Renungan, 22 Juli 2007
Amos 8:1-12, Mzm. 52, Kol. 1:15-28, Luk. 10:38-42
Salah satu hasil arkeologis dari makam Talpiot tahun 1980 ditemukan beberapa osuarium (peti untuk menyimpan tulang dari gamping) dengan tulisan dengan nama “Maria” yang ditulis dalam bahasa Aram. Kemudian juga ditemukan tulisan di osuarium lain dengan nama “Mariamene e Mara (yang kurang lebih berarti: “Maria sang Tuan”). Dalam kitab Injil harus kita akui ditemukan beberapa nama “Maria”. Demikian pula di Luk. 10:38-39 dapat dijumpai nama Maria yang bersaudara dengan Marta. Apabila kita bandingkan dengan Yoh. 11:1, ternyata Maria dan Marta adalah saudara dari Lazarus yang mana mereka tinggal di Betania. Jadi temuan hasil arkeologis tersebut perlu kita cermati secara hati-hati dan obyektif tanpa menutup pintu untuk penyelidikan dan pengujian ilmiah lebih lanjut. Spekulasi atau perkiraan dari beberapa pihak dalam penemuan arkeologis di makam Talpiot tersebut perlu diuji secara cermat, kritis dan komprehensif. Iman Kristen pada hakikatnya tidak boleh menghalangi setiap penelitian ilmiah, tetapi kita juga tidak pernah menyetujui metode kesimpulan yang serba terburu-buru dan subyektif seakan-akan penemuan makam di Talpiot sudah pasti merupakan makam Tuhan Yesus dan keluargaNya.
Namun sangat menarik, bahwa nama dari tokoh dari “Maria” umumnya diposisikan dengan citra yang selalu baik, misalnya nama untuk Maria ibu Yesus, Maria ibu Yakobus Muda dan Yoses, Maria isteri Klopas yang berada di dekat salib Kristus bersama dengan Maria Magdalena yang juga menjadi saksi pertama dari kebangkitan Kristus. Demikian pula dengan bacaan kita di Luk. 10:38-42 cenderung memposisikan Maria dari Betania secara positif dibandingkan dengan Marta, saudaranya. Di Luk. 10:39 disaksikan sebagai berikut: “Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataanNya, sedang Marta sibuk sekali melayani. Lalu dikisahkan bagaimana kemudian Marta merasa kesal dengan Maria, sehingga dia menegur Tuhan Yesus dengan berkata: “Tuhan, tidakkah Engkau peduli bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku” (Luk. 10:40). Bagaimana respon Tuhan Yesus terhadap ucapan Marta yang merasa kesal itu? Tuhan Yesus berkata: “Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya” (Luk. 10:42). Dalam perikop tersebut tampak dengan jelas bahwa Injil Lukas menyebutkan Maria dari Betania dianggap memiliki sikap yang benar dibandingkan Marta saudaranya, sebab dia memilih duduk dekat kaki Tuhan Yesus dan mendengarkan pengajaranNya. Tuhan Yesus memuji Maria sebab dia telah memilih bagian yang terbaik, dibandingkan dengan Marta yang hanya sibuk melayani di dapur untuk menyiapkan makanan bagi Tuhan Yesus dan para muridNya.
Namun menurut tradisi dan adat kesopanan dunia Timur, bukankah yang dilakukan oleh Marta yang sibuk mempersiapkan makanan justru merupakan sikap yang terpuji? Sebaliknya yang dilakukan oleh Maria sebagai seorang wanita dapat dianggap kurang sopan karena berani mendekati dan berbicara dengan tamu pria. Jadi mengapa Tuhan Yesus memuji Maria yang hanya duduk di dekat kakiNya, dan Dia justru kemudian menegur Marta yang sibuk menyiapkan hidangan makanan bagi para tamunya? Dari sudut tertentu, bukankah yang dilakukan oleh Maria selain dia kurang pantas sebagai wanita, juga dia dapat dianggap kurang tanggap terhadap tugasnya untuk membantu saudaranya Marta yang sibuk menyiapkan hidangan bagi para tamunya? Dalam hal ini tidak dapat disangkal dari sudut adat-istiadat dan kesopanan dunia Timur, sikap Marta justru dinilai lebih tanggap terhadap kebutuhan para tamunya, yaitu Tuhan Yesus dan para muridNya. Sebab para tamu tersebut tentunya saat itu sedang sangat haus dan lapar setelah sepanjang hari mereka berjalan jauh dan memberitakan Injil di berbagai tempat. Tetapi mengapa Tuhan Yesus justru memuji Maria yang tidak bekerja apa-apa? Bukankah Maria waktu itu hanya duduk dekat kaki Tuhan Yesus dan mendengarkan Dia mengajar?
Kitab Injil-Injil senantiasa menyaksikan bagaimana orang banyak selalu berbondong-bondong menemui dan mengikut Tuhan Yesus, sehingga tidaklah mudah bagi seseorang untuk dekat kaki Tuhan Yesus (bandingkan Luk. 5:18-19; 9:37). Tetapi kini Tuhan Yesus yang selalu dicari dan dihormati serta dipercaya sebagai Messias oleh orang banyak itu tiba-tiba mau datang dan masuk ke dalam rumah kita. Apakah yang akan kita lakukan seandainya kita waktu itu berada di rumah Maria dan Marta? Tentunya kita tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk mendekati Tuhan Yesus dan duduk dekat kakiNya seraya kita secara intensif mendengarkan seluruh perkataan dan pengajaranNya. Sebab ketika seseorang dapat duduk dekat kaki Tuhan Yesus dan dapat mendengar seluruh perkataan serta pengajaranNya merupakan sebuah kehormatan yang tertinggi yang boleh kita alami dalam kehidupan ini. Demikian pula yang dilakukan oleh Maria. Dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan langka untuk duduk dekat kaki Tuhan Yesus. Maria terus menyimak seluruh ucapan dan pengajaran Tuhan Yesus di rumahnya. Selain itu terlepas dari masalah adat-istiadat yang saat itu kurang mendukung seorang wanita untuk duduk dekat seorang Rabbi, sebenarnya Maria telah berperan sebagai seorang tuan rumah yang baik dan ramah. Sebab seorang tamu merasa dihormati bukan karena dia disediakan oleh makanan dan minuman, tetapi disambut dan disambut dengan ramah. Kita merasa tersinggung ketika sebagai tamu kita hanya disediakan makanan dan minuman, tetapi tuan rumah tersebut ternyata tidak sempat menemui tamunya hanya karena dia terlalu sibuk di dapur. Bagaimanakah perasaan para penatua dan pendeta yang datang melawat anggota jemaatnya yang sibuk menyiapkan berbagai makanan dan minuman, tetapi tuan rumah tersebut sama sekali tidak sempat berbicara dan menemui para tamunya?
Sikap kita sering bertindak seperti Marta yang gemar dengan berbagai peraturan adat-istiadat dan tradisi yang dipegang oleh anggota masyarakat atau kehidupan gereja, tetapi kita kurang tanggap untuk memilih yang terbaik menurut pandangan Tuhan. Karena itu ketika seseorang sedikit melalaikan tradisi dan kebiasaan adat-istiadat gerejawi yang berlaku, kita sering cepat menegur dan kesal seperti yang dilakukan oleh Marta. Tetapi ternyata kita sendiri melalaikan perjumpaan personal dengan Tuhan dan sesama. Pola dari sikap Marta adalah cermin dari sikap tradisionalisme dan ritualisme yang kaku serta kering dengan pengalaman yang personal dengan Tuhan. Sedang sikap Maria sepertinya kurang ketat dengan segala bentuk tradisi dan ritualisme, tetapi sesungguhnya dia mampu mengekspresikan ungkapan hati yang penuh kehangatan dan kerendahan hati untuk terus belajar akan kebenaran ilahi. Dalam konteks ini di manakah jemaat kita berada? Apakah jemaat kita lebih bercorak tradisionalisme dan ritualisme yang serba ketat? Ataukah jemaat kita pada prinsipnya tetap mampu menghargai nilai-nilai tradisi dan ritual-kebaktian yang ada tetapi jemaat kita juga lebih menekankan kepada pengalaman hubungan yang langsung dan pribadi dengan Tuhan dan sesamanya? Jemaat-jemaat Kristen sepanjang zaman sering terjebak pada 2 sikap ekstrim, yaitu: pada satu segi gereja ingin menempatkan tradisi dan ritualisme sebagai sesuatu yang mutlak dan tidak terubahkan sehingga “ekkesiologi” gereja tersebut tidak mampu memberi tempat kepada pengalaman pribadi dengan Tuhan dan sesamanya. Dan pada segi lain muncul sikap gereja yang terlalu menonjolkan pengalaman personal dengan Tuhan tanpa mengindahkan nilai-nilai tradisi dan prinsip ritual yang seharusnya. Kedua sikap tersebut sebenarnya bukan pilihan yang terbaik menurut pandangan Tuhan. Sebab pada hakikatnya Tuhan menghendaki suatu ibadah yang tidak bercela, kudus dan benar; tetapi juga Tuhan menghendaki agar jemaatNya mengedepankan kepedulian dan mampu bersikap adil serta kasih kepada sesamanya. Sikap ibadah dan praktek hidup sehari-hari haruslah senantiasa integral.
Di kitab Amos kita dapat melihat sikap umat Israel yang sangat mengagungkan tradisi, adat-istiadat dan ritual keagamaan. Tetapi pada pihak lain mereka ternyata mengabaikan nilai-nilai keadilan, bahkan mereka tidak segan untuk melakukan kekerasan terhadap sesamanya yang lemah. Di Amos 8:3 mereka gemar menyanyikan “nyanyian-nyanyian di tempat suci”, tetapi pada sisi yang lain mereka juga bersikap sewenang-wenang, yaitu: menginjak-injak orang miskin dan membinasakan orang sengsara (Amos 8:4), berbuat curang dengan membuat neraca palsu (Amos 8:5), dan menipu orang miskin secara licik (Amos 8:6). Mungkin umat Allah dengan sikap spiritualitas yang demikian sangat kritis dan orthodoks dengan berbagai usulan perubahan liturgi dan nyanyian. Sebab mereka mungkin sangat gemar dengan pola liturgi yang orthodoks dan nyanyian dalam bentuk “hymne”, tetapi pada sisi lain mereka ternyata gemar melakukan ketidakadilan kepada sesamanya. Mereka justru menginjak-injak orang miskin dan melakukan kekerasan kepada orang yang sedang sengsara. Juga mereka berusaha memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya dengan cara menipu orang miskin habis-habisan sampai orang miskin tersebut terpaksa menjual “sepasang kasutnya” dan membeli terigu rosokan (Amos 8:6). Pada masa kini pengertian “orthodoksi” liturgi dan nyanyian di beberapa kalangan gereja berubah tekanannya. Sebab makna “orthodoksi” ritual dan nyanyian pada masa kini justru dihayati sebagai pola liturgi yang bebas tanpa aturan dan nyanyian yang serba gegap gempita tetapi spiritualitas iman tetap tidak berubah. Mereka gemar dan sangat antusias untuk menyanyikan nyanyian yang gegap gempita tetapi spiritualitas mereka miskin dengan kasih dan keadilan kepada sesamanya. Kedua bentuk “orthodoksi” (yang sangat “terstruktur” maupun yang “bebas tidak terstruktur”) tersebut tampaknya sama-sama memiliki prinsip “teologis” yang cukup beralasan, tetapi mereka tidak mampu memberi tempat dan upaya yang konkrit bagi pertumbuhan spiritualitas yang dikehendaki oleh Tuhan. Padahal makna ibadah yang benar haruslah senantiasa membawa pertobatan dan daya perubahan spiritualitas yang signifikan bagi setiap orang yang melakukannya. Sebab jikalau tidak ada perubahan dan pertobatan dalam kehidupan umat, maka firman Tuhan berjanji: “Aku akan mengubah perayaan-perayaanmu menjadi perkabungan, dan segala nyanyianmu menjadi ratapan” (Amos 8:10).
Kehidupan jemaat tidak boleh terlalu sibuk dan gemar menyiapkan berbagai hidangan rohani kepada para peziarah iman dengan menu utama berupa peraturan dan nilai-nilai tradisi serta ritual; tetapi seharusnya kehidupan jemaat mampu mengalami perjumpaan yang sangat pribadi dengan Kristus, sumber kebenaran dan hikmat agar umat Tuhan mampu bersikap adil dan konsisten dalam membela setiap orang tertindas. Sikap inilah yang dikehendaki oleh Tuhan. Sebab sikap ini menunjukkan makna “mempermuliakan nama Tuhan” yang bukan hanya terjadi dalam ritual liturgis, tetapi juga nyata dalam kehidupan sehari-hari bersama dengan sesamanya. Dalam konteks ini umat Allah sungguh-sungguh dapat mengalami makna perdamaian dengan Allah dan sesama. Rasul Paulus berkata: “dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diriNya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus” (Kol. 1:20). Jadi selaku gereja Tuhan, kita dipanggil untuk mewujudkan arti dari karya Kristus yang telah memperdamaikan segala sesuatu baik yang ada di bumi maupun yang ada di sorga dengan ungkapan ibadah yang senantiasa segar, inspiratif dan hidup; serta kehidupan spiritualitas yang kaya dengan kasih kepada setiap mahluk dan sesama. Dengan sikap hidup dan spiritualitas yang demikian, saat itu kita telah menempatkan Kristus sebagai kepala tubuh dalam arti yang sebenarnya. Sehingga Kristus dalam kehidupan jemaat tidak lagi dipahami hanya sebagai “Kristus dogmatis”, “Kristus doktriner” atau “Kristus organisatoris gerejawi” belaka. Tetapi Kristus yang sungguh-sungguh hidup dalam pengalaman gerejaNya, sebab gerejaNya bersedia untuk menjadi tangan dan kaki serta mulut dari Kristus yang membela setiap orang yang lemah dan tertindas.
Jika demikian, bagaimanakah sikap hidup saudara? Apakah kita mampu memilih yang terbaik sebagaimana Maria telah melakukannya? Ataukah kita lebih mencenderung menjadi gereja yang sangat sibuk seperti Marta dengan berbagai peraturan, adat-istiadat, dan ritualisme tetapi pada sisi lain kita menjadi pribadi yang kurang hangat dalam kasih dengan Allah dan sesama kita? Sehingga dalam kehidupan sehari-hari kita sering bersikap kurang peka dengan penderitaan dan ketidakadilan yang terjadi di sekeliling kita. Bahkan hidup kita sering menjadi pribadi yang mendua, yaitu dari tampilan luar kita tampak religius dalam ibadah, tetapi dalam kehidupan nyata kita menjadi penindas kepada sesama kita. Jadi tindakan yang berkenan kepada Allah, manakala kehidupan kita memuliakan namaNya dalam berbagai kegitan ibadah yang diselenggarakan secara gerejawi. Tetapi juga tindakan yang sangat berkenan kepada Allah ketika kita juga memuliakan namaNya dengan kesediaan untuk menjadi alat di tangan Allah, yaitu ketika kita mau menegakkan keadilan dan menjadi pembela bagi setiap orang yang tertindas. Amin.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar