I Raj. 19:1-15, Mzm. 42, Gal. 3:23-24, Luk. 8:26-39
Orang-orang besar dalam sejarah senantiasa tampil dengan kepribadian yang luar-biasa dan karya yang sangat monumental. Demikianlah sosok nabi Elia. Tradisi iman umat Israel menempatkan nabi Elia sebagai nabi yang agung setelah Musa. Keduanya adalah nabi penegak dan pembela monotheisme yang menegaskan Allah adalah esa yang harus dipuji dan dimuliakan oleh semua manusia. Nabi Elia terkenal karena dia memiliki kegigihan yang mengagumkan untuk melawan Baalisme di Israel Utara. Bahkan dia begitu giat melawan Baalisme seorang diri tanpa rasa takut. Dengan kuasa Allah, Elia juga dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan mukjizat dari Allah yang luar biasa. Dengan kuasa Allah, nabi Elia dapat membangkitkan orang mati seperti yang dilakukan oleh Tuhan Yesus. Karya kenabiannya sangat monumental karena di depan umat Israel dan penganut Baalisme, Elia dapat mendatangkan api dari langit untuk menyambar habis korban bakaran (I Raj. 18:37-39). Tetapi nabi besar ini di I Raj. 19:3 sedang mengalami ketakutan yang luar biasa karena dia diancam akan dibunuh oleh ratu Izebel. Itu sebabnya Elia melarikan diri ke padang gurun dari kejaran tentara Izebel. Di Raj. 19:4, nabi Elia dengan nada depresi berseru kepada Allah: “Cukuplah itu! Sekarang ya Tuhan, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku”. Seorang tokoh besar, juga memiliki ketakutan yang besar walau Elia sebenarnya saat itu hanya menghadapi ancaman seorang wanita. Padahal waktu di gunung Karmel nabi Elia berani melawan para nabi Baal yang mencapai 450 orang banyaknya hanya seorang diri. Tetapi kini dia sangat gentar dengan ancaman seorang wanita bernama Izebel (I Raj. 18:22). Bagaimanakah sikap Tuhan dalam menghadapi nabiNya yang saat itu sedang ketakutan dan sedang putus-asa itu?
Dalam menghadapi nabi Elia yang sedang depresi dan putus-asa itu, Allah tidak memberi firmanNya untuk menghibur kepada Elia. Tetapi Allah menyuruh malaikatNya untuk memberi makan dan minum kepada Elia. Setelah kenyang, Elia tertidur pulas. Kemudian malaikat datang untuk menyuruh Elia makan dan minum kembali. Keadaan depresi Elia dipulihkan oleh Allah dengan terlebih dahulu memberi makan dan minum kepada Elia serta membuat dia tertidur pulas. Sehingga akhirnya Elia dapat memperoleh kekuatan berjalan empat puluh hari empat puluh malam ke gunung Horeb (I Raj. 19:8). Di atas gunung Horeb, Allah menyatakan diriNya kepada Elia. Dalam menyatakan diriNya ternyata Allah di gunung Horeb tidak hadir dalam peristiwa-peristiwa alam yang luar biasa. Allah tidak hadir dalam angin besar yang mampu membelah gunung-gunung dan bukit-bukit batu. Allah juga tidak hadir dalam peristiwa gempa. Allah juga tidak hadir dalam api. Di hadapan Elia yang sedang ketakutan dan putus-asa, Allah tidak menyatakan diriNya dengan fenomena alam yang menakutkan. Tetapi Allah menyatakan diriNya dengan angin sepoi-sepoi basa. Dalam teks Ibrani, makna “angin sepoi-sepoi basa” lebih menunjuk kepada pengertian “suara angin yang berbisik lembut”. Jadi Allah menghadirkan diriNya dengan kelembutan angin yang menyejukkan kalbu Elia. Kegelapan hati nabi Elia diusir dengan kelembutan kasih Allah, sehingga Elia tidak lagi berada dalam cengkeraman kuasa gelap dari ketakutan dan putus-asanya. Sehingga nabi Elia kemudian dapat melakukan tugas kenabianNya. Nabi Elia lalu diutus oleh Allah untuk mengurapi Hazael menjadi raja atas Aram dan mengurapi Elisa sebagai nabi Allah yang menggantikan dirinya.
Kuasa kegelapan manusia yang paling besar dalam setiap orang adalah rasa takut dan putus-asa. Kerapkali dalam kasus-kasus tertentu kita dicengkeram oleh rasa kuatir, cemas dan ketakutan yang begitu rupa sampai akhirnya kita kehilangan kemampuan untuk menyikapi persoalan kehidupan ini secara tepat dan realistis. Bahkan seringkali ketakutan dan kecemasan kita berhasil melumpuhkan seluruh sendi-sendi kehidupan sehingga kita tidak lagi memiliki semangat dan harapan untuk melanjutkan kehidupan ini. Dalam kondisi yang demikian sesungguhnya kita mengalami depresi sebagaimana yang telah dialami oleh nabi Elia. Dalam rasa sedih dan putus-asa, kita juga berseru kepada Tuhan: “Cukuplah itu! Sekarang, ya Tuhan, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku”. Jawaban Tuhan atas persoalan kita seringkali tampak “tidak rohani”. Tuhan menjawab persoalan kita dengan memampukan kita untuk tidur pulas dan membuat kita lapar sehingga kita dapat memperoleh makanan yang diperlukan oleh tubuh. Setelah itu kita tertidur pulas lagi. Hasilnya dalam proses pemulihan yang demikian tubuh fisik kita dapat menjadi segar kembali. Barulah kita dapat berbicara dan siap mendengar nasihat firman Tuhan. Sebab kita tidak mungkin dapat mendengar firman Allah dan penyataan diriNya ketika kita sedang mengalami ketakutan dan rasa putus-asa. Pada saat yang sama, Allah juga tidak menghadirkan diriNya dengan fenomena alam yang supra-natural yang mengerikan. Ketakutan dan rasa putus-asa yang kita alami tidak dapat dipulihkan dengan kegentaran dan ketakutan terhadap kedahsyatan alam. Di tengah-tengah ketakutan dan putus-asa kita, Allah berkenan menyatakan diriNya dan berfirman dengan kelembutan suaraNya yang sangat menyejukkan. Sehingga kita yang semula dicengkeram oleh kuasa kegelapan yaitu ketakutan dan rasa putus-asa yang tidak terkatakan itu, kini kita dapat menjadi tenteram dalam dekapan tangan kasihNya. Kuasa kegelapan yang telah membelenggu kita dalam jerat ketakutan dan putus-asa akhirnya dapat tersibak lepas. Sehingga kita dapat pulih dan segar kembali baik secara fisik maupun rohaniah untuk melakukan kembali tugas-tugas pekerjaan yang telah dipercayakan Tuhan kepada kita.
Apabila Elia dicengkeram oleh kuasa kegelapan berupa ketakutan dan rasa putus-asa, maka di Luk. 8:26-39 kita dapat menyaksikan peristiwa seorang dari Gerasa sedang dikuasai oleh para setan dalam jumlah yang banyak, sehingga dia disebut “Legion”. Dengan kondisi yang demikian, dia telah kehilangan kesadaran diri dan martabatnya sebagai manusia. Itu sebabnya dia tidak pernah berpakaian dan tidak pernah tinggal dalam rumah. Dia menjadi mahluk liar dan berbahaya bagi sesamanya. Dia tidak dapat mengendalikan hidupnya sebagai seorang manusia, sebab dia telah berada dalam kendali kuasa para setan. Di Luk. 8:29 disaksikan, “karena sering roh itu menyeret-nyeret dia, maka untuk menjaganya, dia dirantai dan dibelenggu, tetapi ia memutuskan segala pengikat itu dan ia dihalau oleh setan itu ke tempat-tempat yang sunyi”. Arah dan makna hidup orang dari Gerasa tersebut telah lenyap sehingga kini dia tanpa daya terus-menerus diseret-seret oleh para setan untuk pergi ke tempat yang sunyi, yaitu tempat yang jauh dari komunikasi dan pergaulan dengan sesama manusia. Kuasa kegelapan berhasil menghancurkan kemampuan kesadaran dirinya, merendahkan sedemikian dalam nilai martabat kemanusiaannya dan mengasingkan dia dari pergaulan yang seharusnya dengan sesama manusia. Jadi kehidupan orang dari Gerasa tersebut benar-benar telah menjadi budak dari para setan. Tetapi sayang sekali tidak ada seorangpun yang berhasil menolong dan menyelamatkan orang dari Gerasa itu dari cengkeraman Legion. Apabila dia tertangkap dan diikat dengan rantai, dia pada akhirnya dapat memutuskan semua rantai dan belenggu yang mengikat dia. Tetapi tidak ada seorangpun yang berhasil untuk mengendalikan kuasa kegelapan dari para setan yang telah menguasai orang Gerasa itu. Di tengah-tengah kondisi demikian, Kristus berjumpa dengan orang Gerasa itu. Justru yang sangat menarik, orang yang kerasukan para setan itu segera tersungkur di depan kaki Tuhan Yesus untuk menyampaikan permohonan, yaitu: “Apa urusanMu dengan aku, hai Yesus Anak Allah yang mahatinggi? Aku memohon kepadaMu, supaya Engkau jangan menyiksa aku” (Luk. 8:28). Apabila selama itu tidak ada seorangpun yang berhasil mengendalikan orang dari Gerasa, kini justru sebaliknya para setan yang menguasai kehidupan orang Gerasa itu begitu ketakutan terhadap diri Tuhan Yesus seraya mereka mengakui bahwa Yesus adalah Anak Allah yang mahatinggi.
Atas perintah Tuhan Yesus, para setan yaitu Legion itu segera meninggalkan tubuh orang dari Gerasa dan mereka kemudian merasuki sekumpulan babi yang sedang mencari makan di lereng gunung. Orang dari Gerasa itu kini duduk di kaki Tuhan Yesus. Dia telah berpakaian dan sudah waras (Luk. 8:35). Tuhan Yesus telah memulihkan kesadaran dirinya secara utuh sebagai seorang manusia. Kristus juga telah memulihkan kembali martabat diri orang dari Gerasa yang selama ini telah dinistakan dan dinajiskan oleh para setan. Kristus juga telah memulihkan kehidupan orang dari Gerasa untuk siap dan mampu hidup bersama dengan sesamanya. Jadi karya Allah dan Kristus pada hakikatnya sama, yaitu senantiasa berkarya untuk melepaskan umat manusia dari cengkeraman kuasa kegelapan dan memberikan kepada kita yang percaya suatu pemulihan yang menyeluruh. Allah telah memulihkan pengharapan dan kekuatan kepada nabi Elia. Demikian juga Kristus telah memulihkan orang dari Gerasa untuk menemukan kembali kesadaran, martabat dan hubungan sosial dengan sesamanya. Namun di mana dan bagaimanakah peran kita selaku umat percaya di dalam dunia ini? Apakah kita juga berperan seperti yang telah dilakukan oleh Allah dan Kristus, yaitu hadir untuk memulihkan dan melepaskan sesama dari kuasa kegelapan dalam berbagai manisfestasinya?
Dalam realita kehidupan sehari-hari justru kita sering berperan sebagai Izebel atau Legion. Ketika orang yang kita sebagai anggap lawan mengancam rasa aman, kita segera menyebar fitnah dan teror. Kita juga kerapkali terlalu mudah untuk membenci sesama yang mengkritik dan menegur kesalahan kita. Dalam hal ini kita bertingkah-laku seperti yang telah dilakukan oleh Izebel. Kita menyalahgunakan kekuatan dan “kuasa” yang dipercayakan oleh Tuhan untuk menindas setiap orang yang tidak kita sukai. Demikian pula kita juga sering berperan seperti Legion yang merasuki orang dari Gerasa sehingga sesama kita kehilangan harga diri dan martabatnya sebagai seorang manusia. Legion artinya “yang banyak”. Dalam hidup sehari-hari kita tampil sebagai “legion” yaitu orang-orang di sekitar atau para pendukung yang secara sengaja kita koordinir dan dipengaruhi untuk membela kepentingan-kepentingan pribadi kita yang buruk. Kita sangat prihatin bahwa di negara ini sering kali massa digunakan untuk melakukan kejahatan dan tindakan kriminal yang keji. Kita ingat dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998, yaitu bagaimana kelompok-kelompok tertentu sebagai suatu massa dikoordinir untuk melakukan kejahatan masal seperti menjarah, merampok, membunuh dan memperkosa orang-orang yang tidak bersalah. Juga bagaimana kelompok-kelompok tertentu telah dikoordinir dan dilatih secara rapi untuk melakukan tindakan teror dengan membakar dan merusak gedung-gedung gereja. Selaku gereja seharusnya kita mengutuk cara-cara menghasut kelompok-kelompok agama untuk melakukan kerusuhan masal sehingga akhirnya terjadilah tragedi kerusuhan di Ambon dan Poso yang telah menelan korban begitu banyak. Semua cara tersebut pada hakikatnya merupakan metode kerja atau cara operasional dari Legion yang bertujuan untuk menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan dan rusaknya hubungan antar manusia bahkan secara tidak langsung telah menista nama Allah dan agama. Kuasa kegelapan bukan hanya terjadi dalam bentuk orang-orang yang kerasukan setan yang sifatnya pribadi atau kerasukan setan secara masal. Tetapi kuasa kegelapan juga tampil dalam berbagai peristiwa teror, pembunuhan dan pembantaian serta pemerkosaan masal. Kuasa Legion ternyata masih aktif dan terus bekerja dalam sejarah kehidupan manusia. Bagaimanakah kita selaku gereja harus bersikap dan bertindak terhadap kuasa Legion atau metode kerja dari Izebel?
Kita tidak mungkin dapat melawan kuasa kegelapan dengan kekuatan kita sendiri. Karena itu kita selaku umatNya membutuhkan pertolongan dan kuasa Allah dan Kristus untuk melawan kuasa kegelapan dalam berbagai manifestasinya. Manakala kita menyadari diri kita hanyalah sebagai agen dari Allah, maka sumber kekuatan dan pertolongan kita hanyalah bersandar di dalam kuasaNya. Sehingga ketika sesama kita lemah dan mereka saat itu sedang mengalami depresi serta mereka kehilangan pengharapan seperti yang pernah dialami oleh nabi Elia, maka kita dipanggil untuk mengkomunikasikan kasih Allah dengan kelembutan kasih Kristus. Kata dan ucapan-ucapan kita haruslah senantiasa menyejukkan dan menenangkan hati sesama atau orang-orang di sekitar kita, sehingga mereka merasa dirinya berharga dan memperoleh kekuatan serta pemulihan. Demikian pula ketika kita berhadapan dengan manifestasi kuasa “Legion” yang telah memperbudak dan menistakan sesama kita, maka kita dipanggil untuk bertindak sebagaimana yang telah dilakukan oleh Kristus. Dengan kuasa Kristus sebagai Juru-selamat dunia, kita selaku umatNya dipanggil untuk membebaskan sesama dan anggota keluarga kita dari berbagai belenggu kuasa Legion, sehingga mereka dapat menemukan kembali harga diri, martabat dan kemampuannya untuk hidup beradab dengan sesama.
Jika demikian, bagaimanakah sikap kita sekarang? Apakah kita telah berperan sebagaimana Allah yang bertindak dan berkarya untuk memberi kekuatan dan pemulihan kepada nabi Elia yang waktu itu merasa gagal dan putus-asa? Ataukah kita juga mau berperan seperti yang dilakukan oleh Kristus yaitu membebaskan dan memulihkan sesama kita yang telah diperbudak oleh kuasa kegelapan, sehingga mereka kehilangan kesadaran diri, martabat dan kemampuan sosialnya dengan orang lain. Inilah peran sesungguhnya bagi setiap orang beriman, yaitu senantiasa membawa pembebasan dan karya keselamatan Kristus di manapun mereka berada. Karena itu kita selaku umat Allah senantiasa menolak segala macam cara yang pada prinsipnya dipengaruhi oleh kejahatan dan kelicikan Izebel. Kita juga menolak dan melawan setiap upaya atau metode kerja untuk menghasut dan mempengaruhi “massa” atau kelompok-kelompok anggota masyarakat sebagaimana kuasa Legion yang berhasil memperbudak seseorang untuk melakukan kejahatan. Karena itu sebagai agen-agen perubahan Allah, apakah kita senantiasa bersedia untuk diubah dan berubah oleh kuasa Kristus. Amin.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar