh. 18:5-8). Ketika Yesus ditampar oleh penjaga Bait Allah, Dia mengingatkan: “Jikalau kataKu itu salah, tunjukkanlah salahnya, tetapi jikalau kataKu itu benar, mengapakah engkau menampar Aku?” (Yoh. 18:23). Demikian pula sikap Tuhan Yesus yang begitu tenang dan memberi jawaban yang penuh makna kepada Pontius Pilatus, yaitu: “KerajaanKu bukan dari dunia ini; jika KerajaanKu dari dunia ini, pasti hamba-hambaKu telah melawan supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi KerajaanKu bukan dari sini” (Yoh. 18:36). Semua perkataan Tuhan Yesus tersebut mengungkapkan rahasia jati-diri yang sesungguhnya sebagai seorang Messias yang ditentukan oleh Allah untuk keselamatan umat manusia. Karena itu Injil Yohanes sebenarnya mau menegaskan, bahwa bukan kehendak manusia dan keputusan Pilatus yang menentukan kematian Kristus. Tetapi karena Pilatus diberi kuasa oleh Allah. Ini terlihat dari jawaban Tuhan Yesus: “Engkau tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas” (Yoh. 19:11). Jadi melalui peristiwa salib, Allah berkenan memakai kematian Kristus untuk mewujudkan karya keselamatanNya yang paripurna.

Semua dokumen Injil menyatakan dengan tegas, bahwa Tuhan Yesus wafat di atas kayu salib. Pada zaman itu sebenarnya hukuman salib merupakan hukuman yang telah biasa diberlakukan oleh pemerintah Romawi kepada orang-orang Yahudi yang dianggap menjadi pemberontak. Bagaimana bentuk hukuman salib pada waktu itu? Pada tahun 1968, para arkeolog menemukan tulang-belulang dari seorang laki-laki Yahudi yang menjadi korban penyaliban dalam sebuah makam di sebelah utara Yerusalem, tidak jauh dari Nablus. Di peti tempat penyimpanan tulangnya tertera namanya, yaitu: Yehokhanan. Dari jasad Yehokhanan tersebut, tampak paku-paku salib ditembuskan dengan palu pada lengan bawah di antara tulang radius dan ulna. Jadi tangan yang disalib ternyata bukan pada telapak tangan! Sehingga paku yang ditembuskan melalui pergelangan tangan akan menghancurkan pembuluh-pembuluh darah besar. Dengan perkataan lain, Tuhan Yesus juga disalibkan dengan cara yang berlaku pada zaman itu. Menjelang Dia mau wafat, Injil Yohanes menyaksikan bahwa Tuhan Yesus haus (Yoh. 19:28). Sesudah Tuhan Yesus diberi minum dari anggur asam, maka Ia berkata untuk yang terakhir kallinya: “Sudah selesai!”. Lalu Dia wafat! Dengan demikian, semua dugaan atau hipotesa bahwa Kristus tidak pernah mengalami kematian di atas kayu salib, atau Dia dianggap hanya “pura-pura” mati tidak lagi memiliki dasar dan bukti yang kuat. Sebagaimana nubuat nabi Yesaya menyatakan: “Sesudah penahanan dan penghukuman ia terambil, dan tentang nasibnya siapakah yang memikirkannya? Sungguh, ia terputus dari negeri orang-orang hidup, dan karena pemberontakan umatKu ia kena tulah” (Yes. 53:8).

Bukti kematian Kristus makin dikuatkan ketika seorang prajurit menikam lambungNya dengan tombak, yang mana dari lambung Tuhan Yesus keluar darah dan air (Yoh. 19:34). Bagi umat percaya, darah dan air yang keluar dari lambung Kristus memiliki makna yang sangat fundamental. Ibr. 10:19-20 berkata: “Jadi saudara-saudara, oleh darah Yesus kita sekarang penuh keberanian dapat masuk ke dalam tempat kudus, karena Ia telah membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kita melalui tabir yaitu diriNya sendiri”. Karena itu apa maknanya ketika kita selaku umat Allah pada hari Jumat Agung ini merenungkan, memaknai dan melihat tubuh Kristus yang tertikam di atas kayu salibNya? Karya keselamatan Allah yang dinyatakan di dalam kematian Kristus seharusnya mendorong kita memiliki keberanian untuk menghampiri takhta kasih-karunia Allah. Dalam hidup sehari-hari masih banyak orang Kristen yang terus-menerus dikejar oleh rasa bersalah, dibelenggu oleh konflik-konflik batin yang terjadi pada masa lalu, mereka kurang mempercayai kuasa anugerah dan pengampunan Allah. Kematian Kristus yang telah ditentukan oleh Allah sebagai korban penghapus dosa untuk umat manusia sesungguhnya berkuasa untuk memulihkan diri kita dari kuasa dosa. Jadi ketika kita memandang kepada tubuh Kristus yang tertikam di atas kayu salib, seharusnya kita dengan hati yang remuk-redam mengakui seluruh dosa dan kesalahan kita, dan kemudian dengan sikap iman kita bersedia menyambut pengampunan dan pemulihan dari Kristus. Sebab dengan kematianNya, Kristus telah membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi seluruh umat percaya, bahkan bagi dunia ini.

Jalan yang baru dan yang hidup yang dikaruniakan oleh Kristus adalah bahwa kehidupan umat manusia tidak lagi ditempatkan dalam konteks hukuman dan murka Allah karena dosa-dosa atau kesalahannya. Tetapi di dalam kematian Kristus, umat manusia ditempatkan dalam kuasa anugerah Allah yang menyelamatkan. Di dalam Kristus, hati-nurani kita yang jahat dibersihkan dan tubuh kita dibasuh dengan air yang murni (Ibr. 10:22). Sehingga kini dengan hati-nurani dan tubuh yang suci kita dapat menjadi kawan-sekerja Allah untuk menyatakan keselamatanNya bagi sesama di sekitar kita. Karena itu dalam memaknai peristiwa Jumat Agung yang mana kita memandang kepada tubuh Kristus yang tertikam, apakah hati-nurani kita juga saat ini telah diperbaharui? Apakah kehidupan kita di dalam iman kepada Kristus tidak lagi terbelenggu oleh konflik-konflik batin dan berbagai kesalahan yang telah terjadi di masa lampau? Juga di dalam iman kepada Kristus, apakah tubuh kita senantiasa kita pelihara kekudusannya? Karena itu baik dengan tubuh dan hati-nurani yang kudus, marilah kita mulai saat ini makin berperan sebagai kawan-sekerja Allah untuk mengkomunikasikan karya keselamatan Allah yang memulihkan di dalam kematian Kristus.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Tidak ada komentar: