Renungan 5 Agustus 2007
Hos. 11:1-11, Mzm. 107:1-9, Kol. 3:1-11, Luk. 12:13-21
Kehidupan setiap orang atau bangsa memiliki rangkaian peristiwa yang umumnya disebut sebagai “sejarah kehidupan”. Namun sejarah kehidupan dari tiap-tiap orang atau bangsa bukan hanya sekedar karena mereka mengalami suatu peristiwa penting tertentu (significant event), tetapi juga karena mereka memiliki arti atau makna yang penting (significance) dari peristiwa yang dialaminya itu. Demikian pula dengan kehidupan umat Israel. Mereka dibentuk menjadi bangsa dan umat Allah melalui rangkaian berbagai peristiwa; dan beberapa peristiwa mereka alami tersebut dihayati oleh umat Israel sebagai tonggak-tonggak penting sejarah hidupnya. Salah satu peristiwa yang sangat menentukan bagi pembentukan identitas diri mereka sebagai umat Allah dan bangsa adalah peristiwa keluaran (exodus) dari tanah Mesir. Itu sebabnya peristiwa eksodus menjadi dasar pijakan iman, refleksi teologis dan pembentukan identitas diri di tengah-tengah berbagai pengaruh budaya dan keagamaan yang telah berkembang di tanah tanah Kanaan. Pengaruh budaya dan keagamaan atau kepercayaan di sekitar mereka tersebut seringkali begitu kuat, sehingga mereka kerapkali condong kepada berbagai ilah dan menjadi penganut Baalisme. Sehingga sejarah kehidupan mereka juga sering ditandai oleh berbagai tindakan yang berpaling, melawan dan meninggalkan Allah.Kitab Hos. 11 pada prinsipnya melukiskan gambaran dari kehidupan umat Israel yang memilih berpaling dan meninggalkan Allah dengan menyembah kepada Baalisme. Di Hos. 11:7 menyaksikan ungkapan hati Allah kepada umatNya, yaitu: “UmatKu betah dalam membelakangi Aku; mereka memanggil kepada Baal dan berhenti meninggikan namaKu”. Tetapi bagaimanakah sikap Allah untuk membawa umat Israel kembali kepadaNya?
Kesaksian kitab Hosea pasal 11 melukiskan bagaimana pergulatan hati Allah dalam menyikapi umat Israel yang telah berpaling dan membelakangi diri Allah. Saat itu Allah sedang bergumul dengan diriNya sendiri, yaitu antara kekudusan dengan belas-kasihanNya. Kekudusan Allah pada hakikatnya tidak dapat membiarkan hal-hal yang jahat dan keji di hadapanNya. Sebagai Allah yang kudus, Dia tidak dapat membiarkan umatNya berpaling dan menyembah kepada Baal. Karena itu kekudusan Allah senantiasa diikuti oleh hukuman dan murkaNya. Ini berarti dengan kekudusanNya Allah seharusnya menghukum dan membinasakan umatNya sendiri. Namun pada pihak lain Allah tetap mengasihi Israel sebagai umatNya. Dengan rahmatNya Allah mengasihi Israel sebagai anak-anakNya, sehingga mereka diselamatkan dan dibebaskan dari perbudakan di Mesir. Itu sebabnya Allah tidak mau menghukum dan membinasakan umat Israel. Sehingga terjadilah pergumulan yang hebat di dalam diri Allah antara murka dan kasihNya. Di Hos. 11:8c-9 Allah berfirman: “HatiKu berbalik dalam diriKu, belas-kasihanKu bangkit serentak. Aku tidak akan melaksanakan murkaKu yang bernyala-nyala itu, tidak akan membinasakan Efram kembali. Sebab Aku ini Allah dan bukan manusia, Yang Kudus di tengah-tengahmu, dan Aku tidak datang untuk menghanguskan”. Di tengah-tengah pergumulan diri Ilahi itu pada akhirnya kasih dan anugerah Allah yang tampil dominan, sehingga Allah membatalkan rencana hukumanNya, dan menyurutkan murkaNya yang telah bernyala-nyala itu. Jadi dalam menyikapi umat Israel yang telah berpaling dan meninggalkan Allah, hati Allah lebih dipenuhi oleh belas-kasihan yang begitu besar, sehingga Dia sebagai Yang Kudus tidak menghanguskan umatNya yang bebal itu. Kasih Allah melampaui dan lebih besar dari pada dosa dan kebebalan umatNya.
Dengan kelembutan kasihNya, Allah kemudian mengingatkan umat Israel ketika mereka masih muda, yaitu ketika mereka berangkat dipimpin oleh Allah untuk keluar meninggalkan tanah Mesir (Hos. 2:14). Waktu itu mereka telah mengalami secara langsung kasih dan pemeliharaan Allah yang ajaib selama meninggalkan tanah Mesir dan berjalan selama 40 tahun di padang gurun. Mereka mengalami kehadiran Allah sebagai Bapa yang mengasihi anak-anakNya. Itu sebabnya Hos. 11:3 melukiskan sikap Allah yang bertindak seperti seorang ayah yang mengajar mereka berjalan dan menggendong mereka di tangannya. Hos. 11:3 berkata: “Padahal Akulah yang mengajar Efraim berjalan dan mengangkat mereka di tanganKu, tetapi mereka tidak mau insaf, bahwa Aku menyembuhkan mereka”. Gambaran kasih Allah tersebut terus dikenang oleh umat Israel. Mereka mengingat kembali bagaimana keadaan mereka yang semula tidak berdaya dan belum mampu berjalan sendiri, tetapi Allah dialami sebagai BapaNya terus membimbing dan menggendong mereka dengan setia. Ungkapan Hos. 11:3 ini paralel dengan Ul. 1:31 yang berkata: “dan di padang gurun, di mana engkau melihat bahwa TUHAN, Allahmu, mendukung engkau, seperti seseorang mendukung anaknya, sepanjang jalan yang kamu tempuh, sampai kamu tiba di tempat ini”. Bahkan saat mereka sakit dan berada dalam bahaya maut di padang gurun, Allah dialami sebagai Bapa yang senantiasa menyembuhkan dan menyelamatkan hidup mereka.
Sikap Allah sebagai seorang Bapa diungkapkan secara hidup di kitab Hosea sesuai dengan pengalaman umat Israel, yang mana Allah telah membimbing dan menggendong, serta menyembuhkan mereka dengan kasih-setiaNya. Namun ternyata kasih Allah sedemikian dalam, sehingga di Hos. 11:4 dinyatakan: “Aku menarik mereka dengan tali kesetiaan, dengan ikatan kasih. Bagi mereka Aku seperti orang yang mengangkat kuk dari tulang rahang mereka; Aku membungkuk kepada mereka untuk memberi mereka makan”. Allah bukan hanya berlaku dengan kasih-setia, tetapi lebih dari pada itu Allah berkenan untuk “membungkuk kepada mereka untuk memberi mereka makan”. Dalam kasih-setiaNya, Allah telah memelihara umatNya dengan makanan yang dibutuhkan selama perjalanan yang sangat berat di padang gurun. Tetapi Allah juga berkenan “membungkuk” di hadapan umatNya! Allah bersedia merendahkan diriNya, walaupun Dia adalah Allah di atas para ilah dan penguasa alam semesta. Dengan kasihNya yang agung, Allah berkenan memposisikan diriNya sebagai Bapa yang membimbing dan menggendong serta menyembuhkan anak-anakNya. Tetapi juga Allah secara khusus berkenan memposisikan diriNya yang “membungkuk” agar wajah dan tanganNya dapat dekat dengan anak-anakNya yang lemah. Sehingga dengan perendahan diri Allah tersebut, umatNya diharapkan bersedia berpaling kembali kepada Allah sehingga mereka dapat selamat dan berada kembali dalam nauangan kasihNya. Bukankah gambaran kasih Allah tersebut kelak terwujud secara nyata dalam kehidupan dan karya keselamatan Kristus? Allah di dalam Kristus juga telah berkenan merendahkan diri dan mengosongkan diriNya dengan mengambil rupa sebagai seorang hamba agar Dia dapat menjangkau seluruh umat yang dikasihiNya (bandingkan Fil. 2:6-8).
Dalam praktek hidup sehari-hari, karya kasih Allah yang agung itu ternyata tidak menyurutkan umat Allah untuk terus berpaling dan meninggalkan Allah. Apabila umat Israel menjadikan Baal sebagai allah mereka, maka kita selaku umat yang telah ditebus oleh Kristus sering menjadikan kekayaan dan materi sebagai penguasa hidup kita. Di Luk. 12:15, Tuhan Yesus mengingatkan kita yaitu: “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu”. Baalisme sebagai berhala dalam bentuk patung dan kepercayaan yang mengilahkan dia mungkin kini telah lenyap; tetapi rohnya dalam wujud pemujaan terhadap kekayaan dan materi tidak pernah lenyap. Bahkan kini kekayaan dan materialisme telah menawan dan mengikat hati banyak orang sehingga kekayaan dan materialisme menjadi penguasa yang paling berpengaruh dalam seluruh aspek kehidupan kita. Akibatnya nilai kesuksesan, kebahagiaan dan keselamatan diukur dari jumlah kekayaan dan materi yang dimiliki. Namun ketika kita diperhadapkan oleh kenyataan hidup yang sebaliknya, yaitu ketika kita gagal untuk meraih kekayaan dan materi sebagaimana yang diharapkan, betapa banyak di antara kita yang menjadi sangat frustrasi dan putus-asa. Suatu hari ketika saya mengantar isteri berobat akunpuntur, saya terkejut dengan pemandangan bahwa ternyata cukup banyak anak-anak muda yang terkena stroke. Tampaknya mereka mengalami stroke karena mengalami stres yang berat dan tidak terselesaikan. Dari percakapan yang saya lakukan, ternyata di antara mereka mengalami stres yang berat disebabkan karena mereka gagal dalam pekerjaan, meraih jenjang karier dan patah-hati. Orang kaya yang tanahnya berlimpah-limpah hasilnya dalam perumpamaan Tuhan Yesus itu berkata dengan nada puas dan bangga, yaitu: “Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!”. Tetapi tidak lama kemudian, dia mati secara mendadak, sehingga seluruh hasil kekayaannya tidak dapat dinikmati lagi. Dia mengabdikan seluruh hidupnya untuk kekayaan, tetapi dia tidak dapat membawa salah satu barang yang berhasil dikumpulkannya. Karena itu Tuhan Yesus berkata: “Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah” (Luk. 12:21).
Apakah ini berarti menjadi orang Kristen tidak boleh sukses dan bahagia secara materi? Bukankah kekayaan dan materi dalam arti tertentu merupakan pengejawantahan dari Baalisme? Apakah orang Kristen dipanggil untuk hidup miskin dan serba kekurangan agar mereka dapat menjadi lebih dekat dengan Allah? Kristus memanggil kita hanyalah untuk mengasihi dan mempermuliakan Allah dengan segenap hati kita. Karena itu kita dipanggil untuk mengasihi dan mempermuliakan Allah dengan seluruh keadaan kita, baik ketika kita kaya maupun ketika kita miskin; dan juga ketika kita sehat maupun ketika kita sakit. Jadi sebenarnya kekayaan dan kemiskinan bukanlah suatu cita-cita atau tujuan hidup kita, tetapi kondisi kaya atau miskin pada prinsipnya merupakan keadaan yang kita miliki setelah kita berjuang dengan rasa tanggungjawab terhadap kehidupan ini. Cita-cita hidup kita sebagai umat percaya adalah mempersembahkan diri kita seutuhnya untuk Tuhan, sehingga hidup kita hanya mempermuliakan namaNya dan dapat hidup kudus di hadapanNya. Tetapi yang terjadi di kitab nabi Hosea, umat Israel waktu itu lebih memilih membelakangi Allah dan mempermuliakan Baal. Mereka betah membelakangi Allah (Hos. 11:7). Jadi mereka secara sengaja memilih dan mengambil keputusan untuk meninggalkan Allah dengan bersundal dengan Baal. Dalam hal ini Baal dijadikan satu-satunya pusat tujuan dari umat Israel dengan mengabaikan Allah yang telah mengasihi mereka. Pada saat kita secara sengaja menjadikan kekayaan, materi, karier, pengetahuan dan keluarga atau apapun juga sebagai pusat tujuan dari hidup kita maka sebenarnya kita telah bersundal kepada Baal atau Mammon, dan membelakangi Allah.
Sikap Allah dalam menghadapi kedegilan umatNya tidak pernah berubah sepanjang masa. Kasih dan anugerah Allah senantiasa melampaui seluruh kesalahan dan dosa kita. Sebenarnya dengan kekudusanNya, Allah dapat menghukum dan membinasakan kita sebab kita telah berpaling dan membelakangiNya. Tetapi hati Allah segera berbalik oleh belas-kasihan, sehingga rahmat dan anugerahNya mendorong Dia untuk membimbing kita seperti seorang Bapa yang mengajar dengan penuh kesabaran anak-anaknya berjalan. Tatkala anak-anaknya mau jatuh, maka anak-anaknya tersebut segera diangkat dan digendong oleh Allah. Bilamana Allah mengingatkan umat Israel yang pernah dibimbing keluar melalui laut Teberau dengan tanganNya, maka kita juga diingatkan kembali akan karya keselamatan Allah melalui peristiwa penebusan Kristus di atas kayu salib. Kita diingatkan kembali akan kasih Allah yang berkenan menyerahkan Kristus agar kita yang berdosa dijadikan sebagai anak-anak Allah. Jadi melalui karya penebusan Kristus, kita dijadikan oleh Allah sebagai manusia baru, yaitu menjadi anak-anakNya. Bahkan di dalam iman kepada Kristus, kita telah dijadikan manusia baru yang harus bersedia untuk terus-menerus dibaharui oleh Allah. Di Kol. 3:9-10 rasul Paulus berkata: “Jangan lagi kamu saling mendustai, karena kamu telah menanggalkan manusia lama serta kelakuannya, dan telah mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya”. Jadi seharusnya di dalam iman kepada Kristus, kita bersedia untuk terus-menerus diperbaharui oleh Roh Kudus. Makna identitas kekristenan bukanlah sesuatu yang stagnan dan telah selesai! Kekristenan kita haruslah dinamis dan terus menjadi lebih kristiani dengan mempermuliakan Allah dan mengasihi sesama. Dengan sikap hidup yang demikian kita dapat pada akhirnya dimampukan oleh Allah untuk dapat menanggalkan seluruh manusia lama dan kelakuannya yang duniawi.
Ini berarti makna kenikmatan hidup baru di dalam Kristus bukanlah suatu kenikmatan hidup atau sikap hedonisme sebagaimana yang diperoleh orang-orang secara duniawi. Kenikmatan hidup baru di dalam Kristus manakala kita tidak menjadi umat yang bersikap bebal, dan umat yang betah untuk terus membelakangi Allah. Juga makna kenikmatana hidup baru dapat terjadi ketika kita bersedia untuk mematikan segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa-nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala (Kol. 3:5). Jadi kenikmatan hidup baru di dalam Kristus dapat kita alami secara konkrit ketika kita bersedia terus-menerus diperbaharui menjadi manusia baru dengan pengetahuan yang benar. Jika demikian, bagaimanakah dengan kehidupan saudara saat ini? Amin.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar