Rabu, 26 September 2007

MENCARI YANG TERHILANG

Renungan Minggu, 16 September 2007


Yer. 4:11-12, 22-28; Mzm. 14; I Tim. 1:12-17; Luk. 15:1-10

Salah satu sikap Tuhan Yesus yang sangat menonjol adalah sikap dan cara pendekatanNya dalam memperlakukan orang-orang yang dianggap rendah, hina,miskin, lemah dan berdosa. Di Luk. 15:1-2 menyaksikan demikian: Para pemungut cukai dan orang-orang berdosa biasanya datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia. Maka bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya: "Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka". Tampaknya Tuhan Yesus sering memperlakukan orang-orang yang dianggap rendah dan berdosa sedemikian rupa, sehingga mereka bersedia untuk selalu ingin datang dan mendengarkan pengajaran Tuhan Yesus. Lebih dari pada itu Tuhan Yesus juga bersedia untuk makan bersama-sama dengan mereka. Padahal dalam tradisi orang Yahudi, seorang yang saleh tidak dibenarkan untuk makan bersama dengan orang yang buruk kelakuannya. Sebab makna dari tindakan makan bersama merupakan bentuk empati dan persekutuan yang intim dengan orang-orang yang duduk di sekitarnya. Sehingga ketika Tuhan Yesus bersedia duduk untuk makan bersama dengan para pemungut cukai dan orang berdosa, Dia dianggap oleh orang-orang Farisi dan ahli Taurat telah memposisikan diriNya sebagai bagian dari kehidupan dari para pemungut cukai dan orang berdosa. Itu sebabnya orang Farisi dan ahli-ahli Taurat segera menunjukkan sikap ketidaksetujuan bahkan mereka memperlihatkan sikap protes yang bernada marah ketika Tuhan Yesus ternyata mau makan bersama dengan para pemungut cukai dan orang berdosa. Di sini letak perbedaan sikap antara Tuhan Yesus dengan para pemimpin agama Yahudi pada waktu itu. Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat lebih cenderung menjaga kesucian dann kesalehan mereka dengan menjauhi orang-orang yang dianggap berdosa, rendah dan hina. Sedangkan Tuhan Yesus berkenan menjadi sahabat mereka agar mereka mengalami kasih dan pengampunan Allah.

Mungkin banyak orang mengenal Tuhan Yesus sebagai orang yang berkuasa dan mampu membuat berbagai mukjizat, tetapi juga banyak orang yang mengenal dan mengalami kehadiran Tuhan Yesus sebagai seorang sahabat karib yang setia. Seorang penulis nyanyian yang sangat terkenal dan syairnya tercantum di Kidung Jemaat 453, dengan judul: “Yesus Kawan Sejati” mengungkapkan pengalaman pribadinya dengan Tuhan Yesus. Judul asli dari nyanyian tersebut adalah “What A Friend We Have In Jesus” ditulis oleh Joseph Medlicott Scriven (1819–1886). Joseph Scriven berasal dari Irlandia, yang mana dia menulis syair “What a Friend We Have In Jesus” sebenarnya dilatar-belakangi oleh pengalaman pahitnya karena kekasihnya mati tenggelam satu hari menjelang perkawinan mereka. Dengan tragedi itu Joseph Scriven memutuskan untuk hidup seorang diri. Tetapi sesungguhnya dia tidak pernah hidup seorang diri, karena dia hidup bersama dengan Kristus yang adalah sahabat karibnya. Pada saat itulah dia tergerak untuk membuat syair dalam lagu “What A Friend We Have In Jesus” untuk dikirim ke mamanya. Tetapi waktu itu dia tidak mempunyai uang untuk mengirimkan syair lagu tersebut, sebab dia hidup begitu miskin. Di tengah-tengah kesendirian, kesedihan, kemiskinan dan penderitaannya, Joseph Scriven mengalami secara mendalam kasih Kristus. Demikian pula dengan para pemungut cukai dan orang berdosa yang datang kepada Tuhan Yesus. Mereka mau datang karena mereka merasa diterima, dihargai dan dikasihi oleh Tuhan Yesus. Dalam hal ini Tuhan Yesus mampu menyentuh kebutuhan rohani manusia yang terdalam yaitu kebutuhan untuk diterima, dihargai dan dikasihi walaupun mereka berdosa. Bagi Joseph Scriven, Kristus dialami sebagai pribadi ilahi yang setia mendampingi dan menguatkan dirinya ketika dia kehilangan orang yang dicintainya. Jadi bagi para pemungut cukai dan orang-orang berdosa serta orang-orang yang mengalami penderitaan, Tuhan Yesus dihayati sebagai sahabat yang sempurna, yaitu sahabat yang mau peduli untuk menolong dan menyelamatkan mereka. Kepada mereka, Tuhan Yesus bersedia menyatakan empati dan solidaritas kasihNya dengan bersedia untuk duduk makan bersama sebagai wujud persekutuan yang memulihkan. Dalam hal ini tidak dimaksudkan bahwa Tuhan Yesus mau solider dengan keberdosaan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa, tetapi Dia solider agar mereka dapat menemukan dan mengalami kasih Allah yang menyelamatkan. Kepada Joseph Scriven, Tuhan Yesus solider dengan penderitaan yang dialaminya agar Joseph Scriven tetap mampu hidup secara berarti dan memiliki pengharapan kepada Allah. Solidaritas kasih dan empati Kristus senantiasa bersifat memulihkan, menyembuhkan, menyelamatkan dan memberikan pengharapan baru.

Sebaliknya sikap orang Farisi dan ahli-ahli Taurat dinyatakan dengan sikap bersungut-sungut. Pengertian “bersungut-sungut” di sini berarti: “suatu pernyataan yang mengungkapkan perasaan tidak puas dan tidak bahagia terhadap suatu situasi” (a statement expressing discontent or unhappiness about a situation). Jadi dengan kata lain orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat tidak puas dan hati mereka tidak bahagia ketika mereka menyaksikan Tuhan Yesus bergaul dan duduk semeja dengan orang-orang yang dianggap hina, rendah, dan berdosa. Dengan kata lain orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat lebih “bahagia” dan “puas” manakala mereka dapat menyaksikan Tuhan Yesus mau menjauhi dan tidak bergaul dengan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Mereka memahami makna “hidup suci” dan “berkenan” kepada Allah dengan cara memutuskan segala kemungkinan komunikasi dengan orang-orang yang dianggap fasik. Dalam hal ini orang Farisi dan ahli-ahli Taurat beranggapan bahwa orang-orang berdosa hanya layak untuk menerima hukuman dan murka Allah, sehingga mereka harus menjauhi orang-orang yang dianggap berdosa agar mereka tidak menerima hukuman dan murka Allah. Dengan pola berpikir demikian, orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat tidak merasa bertanggungjawab untuk peduli atau menolong orang-orang yang dianggap berdosa dan buruk kelakuannya. Mereka sudah merasa puas dengan “kesucian” dan “hidup benar” yang telah mereka tempuh. Ternyata Tuhan Yesus mempunyai sikap dan pemahaman yang sangat berbeda dengan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Justru Tuhan Yesus dalam kesalehan, kesucian dan kasihNya; Dia terpanggil untuk peduli dan menolong setiap orang yang berdosa dan hina.

Untuk menjelaskan bagaimana sikap Allah yang mengasihi setiap orang yang berdosa, Tuhan Yesus memberikan perumpamaan tentang seorang gembala yang mau mencari seekor anak domba dengan meninggalkan 99 ekor dombanya. Perumpamaan Tuhan Yesus tersebut merupakan gambaran dari kehidupan para gembala domba pada zamannya. Tetapi sebenarnya pola kebiasaan para gembala tersebut ternyata tetap bertahan sampai sekarang. Sebab pada tahun 1957 seorang gembala bernama Muhammad ed-Dib di dekat Laut Mati yang memiliki 55 ekor kambing kehilangan salah satu kambingnya. Ketika dia mencari kambingnya yang hilang, dia justru secara kebetulan menemukan gua yang menyimpan “naskah-naskah Qumran” yang kemudian dikenal dengan penemuan “Dead Sea Scrolls” yang menggemparkan dunia. Para gembala Israel ataupun penemu tempat penyimpanan naskah-naskah Qumran pada hakikatnya menunjukkan bagaimana kesungguhan mereka untuk mencari kambing atau dombanya yang hilang. Mereka bersedia mencari di tempat-tempat yang cukup jauh dan sulit. Mereka hanya mau pulang apabila mereka telah berhasil membawa kambing atau dombanya yang hilang. Sikap para gembala tersebut dipakai oleh Tuhan Yesus untuk menggambarkan sikap kasih Allah yang terus-menerus mencari setiap umatNya yang hilang dan tersesat. Sehingga Allah berkenan mempertaruhkan “nyawaNya” ketika Dia harus mencari dan menolong umatNya yang mungkin sedang terperosok dalam sebuah jurang yang sangat terjal dan dalam. Jadi di hadapan Allah, Kristus mau menunjukkan betapa berharga dan pentingnya manusia walaupun dia hina, lemah dan berdosa. Itu sebabnya di Yes. 43:4, Allah berfirman kepada umat Israel, yaitu: “Oleh karena engkau berharga di mataKu dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau”.

Makna perumpamaan Tuhan Yesus pada prinsipnya mau menyatakan bahwa di dalam kasih dan kerahimanNya, Allah memandang semua umatNya begitu berharga; bahkan manakala umatNya jatuh di dalam dosa Allah tetap memandang berharga sehingga Dia akan tetap mencari dan menyelamatkan mereka. Tetapi sayang sekali, makna perumpamaan Tuhan Yesus tersebut sering diaplikasikan secara kurang bertanggungjawab. Karena gembala dalam perumpamaan Tuhan Yesus pergi untuk mencari seekor dombanya yang hilang dengan meninggalkan 99 ekor domba yang lain; maka kemudian ditarik kesimpulan, bahwa tugas gereja yang utama adalah mencari seorang anggota jemaat yang hilang tidak ke gereja, dengan meninggalkan semua anggota jemaat yang tetap setia. Dengan penekanan ini maka gereja Tuhan sering mengabaikan tanggungjawabnya untuk terus memelihara rohani dan iman kepada anggota jemaat yang tetap setia. Padahal maksud perumpamaan Tuhan Yesus pada prinsipnya hanya mau menyatakan bahwa Allah sangat peduli dan mengasihi umatNya walau mereka berdosa dan tersesat. Sehingga gereja Tuhan tidak dibenarkan mengabaikan dan meninggalkan sebagian besar anggota jemaatnya hanya untuk mencari seseorang atau beberapa orang yang terhilang. Sebaliknya gereja Tuhan wajib bertanggungjawab dan mengasihi setiap anggota jemaatnya tanpa terkecuali, sebab mereka semua telah ditebus dengan darah salib Kristus. Sehingga setiap anggota jemaat dapat mengalami secara personal kasih Allah yang bersedia berkorban, agar mereka juga mau mengasihi setiap sesamanya khususnya sesama yang tersingkirkan dalam pergaulan akibat kelakuan mereka yang buruk dan belum mengenal Kristus. Manakala kita telah disentuh oleh kasih Allah, maka kita juga akan terdorong untuk mengasihi setiap orang yang lemah dan berdosa, karena kita yang lemah dan berdosa juga telah dicintai oleh Allah dengan pengorbanan Kristus.

Kasih Allah yang mau mencari dan menyelamatkan yang hilang dialami secara pribadi oleh rasul Paulus. Di I Tim. 1:15-16 rasul Paulus menyaksikan pengalaman hidupnya, yaitu: “Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa, dan di antara mereka akulah yang paling berdosa. Tetapi justru karena itu aku dikasihani, agar dalam diriku ini, sebagai orang yang paling berdosa, Yesus Kristus menunjukkan seluruh kesabaran-Nya. Dengan demikian aku menjadi contoh bagi mereka yang kemudian percaya kepada-Nya dan mendapat hidup yang kekal”. Dalam pengakuan dan kesaksiannya, rasul Paulus menyatakan bahwa dirinya sebagai pribadi yang paling berdosa tetapi ternyata Kristus begitu mengasihi dia agar melalui kehidupan rasul Paulus Kristus dapat menunjukkan seluruh kesabaran dan pengampunanNya. Hal yang sama juga dialami oleh para pemungut cukai dan orang-orang berdosa yang saat itu berada di dekat Tuhan Yesus. Mereka sadar akan kekurangan dan keberdosaan mereka, tetapi pada sisi yang lain saat mereka mengenal pribadi Kristus, mereka juga mengetahui bahwa mereka tidak dibuang oleh Allah. Justru melalui Kristus, mereka dapat mengalami kasih Allah yang setia untuk mencari dan menyelamatkan setiap orang berdosa. Di Rom. 5:8 rasul Paulus berkata: “Akan tetapi Allah menunjukkan kasihNya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa”. Allah mengasihi kita, bukan ketika kita baik, benar dan saleh. Tetapi sebaliknya Allah di dalam Kristus sangat mengasihi kita justru ketika kita berdosa dan lemah. Allah di dalam Kristus adalah Allah yang penuh anugerah dan maha rahim. Dia mencintai orang berdosa agar mereka selamat dan memperoleh hidup yang kekal. Itu sebabnya mereka yang telah diampuni oleh Allah seharusnya terpanggil pula untuk mengkomunikasikan kasih dan pengampunan Allah kepada sesamanya yang masih terhilang.

Dalam praktek hidup ternyata tidaklah mudah untuk mengaplikasikan tindakan kasih Allah yang mau mencari dan menyelamatkan sesama yang hilang atau tersesat. Karena ketika kita bergaul, berempati dan bersekutu dengan sesama yang tersesat, kita juga dapat jatuh dalam sikap yang kompromistis dengan membenarkan tindakan-tindakan mereka yang tidak terpuji. Dalam solidaritas kasih kita kepada mereka, kita wajib menjaga integritas diri. Sebab bilamana kita lupa diri, maka kita dapat terlalu mengidentifikasikan diri dengan mereka sehingga kita dapat terjatuh dalam sikap yang tidak kritis, yang mana akhirnya kita juga bersikap dan bertindak seperti mereka. Itu sebabnya di I Kor. 15:33 rasul Paulus berkata: “Jangan kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik”. Ini berarti untuk mencari dan menyelamatkan sesama yang hilang kita membutuhkan integritas diri sedemikian rupa sehingga spiritualitas kita tersebut tetap mampu hidup murni dan kudus. Tuhan Yesus dihormati dan sangat berwibawa bagi orang-orang berdosa yang berada di dekatNya karena mereka melihat kesucian dan kasihNya yang tulus sehingga mereka ingin terus belajar dan mendengarkan setiap pengajaranNya. Tetapi ketika kita hanya ingin menyenangkan hati orang banyak atau orang-orang di sekitar kita, sesungguhnya kita telah kehilangan otoritas dan kuasa kasih Allah di hadapan mereka. Sehingga mereka berani memperlihatkan segala perbuatan dan tingkah-lakunya yang buruk di depan kita, sebab mereka beranggapan bahwa kita memiliki watak dan kelemahan yang sama dengan diri mereka. Dalam kondisi yang demikian, kita telah gagal total memberikan perubahan spiritual kepada mereka; bahkan sebaliknya kita sendiri telah diubah menurut standar dunia ini.

Dengan demikian makin menjadi jelaslah bahwa solidaritas kasih yang tidak didasari oleh integritas diri, yaitu yang ditandai oleh kesalehan dan kemurnian hidup menjadi suatu malapetaka dalam pelayanan. Kita dapat melihat dalam beberapa contoh yang terjadi dalam pelayanan gerejawi. Saya pernah menjumpai seorang gadis yang begitu berantusias untuk memberitakan Injil kepada teman yang tidak seiman, tetapi akhirnya terjadi hal yang sebaliknya. Dia kemudian memilih untuk meninggalkan iman Kristen dan menyangkal Kristus karena dia lebih mengikuti perasaan hatinya untuk hidup bersama dengan pria tersebut. Juga kasus seseorang yang pernah tergerak oleh kasih Kristus sehingga dia ingin melayani dengan mencari dan menyelamatkan para pemabuk dan pengguna narkoba, justru dia sendiri akhirnya jatuh menjadi pemabuk dan penjual narkoba. Jadi makna tindakan kasih Allah yang mencari dan menyelamatkan yang hilang pada hakikatnya tidak pernah sedikitpun mengubah jati diri Allah untuk berkompromi dengan dosa dan kejahatan manusia. Demikian pula yang dilakukan oleh Tuhan Yesus, kasihNya tetap dinyatakan beriringan dengan kekudusanNya. Jika demikian, bagaimana dengan kehidupan kita selaku jemaat Tuhan yang juga dipanggil untuk mencari dan menyelamatkan sesama yang tersesat? Apakah kita tetap mampu mempertahankan integritas iman dan kasih kita di tengah-tengah situasi yang buruk dan penuh godaan? Marilah kita seperti Kristus yang memiliki kasih dengan mau peduli mencari dan menyelamatkan sesama di sekitar kita yang tersesat dengan tetap menjaga integritas dan kesetiaan iman kita. Amin.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Tidak ada komentar: