Selasa, 25 September 2007

SALING MERENDAHKAN DIRI DAN MELAYANI

Renungan Kamis, 5 April 2007

Malam Getsemani (Kamis Putih)

Kel. 12:1-14, Mzm. 116:1-19, I Kor. 11:23-26, Yoh. 13:1-17; 31b-35

Kebanyakan orang ingin mengetahui masa depan yang akan terjadi dalam kehidupannya. Karena itu sejak zaman dahulu peramal yang kini sering disebut dengan “paranormal” selalu didatangi dan diminta nasihatnya. Bagaimana respon kita manakala diberitahu kapan dan bagaimana cara kita kelak akan wafat? Apakah dengan informasi tersebut kita mampu menjalani kehidupan pada hari-hari selanjutnya dengan wajar dan sejahtera? Sebagaimana juga terjadi dengan seorang hukuman yang telah mengetahui kapan dia akan dieksekusi, apakah dia mampu hidup dengan tenang dan sejahtera pada hari-hari terakhirnya? Pengetahuan tentang kapan dan bagaimana kita meninggal ternyata sangatlah berat dan akan menimbulkan perasaan tertekan walau mungkin kematian tersebut masih akan terjadi beberapa tahun lagi. Di Yoh. 13:1 menyaksikan bahwa Tuhan Yesus telah mengetahui saat kematianNya telah tiba, yaitu: “Sementara itu sebelum hari raya Paskah mulai, Yesus telah tahu, bahwa saatNya sudah tiba untuk bealih dari dunia ini kepada Bapa”. Sebagai seorang manusia, Tuhan Yesus juga mengalami perasaan sedih, gentar, gelisah dan tertekan ketika Dia menghadapi saat-saat kematianNya telah tiba.

Peristiwa pergumulan Tuhan Yesus menjelang wafatNya dirayakan gereja dengan berbagai sebutan, seperti Kamis Putih atau Malam Getsemani. Namun yang jelas pada waktu malam menjelang Dia ditangkap, diadili, dan kemudian disalibkan; Tuhan Yesus telah mengalami derita batin yang luar-biasa. Di Mat. 26:37 disebutkan Dia mengalami perasaan sedih dan gentar. Markus. 14:34 Tuhan Yesus berkata: “HatiKu sangat sedih, seperti mau mati rasanya”. Luk. 22:44 menyaksikan: “Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. PeluhNya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah”. Penderitaan Kristus menyongsong kematiaNya menggemakan nubuat dari kitab Mazmur yang berkata: “Tali-tali maut telah meliliti aku, dan kegentaran terhadap dunia orang mati menimpa aku, aku mengalami kesesakan dan kedukaan” (Mzm. 116:3). Dalam situasi demikian, orang yang sedang menderita dan tertekan dalam menghadapi kematianNya akan lebih cenderung untuk memikirkan keadaan dirinya. Dia menjadi lebih pesimistis, seluruh pikirannya hanya mengarah ke hal-hal yang negatif dan menakutkan, bersikap tertutup kepada orang lain, dan tentu saja tidak mau peduli dengan keadaan orang-orang di sekitarnya. Tetapi firman Tuhan di Yoh. 13:1 juga menggambarkan bagaimana sikap pribadi Tuhan Yesus ketika Ia tahu bahwa sebentar lagi akan mengalami kematian yang mengertikan, yaitu: “Sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-muridNya, demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya”.

Justru pada saat Tuhan Yesus mengalami situasi yang paling kritis dalam kehidupanNya, Dia tetap mampu mengasihi murid-muridNya senantiasa. Kasih Tuhan Yesus tidak berubah sedikitpun walaupun Dia sedang ketakutan, gentar, sedih dan sangat menderita. Kasih Tuhan Yesus tidak bersyarat dan tidak terpengaruh oleh situasi apapun! Bahkan yang lebih menusuk dan menyakiti perasaan Tuhan Yesus disaksikan oleh Yoh. 13:2, yaitu: “Mereka sedang makan bersama, dan Iblis telah membisikkan rencana dalam hati Yudas Iskariot, anak Simon untuk mengkhianati Dia”. Bayang-bayang kematian yang sebentar terjadi telah merupakan suatu siksaan batin yang sangat hebat. Tetapi lebih menyakitkan lagi ketika Tuhan Yesus mengetahui bahwa salah seorang muridNya yaitu Yudas Iskariot telah mengkhianati Dia dengan menyerahkan Dia kepada para imam kepala. Umumnya kita masih dapat menerima perlakuan buruk dari musuh atau orang-orang yang membenci kita. Tetapi yang paling sulit diterima adalah ketika kita harus menerima pengkhianatan keji dari orang-orang yang justru kita cintai. Dalam beberapa kasus di masyarakat dapat kita jumpai pengkhianatan dari orang-orang yang mereka cintai. Misal seorang ayah yang menjual istrinya agar dia mendapat uang, atau seorang ayah yang menjual anak gadisnya kepada seorang mucikari, upaya pembunuhan dari seorang isteri kepada suami dengan menyewa pembunuh bayaran dengan tujuan dia dapat menikah kembali. Semua bentuk pengkhianatan tersebut sangatlah keji dan sulit untuk dimaafkan. Dalam kasus Yudas Iskariot dapat disebut sebagai murid yang mengkhianati gurunya dengan berbagai motif yang saat ini masih diperdebatkan oleh para teolog. Mungkin Yudas Iskariot mengkhianati Tuhan Yesus karena motif uang, atau karena suatu tujuan politis agar Dia menunjukkan kuasaNya sebagai Messias dengan melawan para prajurit tentara Romawi saat Dia akan ditangkap.

Menjelang peristiwa kematianNya, Tuhan Yesus yang pada saat itu sedang menanggung beban penderitaan karena rasa takut dan gentar serta luka batin karena pengkhianatan salah seorang muridNya ternyata tetap tidak berubah dalam mengungkapkan kasihNya kepada murid-muridNya. Yoh. 13:4-5 menyaksikan bagaimana sikap dan tindakan Tuhan Yesus, yaitu: “Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubahNya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggangNya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-muridNya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggangNya itu". Pada saat Tuhan Yesus mengalami situasi yang sangat kritis, Dia justru menunjukkan sikap yang merendahkan diri bagaikan seorang budak yang membasuh kaki para tuannya. Dalam hal ini Tuhan Yesus bukan mencuci tangan dari para muridNya, tetapi kaki para muridNya sendiri. Untuk mencapai tujuan itu Dia harus membungkukkan diriNya serendah mungkin, lalu Dia menyeka kaki mereka dengan kain yang terikat pada pinggangNya itu. Bukankah pada saat kita mengalami kesusahan dan penderitaan, kita lebih sulit untuk peduli dan mengasihi orang lain? Apalagi pada saat kita sedang menderita, sangatlah sulit bagi kita untuk merendahkan diri di hadapan orang lain. Hal ini terjadi karena kita terdorong untuk marah dan kesal kepada orang-orang di sekitar kita. Kita merasa diri kita bernasib sangat buruk dan malang, sedang mereka yang saat itu tidak menderita kita anggap memiliki nasib yang lebih baik atau beruntung. Timbul perasaan bahwa kehidupan ini tidak adil. Kita juga merasa bahwa Allah tidak adil terhadap diri kita. Dalam situasi demikian, tidaklah mungkin bagi kita untuk merendahkan diri dan memberi kepeduliaan kasih kepada orang lain. Bahkan kita akan lebih cenderung untuk menuntut perhatian dan kepedulian dari orang-orang lain ketika kita sedang menderita. Pada saat kita sedang mengalami kesusahan, kita akan lebih cenderung mengharapkan orang-orang di sekitar kita untuk memberi penghiburan, dukungan, pengertian, dan belas-kasihan. Tetapi ketika mereka tidak peduli, maka kita menjadi lebih marah dengan kehidupan ini.

Dengan tindakan Tuhan Yesus yang merendahkan diri tersebut sebagai wujud dari kasihNya, Dia juga bermaksud untuk mengajar kepada murid-muridNya ketika Dia kelak tidak lagi bersama-sama dengan mereka. Dalam hal ini Tuhan Yesus mau mengajar kepada para muridNya agar mereka kelak senantiasa saling mengasihi dan saling merendahkan diiri. Itu sebabnya di Yoh. 13:12 Tuhan Yesus berkata: “Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu?”. Gelar yang diberikan para murid bahwa Dia adalah Guru dan Tuhan dimaknai secara baru oleh Tuhan Yesus. Dalam hal ini gelar diri Yesus sebagai Guru dan Tuhan bukanlah suatu gelar untuk menunjukkan suatu kekuasaan duniawi yang dipakai untuk memerintah dan merasa berhak memperoleh perhatian atau pujian dari orang lain. Tetapi gelar diri Yesus sebagai Guru dan Tuhan dimaknai sebagai suatu gelar untuk mengungkapkan tindakan perendahkan diri yang bersedia untuk melayani orang lain, walaupun yang dilayani ternyata tidak memberi penghargaan sebagaimana yang diharapkan bahkan mereka kemudian justru mengkhianati gurunya. Di Yoh. 13:13-15 Tuhan Yesus berkata: “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu”.

Kita sering gagal mendidik anak-anak kita, atau murid-murid dan para karyawan kita untuk bersikap rendah-hati dan saling mengasihi atau melayani. Kegagalan kita disebabkan karena kita hanya mengajar mereka dengan ajaran dan nasihat. Pada saat kita sedang mengalami kesulitan dan pergumulan hidup, kita justru memberi contoh yang buruk karena kita tidak menunjukkan kemampuan spiritual untuk berserah dalam iman. Umumnya kita merasa telah cukup berhasil dalam memberi pengajaran dan nasihat, tetapi kita sering gagal untuk menjadi teladan dalam pengertian yang sebenarnya. Sebaliknya sikap Tuhan Yesus yang mau membasuh kaki para muridNya ketika Dia sedang mengalami penderitaan yang sangat berat membawa dampak yang luar-biasa dalam kehidupan iman dan spiritualitas para muridNya. Yang mana kelak para murid saat mereka mengalami penderitaan, mereka akan terdorong atau termotivasi untuk berlaku seperti yang telah dilakukan oleh Tuhan Yesus. Dengan perkataan lain, peristiwa Kamis Putih atau Malam Getsemani bukanlah sekedar suatu peringatan secara cengeng akan penderitaan Kristus. Tetapi apakah kita yang telah merayakan peristiwa penderitaan Kristus sebelum Dia disalibkan, hidup kita makin diubah dan diperbaharui oleh Tuhan menjadi pribadi yang peduli, mengasihi dan melayani sesama walau kita sedang mengalami kesusahan dan penderitaan? Ataukah hidup kita ternyata tetap tidak berubah, yang mana melalui kesusahan dan penderitaan yang kita alami, kita justru menjadi pribadi yang semakin egois dan mementingkan diri sendiri?

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Tidak ada komentar: