Renungan Minggu, 17 Juni 2007
I Raj. 21:1-21, Mzm. 5:1-8, Gal. 2:15-21, Luk. 7:36-8:3
Manakala seseorang tinggal di suatu wilayah perumahan kumuh dan miskin sehingga mereka harus hidup saling berdesak-desakan, bisa timbul suatu kerinduan agar dia dapat hidup di tengah-tengah suatu perumahan yang eksklusif dan cukup mewah. Sebab bila kita tinggal di suatu perumahan kumuh dan miskin, bukankah akan sering terjadi akan timbul berbagai permasalahan yang sangat rumit karena semua pihak harus beraktivitas di tengah-tengah lahan yang serba terbatas? Sebaliknya apabila kita tinggal di perumahan yang eksklusif maka kita akan lebih leluasa beraktivitas dan memiliki “privacy” diri kita lebih terjamin. Apalagi jika kita dapat bertetangga dengan seorang pejabat penting, kita juga merasa bangga dan ikut merasa menjadi orang penting. Mungkin orang-orang Israel waktu itu merasa iri dan menganggap Nabot sebagai orang beruntung sebab dia dapat bertetangga dengan seorang raja. Kebun anggurnya di Yizreel berada tepat di samping istana Ahab, raja Samaria. Tetapi ternyata hidup bertetangga dengan seorang raja menimbulkan suatu persoalan besar, sebab Ahab menginginkan kebon anggur Nabot. Di I Raj. 21:3, Nabot memberi jawaban kepada Ahab, yaitu: “Kiranya Tuhan menghindarkan aku dari pada memberikan milik pusaka nenek moyangku kepadamu!” Jawaban Nabot tersebut sebenarnya didasarkan pada hukum Taurat, yaitu: “Sebab milik pusaka orang Israel tidak boleh beralih dari suku ke suku, tetapi orang Israel haruslah masing-masing memegang milik pusaka suku nenek moyangnya” (Bil. 36:7). Jadi Nabot tetap tidak mau menjual kebun anggurnya karena dia tidak mau warisan nenek moyangnya beralih kepada suku lain walaupun orang tersebut kini berjabatan sebagai raja dan penguasa umat Israel.
Penolakan Nabot tersebut berakibat Ahab menjadi kesal dan gusar. Tetapi sayang sekali Ahab tidak memiliki istri yang cakap sebagaimana dikisahkan di Ams. 31:1-31. Sebab istri yang cakap memiliki kepribadian, yang salah satunya dia memiliki sifat yaitu: “Ia memberikan tangannya kepada yang tertindas, mengulurkan tangannya kepada yang miskin” (Ams. 31:20). Istri Ahab, yaitu Izebel justru seorang wanita yang berwatak sangat jahat dan licik. Izebel kemudian menyusun rencana jahat untuk mencelakai dan membunuh Nabot dengan tipu-muslihat. Nabot dituduh telah mengutuk Allah dan raja, sehingga dia akhirnya mati secara mengenaskan karena dia dihukum rajam. Setelah Nabot mati, maka Ahab dan Izebel dapat merebut kebun anggurnya dengan leluasa. Walau Ahab dan Izebel telah berkuasa dan sangat kaya-raya, mereka tetap serakah dan ingin merebut hak milik orang lain. Kekayaan yang berlimpah-limpah ternyata tidak menjamin seseorang mampu bersyukur dan hidup bahagia. Sebagaimana halnya gaji yang tinggi dan fasilitas yang berlimpah tidak menjamin seseorang untuk tidak bertindak korup. Demikian pula dengan Ahab walaupun dia pada waktu memiliki kekuasaan yang tertinggi sebagai seorang raja dan kekayaan yang sangat berlimpah, dia tetap merasa kurang dan ingin menguasai hak milik orang lain secara keji dengan cara memfitnah dan membunuh Nabot. Keserakahan raja Ahab makin dipersubur oleh kelicikan dan kejahatan dari isterinya yaitu Izebel. Karena itu I Raj. 16:30-31 memberi kesaksian, yaitu: “Ahab bin Omri melakukan apa yang jahat di mata TUHAN lebih dari pada semua orang yang mendahuluinya. Seakan-akan belum cukup ia hidup dalam dosa-dosa Yerobeam bin Nebat, maka ia mengambil pula Izebel, anak Etbaal, raja orang Sidon, menjadi isterinya, sehingga ia pergi beribadah kepada Baal dan sujud menyembah kepadanya”.
Apabila di I Raj. 21:5-16 kita melihat sepak terjang seorang wanita bernama Izebel yang sangat licik dan jahat; maka di Luk. 7:36-50 kita juga dapat menjumpai pula seorang wanita yang berdosa. Hanya bedanya di I Raj. 21:5-16 Izebel tidak pernah merasa menyesal dan bertobat dari berbagai dosanya, bahkan dia terus melanjutkan dosa-dosanya yang keji; maka di Luk. 7:36-50 wanita yang berdosa itu datang kepada Tuhan Yesus dengan penuh penyesalan dan kesediaan untuk bertobat. Wanita tersebut secara sengaja membawa sebuah buli-buli pualam berisi minyak wangi, dan sambil menangis ia pergi berdiri di belakang Tuhan Yesus dekat kakiNya, lalu membasahi kakiNya itu dengan air matanya dan menyekanya dengan rambutnya, kemudian ia mencium kakiNya dan meminyakinya dengan minyak wangi yang dibawanya itu (Luk. 7:38). Injil Yohanes memberi sedikit keterangan nilai minyak wangi narwastu murni yang telah ditumpahkan oleh wanita tersebut. Di Yoh. 12:5 disebutkan nilai minyak wangi narwastu tersebut sekitar 300 dinar yang nilainya seperti orang yang bekerja 1 tahun, sebab 1 dinar adalah upah untuk satu hari kerja. Dia telah mengumpulkan seluruh tabungannya selama satu tahun, dan dia kemudian membeli sebuah buli-buli pualam dengan minyak narwastu murni untuk ditumpahkan di kaki Tuhan Yesus. Mungkin harta miliknya yang berharga hanyalah tabungan uang yang telah dikumpulkan selama satu tahun. Tetapi kini satu-satunya harta miliknya tersebut diberikan secara tulus kepada Tuhan Yesus sebagai tanda penyesalan atas dosa-dosa dan kesalahan yang pernah ia perbuat sebelumnya. Dengan hatinya yang hancur karena penyesalan, wanita tersebut memberikan seluruh miliknya yang berharga kepada Tuhan. Sebaliknya sikap Izebel, dengan berbagai dosa-dosa yang pernah diperbuatnya dia ingin lebih memperkaya diri dengan merebut harta milik bahkan membunuh orang yang tidak bersalah yaitu Nabot. Izebel memang kaya dalam materi tetapi dia sangat miskin dalam kasih bahkan dia sangat tega membunuh seorang yang tidak bersalah. Sebaliknya wanita berdosa yang datang kepada Tuhan Yesus, sangat miskin dalam materi tetapi ternyata dia sangat kaya dalam kasih.
Wanita berdosa yang datang kepada Tuhan Yesus dengan penuh penyesalan dan memberikan segala hal yang paling berharga sama sekali bukan karena dia melakukan kasihnya kepada Tuhan Yesus karena ketaatan kepada hukum Taurat. Dia memang seorang wanita Yahudi yang telah mewarisi tradisi dan ajaran untuk memberlakukan hukum Taurat sebagai firman Allah. Namun ketika dia berhadapan dengan diri Tuhan Yesus, dengan tulus dia mampu menyadari semua kesalahan dan dosanya sehingga dengan penuh penyesalan dia datang kepada Tuhan Yesus. Sambil mengakui dosanya, ia menangis dan menumpahkan buli-buli minyak narwastu ke kaki Tuhan Yesus. Jadi dapat dikatakan bahwa tindakan kasih dari wanita berdosa tersebut lahir karena imannya kepada Tuhan Yesus. Jadi manakala dia menyesali semua dosa dan kesalahannya dengan memberikan harta miliknya yang berharga kepada Tuhan Yesus sama sekali bukan karena didorong untuk melakukan hukum Taurat. Seandainya dia didorong untuk melakukan peraturan hal pelanggaran terhadap hukum Taurat, pastilah penyesalan dan pertobatannya tidak lahir dari hatinya yang paling dalam. Mungkin setelah itu dia tidak akan berani mengulangi kesalahannya, tetapi alasan tindakannya adalah karena dia takut terhadap sanksi hukum Taurat, yaitu setiap orang berzinah akan dihukum rajam sampai mati (Ul. 22:22-24). Tentunya makna pertobatan yang lahir karena rasa takut sangat berbeda esensinya dengan pertobatan yang lahir karena iman. Sebab sikap pertobatan yang lahir karena rasa takut terhadap sanksi hukum Allah tidak akan pernah mampu membawa manusia kepada kasih yang tulus dan lahir dari kesadaran hatinya yang paling dalam kepada Tuhan. Sebaliknya sikap pertobatan yang lahir karena iman akan menghasilkan tindakan kasih yang lebih tulus, lebih eksistensial, lebih menyentuh dan penuh makna sebagaimana yang telah dilakukan wanita berdosa yang datang kepada Tuhan Yesus.
Kerapkali agama-agama dalam pola pembinaan dan pengajarannya hanya menekankan segi yuridis hukum-hukum Allah. Sehingga dalam merespon kesalahan dan dosa yang terjadi di kalangan umat, mereka hanya menerapkan pendekatan “punishment” (hukuman atau sanksi) kepada yang dianggap bersalah. Bahkan agar yang dianggap berdosa dapat jera, beberapa pihak membuat program-program yang dianggapnya sebagai bijaksana dan melakukan “shock-therapy” dengan jalan menakut-nakuti orang berdosa dengan alam gaib, keadaan kubur yang mengerikan, atau dapat melihat jin yang sangat menakutkan. Apabila wanita berdosa tersebut mau datang kepada Tuhan Yesus bukan karena dia telah ditakut-takuti terlebih dahulu dengan hukuman api neraka atau bayang-bayang hukum rajam. Wanita berdosa tersebut mau datang kepada Tuhan Yesus karena dia melihat dan mengalami kehadiran Kristus yang menyejukkan, penuh belas-kasihan dan memancarkan rahmat pengampunan dari Allah. Dia sangat menyesal dan sungguh-sungguh mau bertobat dari kesalahannya karena kasih Allah yang dipancarkan oleh Tuhan Yesus. Itu sebabnya dia mau merendahkan diri di hadapan Tuhan Yesus yang waktu itu juga disaksikan oleh orang banyak. Dia tidak malu menangis di depan kaki Tuhan Yesus, karena dia yakin akan kemurahan dan kasihNya. Ketika pada akhirnya Tuhan Yesus mengampuni seluruh kesalahan dan dosanya, dia memperoleh kekuatan untuk hidup baru sehingga dia dapat mengalami perubahan yang menyeluruh dengan meninggalkan kehidupannya yang lama. Imannya kepada Kristus memampukan dia untuk menemukan rahmat Allah sehingga dia dapat mengungkapkan penyesalan atas dosa-dosanya sekaligus kasihnya yang tulus.
Jika demikian kita dapat melihat bagaimana kekuatan iman kepada Kristus yang mampu mengubah kehidupan seseorang yang semula terbelenggu oleh kuasa dosa. Jadi seharusnya iman kepada Kristus merupakan iman yang transformatif, yaitu iman yang memiliki daya untuk berubah dan diubah oleh rahmat Tuhan. Karena itu di Gal. 2:19-20, rasul Paulus mengungkapkan pengalaman imannya kepada Kristus demikian: “Sebab aku telah mati oleh hukum Taurat untuk hukum Taurat, supaya aku hidup untuk Allah. Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku”. Pengalaman kehidupan baru yang telah dialami oleh rasul Paulus dapat terjadi, bukan karena didasarkan pada ketaatan dia kepada hukum Taurat, tetapi karena imannya kepada Kristus yang telah mengasihi dan menyerahkan diriNya untuk dia. Sikap imannya kepada Kristus yang memampukan rasul Paulus untuk meninggalkan dan membuang kehidupannya yang lama. Sehingga dia akhirnya dapat berkata, “Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku”. Ketaatan seseorang pada hukum dan perintah-perintah Allah yang dilakukan tanpa iman hanya melahirkan para pribadi yang dogmatis dan doktriner. Sebaliknya ketika iman yang didasarkan kepada tindakan kasih yang tulus dengan menyambut rahmat Allah akan memampukan dia untuk kemuliaan Allah dan tidak lagi hidup bagi dirinya sendiri. Dalam naungan kasih Allah yang melingkupi dia, seseorang mengalami kematian dengan kehidupan lamanya, dan pada saat yang sama dia menemukan suatu kehidupan baru yang lebih bermakna.
Namun timbul pertanyaan, mengapa raja Ahab sebagai orang percaya melakukan apa yang jahat di hadapan Tuhan walaupun sebenarnya dia mengetahui hukum-hukum Allah? Apabila hal mentaati hukum atau perintah Allah tidak didasarkan pada sikap iman dan kasih merupakan tindakan yang tidak berkenan di hadapan Allah, apalagi bila seseorang secara sengaja melawan atau melanggar hukum-hukum Allah. Dalam hal ini Ahab tidak hidup berdasarkan iman dan kasih kepada Tuhan. Ahab lebih mendengarkan perkataan dan nasihat isterinya, yaitu Izebel sehingga dia berlaku jahat dan keji. Problem yang sering terjadi dalam kehidupan jemaat adalah munculnya fenomena dari para suami yang terlalu dikendalikan oleh nasihat isterinya yang tidak benar, atau sebaliknya para isteri yang dikendalikan oleh nasihat yang salah dari para suami mereka. Sehingga keluarga mereka mengalami masalah yang sangat rumit dan akhirnya hancur berantakan. Seharusnya baik para suami maupun para isteri secara tulus tunduk kepada kehendak Allah dan bersedia memberlakukan firman Tuhan yang didasarkan oleh sikap iman dan penuh kasih. Ketika pasangan suami atau isteri berlaku tidak taat kepada kehendak Allah, dan dalam praktek hidup mereka lebih tergantung serta mencintai pasangannya melebihi kasihnya kepada Tuhan pastilah jalan hidup mereka akan tersesat dan mengalami kebinasaan. Jenis keluarga yang demikian tidak mungkin dapat menjadi keluarga beriman dan yang mengasihi Tuhan dengan seluruh hati mereka. Sebaliknya keluarga yang demikian akan menimbulkan kesengsaraan dan luka-luka batin kepada anak-anak mereka sehingga mereka kelak pada waktu dewasa tidak dapat mengalami kasih dan pengampunan dari Kristus. Jika demikian marilah kita belajar dari kasus keluarga Ahab agar kita tidak menjadikan pasangan kita sebagai yang mengatur dan menentukan hidup kita, tetapi menjadikan Tuhan sebagai sumber kebenaran dan sumber kebijaksanaan dalam kehidupan kita. Dan apabila dalam perjalanan hidup kita ternyata kita jatuh dan bersalah kepada Tuhan, marilah kita tidak mengeraskan hati tetapi sebaliknya bersikap seperti wanita berdosa yang dengan rendah-hati dan sikap bertobat datang kepada Tuhan Yesus. Pastilah Tuhan akan mengampuni semua kesalahan dan dosa kita, karena Dia adalah Allah yang pengasihi dan penyayang. Bagaimanakah sikap saudara dan keluarga saudara? Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar