Rabu, 26 September 2007

AKAR SEGALA KEJAHATAN ADALAH CINTA UANG

Renungan Minggu, 30 September 2007


Yer. 32:1-3, 6-15; Mzm. 91:1-16; I Tim. 6:6-19; Luk. 16:19-31

Penghayatan hidup sebagai orang Kristen sering berada dalam situasi yang paradoksal. Pada satu pihak, prinsip utama dari iman Kristen adalah kita wajib mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal-budi kita (Mat. 22:37-38); tetapi pada pihak lain kita dipanggil untuk bekerja dan mencari nafkah yang kita tahu adalah mencari uang (II Tes. 3:10). Paradoksal yang kedua adalah ucapan Tuhan Yesus di Luk. 16:13, yaitu: “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon”. Seakan-akan ucapan Tuhan Yesus tersebut sekilas mau menyatakan bahwa kita tidak dapat mengabdi kepada Allah ketika kita mencari secara sungguh-sungguh nafkah atau uang dalam kehidupan ini. Mungkin atas dasar pemikiran sekilas tersebut muncul suatu anggapan bahwa orang Kristen yang saleh adalah mereka yang hanya berdoa, membaca firman Tuhan dan memuji namaNya, sehingga mereka tidak memiliki waktu untuk bekerja mencari nafkah/uang. Benarkah ucapan Tuhan Yesus memiliki maksud yang demikian? Bila benar bahwa orang yang saleh atau berkenan di hadapan Allah adalah mereka rajin berdoa dan memuji nama Tuhan, maka dapat dimengerti apabila dalam perumpamaan Tuhan Yesus di Luk. 16:19-31 Allah kemudian lebih membenarkan sikap Lazarus yang hidup miskin, dan menghukum orang kaya tersebut karena dia memiliki banyak kekayaan. Dalam konteks pemikiran yang demikian, iman Kristen telah disalah-mengerti sebagai agama yang anti orang kaya dan lebih mendukung orang-orang yang hidup miskin. Tetapi apakah Tuhan Yesus di Luk. 16:19-31 memiliki maksud yang demikian?

Luk. 16:19 melukiskan tingkah-laku orang kaya tersebut dengan gaya hidup yang ditandai oleh suasana pesta pora dan kemewahan setiap hari. Sementara di pintu gerbang rumahnya duduk seorang pengemis yang sangat miskin dan kelaparan bernama Lazarus. Seluruh tubuhnya dipenuhi oleh borok. Karena suatu keadaan Lazarus tidak mampu melindungi tubuhnya, sehingga borok-boroknya dapat dijilati oleh anjing setiap saat; padahal anjing dalam tradisi Israel dipandang sebagai binatang najis. Selain itu Lazarus hanya makan dari sisa-sisa roti yang dibuang di lantai. Dalam acara pesta di Israel pada zaman itu, tuan rumah sengaja menyediakan roti untuk dipakai sebagai alat pembersih tangan bagi para tamunya yang biasanya dipenuhi lemak makanan sehingga remah-remah roti tersebut berceceran di lantai. Setelah acara pesta selesai, remah-remah roti tersebut disapu untuk dibuang ke luar. Jadi remah-remah roti itulah yang dimakan oleh Lazarus. Tampaknya Lazarus telah lama tinggal di pintu gerbang, tetapi selama dia tinggal di situ hanya remah-remah roti pembersih tangan para tamu itulah yang dapat dia makan. Orang kaya tersebut tidak pernah peduli dengan penderitaan dan kemiskinannya. Mungkin orang kaya itu berpikir bahwa Allah telah menentukan Lazarus tetap miskin. Sebab bukankah Allah yang menentukan seseorang untuk menjadi kaya atau miskin, sehat atau sakit, hidup ataupun mati? Apabila Allah yang menentukan Lazarus tetap miskin, maka orang kaya tersebut berpikir bahwa dia sudah cukup “saleh” dan beramal banyak dengan membiarkan Lazarus tetap tinggal di pintu gerbang rumahnya serta dapat memperoleh makanan secara gratis dari remah-remah roti yang dibuangnya. Pesan utama dari kisah perumpamaan Tuhan Yesus tersebut sebenarnya bukan menyalahkan seseorang sukses dan menjadi kaya. Sebab bukankah para bapa leluhur Israel juga merupakan profil dari orang-orang yang sukses dan menjadi kaya? Abraham, Ishak dan Yakub tergolong orang-orang yang sukses dan kaya. Tetapi yang menjadi persoalan utama dalam perumpamaan Tuhan Yesus tersebut adalah bagaimana seseorang menyikapi kekayaannya; dan bagaimana pula seseorang memperlakukan sesamanya yang sedang menderita.

Ternyata orang kaya dalam perumpamaan tersebut menyikapi kekayaannya begitu intens. Itu sebabnya dia mengisi hidupnya tiada hari tanpa pesta yang serba mewah. Dia begitu lekat dengan kekayaan dan kemewahan. Secara konsisten dia telah mempratekkan untuk mengabdi kepada Mamon. Sehingga mata batinnya menjadi buta untuk merespon secara manusiawi keadaan Lazarus yang selama ini duduk di pintu gerbang rumahnya. Sikap orang kaya yang membiarkan Lazarus duduk di pintu gerbang rumahnya bisa terjadi bukan karena orang kaya tersebut cukup bermurah hati. Sebab keadaan Lazarus yang hidup begitu miskin di pintu gerbang rumahnya, justru secara kontras dapat membuat rumah orang kaya tersebut tampak menjadi lebih mewah. Bukankah sikap orang kaya tersebut juga seperti kecenderungan beberapa orang yang secara sengaja memasang patung pemotong rumput yang sedang berjongkok membersihkan taman sebagai suatu hiasan belaka? Dengan kata lain, kemiskinan sesama juga dapat dipakai oleh beberapa orang sebagai suatu hiasan untuk memperindah rumah atau properti yang dimiliknya. Dalam konteks tersebut kita beranggapan bahwa Allah telah menentukan seseorang menjadi kaya atau miskin. Jadi kalau dia miskin, bukan tanggungjawab kita untuk menolongnya. Bahkan kita merasa telah berbuat baik kepada orang miskin di dekat kita dengan memberikan beberapa potong roti dan tidak pernah mengganggu atau mengusirnya. Ketika kita lekat dengan harta milik atau kekayaan, maka batin dan hati kita menjadi buta untuk memperlakukan sesama secara lebih manusiawi. Sehingga kita merasa pemberian yang sifatnya karitatif sebagai bukti kepedulian dan kasih kita kepada sesama yang miskin dan sedang menderita. Akibatnya kita tidak pernah berupaya untuk memberdayakan sesama yang sedang menderita dan malang agar mereka juga dapat hidup secara pantas dan manusiawi.

Mungkin perumpamaan Tuhan Yesus tersebut dianggap terlalu berat untuk dilaksanakan dan terlalu ideal bagi orang Kristen untuk memenuhinya. Tetapi sebenarnya perumpamaan Tuhan Yesus di Luk. 16:19-31 bukan suatu ajaran yang jauh dari kemampuan dan realita hidup. Orang kaya dalam perumpamaan Tuhan Yesus itu hidup dalam kemewahan yang mengagumkan, tetapi dia sama sekali tidak peduli untuk menolong seorang yang miskin dan sakit-sakitan bernama Lazarus. Orang kaya tersebut tidak menghadapi orang miskin dalam jumlah yang sangat besar. Jadi sebenarnya orang kaya tersebut mampu menolong Lazarus untuk menjadi salah seorang pegawai atau pelayannya sehingga Lazarus dapat memperoleh kehidupan yang layak. Tetapi apa yang sebenarnya dia mampu lakukan, tidak dilakukan oleh orang kaya tersebut. Orang kaya tersebut mencintai uangnya lebih dari apapun juga. Sebagai seorang Yahudi, sebenarnya dia beriman kepada Allah dan firmanNya; tetapi hatinya telah kawin dengan harta yang dimilikinya. Secara lahiriah orang kaya tersebut adalah seorang yang beragama dan ber-Tuhan, tetapi secara batiniah dia mengabdi kepada Mamon dengan sepenuh hati. Sehingga sangatlah tepat ucapan Tuhan Yesus, yaitu: “Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Luk. 16:13). Dalam praktek hidup orang kaya tersebut, dia sebenarnya tidak pernah peduli dengan Allah karena hatinya secara total telah condong kepada Mamon. Itu sebabnya dia mencintai kekayaan, uang dan harta miliknya lebih dari segalanya, sehingga dia enggan untuk menolong Lazarus dari penderitaan dan kemiskinannya. Dalam konteks ini suatu tindakan disebut dosa apabila kita sebenarnya mampu melakukan apa yang baik dan benar bagi sesama yang sedang menderita, tetapi ternyata kita lebih memilih untuk mengabaikan dan tidak melakukan apapun sehingga sesama kita tersebut akhirnya mati secara mengenaskan.

Di Yer. 32:8, nabi Yeremia diperintahkan oleh Allah untuk membeli ladang milik pamannya bernama Hanameel di Anatot daerah Benyamin. Atas perintah Allah tersebut nabi Yeremia membeli ladang milik Hanameel dengan disaksikan oleh para saksi yang telah ikut menandatangani surat pembelian itu. Setelah itu Allah memerintahkan kepada nabi Yeremia, yaitu: “Ambillah surat-surat ini, baik surat pembelian yang dimeteraikan itu maupun salinan yang terbuka ini, taruhlah semuanya itu dalam bejana tanah, supaya dapat tahan lama” (Yer. 32:14). Ternyata perintah Allah kepada nabi Yeremia untuk membeli tanah ladang tersebut dipakai sebagai simbolisasi teologis bahwa Allah akan membeli tanah Israel untuk diserahkan kepada bangsa Kasdim. Alasan tindakan hukuman Allah terhadap umat Israel tersebut adalah karena umat Israel telah mereka membakar korban kepada Baal dan mempersembahkan korban curahan kepada allah lain (Yer. 32:29). Dalam hal ini kita tahu bahwa motivasi umat Israel membakar korban kepada Baal dan mempersembahkan korban curahan kepada allah lain, bahkan mereka tidak segan untuk mempersembahkan anak laki-laki dan perempuan sebagai korban dalam api (Yer. 32:35) dengan tujuan untuk memperoleh kemakmuran. Dengan kata lain demi tujuan kemakmuran secara duniawi, umat Israel tidak segan-segan menjual iman kepada Tuhan, dan membunuh anak laki-laki atau anak perempuannya sebagai korban dalam api. Sikap umat Israel tersebut mengingatkan kita akan kepercayaan untuk memperoleh kekayaan secara “klenik” (perdukunan) di Jawa yang disebut dengan istilah “pesugihan”. Maksud tindakan dari “pesugihan” adalah upaya memperoleh kekayaan secara cepat dan fantastis yang dimohonkan kepada Iblis/kuasa kegelapan dengan cara menyepakati pasangan hidup, lalu anak-anaknya satu demi satu untuk dijadikan tumbal/korban. Sehingga sangatlah tepat apabila I Tim. 6:9 berkata: “Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan”.

Mungkin upaya “pesugihan” yang bersifat mistis atau “klenik” ini pada masa kini tentu bukan lagi merupakan pola yang menarik untuk dipilih oleh anggota jemaat modern untuk memperoleh kekayaan. Tetapi tidak berarti upaya untuk mencari uang dan kekayaan secara singkat dan fantastis sampai saat ini tidak menjadi obsesi bagi kebanyakan orang. Untuk itu mereka bersedia bekerja keras sedemikian rupa sehingga mereka rela mengorbankan relasi kasih dengan pasangan hidup dan anak-anaknya. Mereka mungkin berhasil menjadi orang yang sangat sukses dengan kekayaan berlimpah, tetapi mereka mempertaruhkan kehidupan rumah-tangganya; sehingga pada akhirnya keluarga mereka runtuh dan anak-anaknya terlibat dalam berbagai masalah kriminal atau asosial karena rohani mereka miskin dan jauh dari kasih. Sementara beberapa orang mencari kekayaan secara cepat melalui keterlibatan dengan sindikat penjualan obat-obat terlarang atau mereka secara sengaja terlibat dalam perampokan dan pencurian. Jadi pada intinya banyak orang ingin menjadi kaya secara mendadak sehingga akhirnya mereka terjatuh dalam berbagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan. Jadi hasilnya sungguh mengerikan, sebab kehidupan dan masa depan mereka hancur. Rasul Paulus berkata: “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka” (I Tim. 6:10). Kehausan untuk memburu kekayaan bagaikan seorang yang sedang terdampar kehausan di tengah laut, sehingga dia nekat untuk minum air laut. Akibatnya rasa haus yang luar biasa menyerang dia, dan makin menjadi-jadi rasa hausnya, sehingga akhirnya dia mati dengan keadaan yang sangat menderita.

Iman Kristen pada prinsipnya tidak pernah melarang umat untuk menjadi kaya; dan juga tidak pernah menganjurkan umat untuk hidup miskin. Tetapi yang diingatkan dan dinasihatkan oleh iman Kristen terus-menerus adalah bahaya dari sikap keserakahan untuk memperoleh kekayaan. Sikap serakah bukan bukan sekedar sikap yang ingin memperoleh banyak seperti uang dan harta benda, tetapi sesungguhnyanya sikap serakah merupakan suatu hawa nafsu yang liar dan tidak pernah terpuaskan sehingga orientasi hidup dialihkan secara total kepada keinginan yang duniawi. Sikap seseorang yang serakah dalam kekayaan berarti mereka secara sengaja dan sadar untuk menjadikan Mamon sebagai penentu hidupnya. Itu sebabnya mereka tidak pernah berpikir untuk ambil bagian dalam karya keselamatan Allah, tidak mau peduli atau mengabaikan sesama yang miskin dan menderita, menutup pintu hati mereka terhadap kemurahan dan belas-kasihan, lebih cenderung menjadikan sesama hanya sebagai obyek untuk dimanipulasi atau dieksploitasi, menghalalkan segala macam cara untuk meperoleh kekayaan, dan hidup yang memuaskan hawa-nafsu duniawi. Dalam sikap serakah terhadap kekayaaan sebenarnya kita telah menyembah dan mengabdi kepada ilah “harta milik”. Seperti sikap Israel yang pernah menyembah kepada Baal dan illah lain, maka dengan sikap serakah sebenarnya kita juga telah menyembah berhala kepada dewa kekayaan, sehingga mata batin dan iman kita menjadi buta. Akibatnya kehidupan kita berada di bawah hukuman Allah. Kita kehilangan damai-sejahtera Allah dalam kehidupan kita. Sebab kehidupan kita dipenuhi oleh berbagai macam konflik dengan sesama, sikap antipati dan kebencian orang-orang di sekitar kita terhadap diri kita, perasaan hampa walau kita memiliki banyak hal dan hidup kita juga dipenuhi oleh berbagai macam oleh perasaan gelisah serta ketakutan.

Sangat berbeda dengan orang Kristen yang dengan semangat iman sungguh-sungguh mau bekerja keras, rajin, penuh dedikas, dipercaya, dan terus mengembangkan seluruh talenta yang telah Tuhan percayakan kepada mereka sehingga akhirnya mereka menjadi orang yang sukses. Mereka sangat giat bekerja, terus mengembangkan karier dan makin profesional karena didasari oleh rasa tanggungjawab dan kasih kepada Allah. Mereka mendapat banyak berkat dari Allah, namun mereka tahu ke mana dan bagaimana mereka harus mengelola dan menyalurkan seluruh berkat Allah tersebut secara tepat dan berkenan di hati Allah. Sehingga walaupun mereka mendapat banyak berkat dari Allah, mereka juga dengan hati yang tulus dan penuh kasih mempersembahkan seluruhnya kepada Allah untuk karyaNya, untuk keselamatan dan kesejahteraan bagi sesamanya. Dalam hal ini mereka menjadi kaya secara materi namun juga mereka kaya secara rohani. Jadi makna uang di tangan orang beriman akan menjadi alat dan saluran berkat bagi banyak orang, tetapi sebaliknya uang di tangan orang fasik akan menjadi akar segala kejahatan. Jika demikian, letak permasalahan yang utama dan prinsipiil adalah apakah kita mencintai uang; ataukah kita mengasihi Allah dan sesama?

Karena itu, kita selaku jemaat makin disadarkan makna panggilan kasih kepada Allah dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap akal budi sebagai hukum yang pertama dan yang utama. Manakala kita mengasihi Allah, dan juga mengasihi sesama seperti diri kita sendiri maka kita tidak perlu takut dipercayakan oleh Tuhan kekayaan yang berlimpah. Sebab kekayaan berlimpah yang dipercayakan Tuhan kepada kita tersebut akan kita salurkan secara bertanggungjwab untuk pekerjaan dan kemuliaan nama Tuhan, serta akan kita gunakan untuk memberdayakan dan menolong sesama yang miskin dan menderita. Sebaliknya apabila kita serakah dan mengabdi kepada Mamon, maka seluruh uang dan harta yang kita miliki akan kita gunakan untuk mendukung seluruh program kuasa duniawi, kita manfaatkan untuk menekan orang-orang yang lemah, kita gunakan untuk ketidakadilan dan kejahatan. Jika demikian, bagaimana orientasi hidup kita yang sesungguhnya? Apakah hidup kita kini makin tertuju kepada Allah dan Kristus, ataukah hidup kita tertuju kepada Mamon? Kita perlu menentukan pilihan kita saat ini juga. Tetapi berbahagialah kita yang memilih kesetiaan dan kasih kepada Allah sebagaimana firmanNya: “Bertandinglah dalam pertandingan iman yang benar dan rebutlah hidup yang kekal. Untuk itulah engkau telah dipanggil dan telah engkau ikrarkan ikar yang benar di depan banyak saksi”. Amin.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

SETIA DALAM PERKARA KECIL


Yer. 8:18-9:1, Mzm. 79:1-19, I Tim. 2:1-7, Luk. 16:1-13

Nama nabi Yeremia sering dikaitkan dengan kepribadian yang melankholistis. Tipe karakter dari seorang yang melankholis umumnya memiliki kepribadian yang ditandai oleh perasaan muram atau cenderung murung dalam hidup sehari-hari dan saat menatap masa depan (somebody with a gloomy attitude toward the present and future). Tentunya anggapan terhadap nabi Yeremia tersebut mempunyai dasarnya. Karena nabi Yeremia sering disaksikan suka “menangis” dan bersedih hati. Di Yer. 8:18, nabi Yeremia berkata: “Tidak tersembuhkah kedukaan yang menimpa diriku, hatiku sakit pedih”. Juga di Yer. 9:1, nabi Yeremia berungkap diri: “Sekiranya kepalaku penuh air, dan mataku jadi pancuran air mata, maka siang malam aku akan menangisi orang-orang puteri bangsaku yang terbunuh!” Nabi Yeremia memiliki respon yang berbeda dari pada nabi yang lain! Dia menyatakan bahwa tangisannya seperti pancuran air mata. Lebih dari pada itu, ungkapan kesedihan dan air mata nabi Yeremia secara khusus dikumpulkan dalam salah kitab yaitu Kitab Ratapan yang dahulu disebut dengan kitab Nudub Yeremia. Namun sebenarnya tangisan nabi Yeremia bukanlah sekedar tangisan cengeng! Dia tidak pernah menangisi dirinya sendiri. Tetapi dia menangisi nasib bangsanya yang telah berdosa melawan Allah, dan kini umat Israel mengalami hukuman Allah. Sebab kebanyakan di antara mereka dikalahkan dan dibunuh oleh bangsa Babel.

Padahal sebelumnya nabi Yeremia tiada henti-hentinya mengingatkan umat Israel agar mereka segera meninggalkan berhala-berhala dan dewa-dewa pujaan yang menyesatkan. Sebab berhala dan patung yang mereka sembah menyakiti hati Allah. Di Yer. 8:19b, Allah berfirman: “Mengapakah mereka menimbulkan sakit hatiKu dengan patung-patung mereka, dengan dewa-dewa asing yang sia-sia?” Tetapi umat Israel senantiasa mengeraskan hati setiap mereka mendengarkan teguran dan nasihat dari nabi Yeremia. Mereka terus berpaling meninggalkan Allah, yaitu Yahweh. Sehingga akibatnya Allah menyerahkan mereka kepada tangan bangsa asing. Ternyata mereka tidak mampu memberi perlawanan dan gagal untuk mempertahankan diri dari serangan tentara Babel. Justru mereka bagaikan orang-orang yang tidak berdaya ketika tentara Babel menyerang dan akhirnya mengalahkan mereka. Dalam situasi yang demikian nabi Yeremia berduka-cita. Dia berkata: “Karena luka puteri bangsaku hatiku luka; aku berkabung, kedahsyatan telah menyergap aku” (Yer. 8:21). Walaupun umat Israel senantiasa melawan dan menyakiti hati nabi Yeremia dengan sikap mereka yang terus-menerus mengeraskan hati melawan Allah, nabi Yeremia tetap mengasihi bangsanya ketika mereka dihukum oleh Allah. Nabi Yeremia tidak merasa bergembira dengan keadaan umat Israel yang saat itu tercerai-berai dihukum Allah karena mereka tidak mau mendengarkan nasihat dan tegurannya.

Justru tangisan dan ratapan nabi Yeremia mengungkapkan sesuatu yang lebih dalam tentang kasih-sayangnya yang begitu besar kepada umat yang selalu mengabaikan dan melawan setiap nasihatnya. Melalui tangisan nabi Yeremia, kita dapat melihat pula kesetiaan yang tanpa syarat kepada bangsanya yang selalu mengeraskan hati. Sebenarnya dari sudut moral keagamaan pada umumnya, nabi Yeremia akan lebih cenderung untuk meninggalkan bangsanya yang telah berzinah dengan ilah-ilah asing. Tetapi ternyata nabi Yeremia lebih memilih berada di tengah-tengah penderitaan mereka. Sehingga segala kesusahan dan murka Allah yang saat itu sedang menimpa bangsanya sebenarnya juga menimpa nabi Yeremia. Di tengah-tengah bangsanya yang menderita, nabi Yeremia berseru: “Dengar! Seruan puteri bangsaku minta tolong dari negeri yang jauh”. Dalam konteks ini nabi Yeremia memerankan dirinya menjadi juru-syafaat bagi bangsanya. Dia mendoakan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hatinya keadaan bangsanya yang terpuruk dan menderita. Begitu buruk dan menyedihkan keadaan umat Israel sehingga mereka tidak mudah dipulihkan dan disembuhkan. Yer. 8:22, berkata: “Tidak adakah balsam di Gilead? Tidak adakah tabib di sana? Mengapakah belum datang juga kesembuhan luka puteri bangsaku?” Apabila dahulu di Gilead sangat terkenal dengan balsam untuk mengobati berbagai macam penyakit dan tabib yang pandai, maka sekarang balsam yang mujarab di Gilead dan para tabib yang pandai itu tidak dapat menolong untuk menyembuhkan keadaan umat Israel. Murka dan hukuman Allah tidak dapat disembuhkan dengan upaya dan pertolongan dari manusia manapun juga.

Kesetiaan kita dapat berubah dan menjadi luntur ketika orang-orang yang kita sayangi itu terus bersikap mengeraskan hati dan tidak mempedulikan nasihat atau teguran kita. Sehingga ketika mereka tertimpa suatu bencana, maka kita akan beranggapan bahwa mereka layak untuk menerima hukuman dari Allah. Kesetiaan kita juga akan berubah secara drastis, ketika pasangan hidup kita berselingkuh; maka kita juga merasa berhak membalas pengkhianatan dari pasangan hidup kita dengan perselingkuhan. Prinsip dunia adalah balaslah kesetiaan dengan kesetiaan, dan balaslah ketidaksetiaan dengan ketidaksetiaan. Manakala orang-orang yang semula kita bela mengkhianati kita, maka dunia mengajar agar pengkhianatan tersebut layak untuk dibalas dengan pengkhianatan. Ternyata tidak demikian sikap yang ditempuh oleh nabi Yeremia. Dia tetap mengasihi bangsanya yang tidak pernah mengasihi dia. Untuk itu nabi Yeremia menangisi bangsanya ketika mereka mengalami suatu malapetaka akibat hukuman Allah. Tangisan dan air mata nabi Yeremia bagaikan air mata seorang ibu saat dia menyaksikan anak-anaknya tertimpa suatu bencana, padahal selama ini anak-anaknya tidak pernah peduli, tidak mengasihi dan menghormati dia sebagai ibunya. Karena itu dia terus mendoakan agar Tuhan mau berbelas-kasihan dan menolong anak-anaknya. Tetapi berapa banyak di antara anggota jemaat yaitu kita semua yang memiliki kesetiaan dan kasih seorang ibu? Sebab yang umum terjadi adalah kita sering menangisi diri sendiri karena orang-orang yang kita sayangi mengkhianati dan berlaku tidak setia kepada kita. Kemudian tangisan kita tersebut berubah menjadi rasa puas, ketika mereka tertimpa suatu bencana. Dengan kondisi demikian, kita beranggapan bahwa Allah telah membalaskan sakit hati kita kepada mereka.

Prinsip utama dari iman Kristen adalah mengasihi sesama bahkan musuh kita tanpa syarat (unconditional love). Karena itu kesetiaan dalam iman Kristen adalah kesetiaan yang tanpa syarat (unconditional loyalty). Di I Tim. 2:1 rasul Paulus menasihati agar orang percaya mau menaikkan doa syafaat kepada pemerintah. Padahal pada waktu itu pemerintah yang dimaksud oleh rasul Paulus adalah para kaisar Roma yang jelas-jelas anti Kristen dan selalu berupaya menganiaya orang Kristen. Tetapi kasih dan kesetiaan orang Kristen ditempatkan dalam spiritualitas “tanpa syarat”. Itu sebabnya rasul Paulus berkata: “Pertama-tama aku menasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan untuk semua pembesar-pembesar, agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan”. Menaikkan doa syafaat kepada raja-raja dan pembesar-pembesar berarti dengan iman kita menaikkan doa agar Allah berkenan mengaruniakan keselamatan, keamanan, perlindungan dan hikmat kepada mereka. Orang-orang Kristen dipanggil untuk terus mendoakan pemerintahnya, walaupun mereka tahu bahwa pemerintahnya tidak selalu memperlakukan mereka dengan baik dan adil. Tetapi kasih dan kesetiaan orang Kristen tidak boleh berubah karena tindakan atau perlakuan para pemerintah yang tidak pantas, bahkan kerapkali politik pemerintah sering membahayakan keselamatan dan eksistensi mereka. Justru kita terpanggil untuk “menangisi” dan mendoakan dengan sungguh-sungguh para pemerintah kita ketika mereka bertindak yang tidak sesuai dengan kehendak Allah.

Dengan perkataan lain, memberlakukan kasih dan kesetiaan tanpa syarat membutuhkan pengorbanan diri yang sangat eksistensial. Kita dianggap mampu berlaku setia karena kita mengasihi para musuh dengan segenap hati kita. Pada sisi yang lain, kasih dapat terwujud ketika kita tetap mampu berlaku setia. Sebab itu selaku jemaat Kristus, kita dipanggil untuk mengasihi mereka yang tidak mengasihi kita. Bukankah sebenarnya kita lebih mudah mengasihi dan berlaku setia kepada mereka yang memang mengasihi dan setia kepada kita? Sebaliknya mengasihi dan berlaku setia kepada mereka yang telah menyakiti hati dan memusuhi kita menimbulkan kepedihan hati yang dalam. Tetapi kepedihan hati kita akan lebih dalam lagi ketika kita menyaksikan para musuh atau lawan kita mengalami penderitaan dan bencana. Bukankah sikap yang demikian yang menjadi inti dari spiritualitas iman Kristen? Kita bersedih dan ikut menangis ketika menyaksikan para musuh kita mengalami kemalangan dan kesusahan. Jadi ketika kita ikut bersukaria dan bersyukur manakala para musuh atau orang-orang yang membenci kita tertimpa suatu bencana sebenarnya kita tidak lagi bersikap secara kristiani. Kitab nabi Obaja menyaksikan murka Allah kepada bani Edom yang bersukaria ketika mereka menyaksikan umat Israel yang sedang tertimpa kemalangan besar. Di Obaja 1:12, Allah berfirman: “Janganlah memandang rendah saudaramu pada hari kemalangannya, dan janganlah bersukacita atas keturunan Yehuda pada hari kebinasaannya; dan janganlah membual pada hari kesusahannya”. Dalam konteks ini kasih dan kesetiaan dalam iman Kristen pada hakikatnya melampui segala kebencian dan dendam, sehingga orang Kristen justru dipanggil untuk mengasihi dan mendoakan setiap musuh-musuhnya; dan memberi pertolongan yang nyata pada saat mereka mengalami kemalangan.

Sebenarnya kita sudah mengetahui prinsip-prinsip iman Kristen tentang kasih dan kesetiaan yang tanpa syarat. Tetapi persoalannnya adalah mengapa kita dalam kehidupan sehari-hari sering tidak mampu memberlakukan kasih dan kesetiaan sebagaimana yang telah diajarkan oleh Tuhan Yesus? Mengapa kita lebih cenderung untuk mengasihi hanya kepada mereka yang mengasihi kita, tetapi kita membenci setengah mati kepada mereka yang berlaku tidak setia kepada kita? Mengapa kita tidak memiliki karakter dan spiritualitas sebagaimana yang dimiliki oleh nabi Yeremia atau rasul Paulus?

Tindakan untuk mengasihi dan berlaku setia kepada mereka yang tidak mengasihi dan tidak setia kepada kita membutuhkan enersi mental dan spiritutalitas yang tinggi. Untuk itu pertanyaan yang lebih mendasar lagi adalah sejauh mana kita telah memiliki enersi mental dan spiritualitas tersebut? Apakah enersi mental dan spiritualitas kita masih berada dalam level sangat rendah, atau level yang rendah, atau tingkat spiritualitas kita tergolong cukup; ataukah spiritualitas kita berada di level yang tinggi? Tingkat atau level-level tersebut sangat penting untuk diketahui agar kita dapat mengukur tingkat kedalaman dari spiritualitas kita. Sejauh mana tingkat kedalaman dari spiritualitas kita tersebut? Apakah enersi mental dan spiritualitas kita tersebut telah terlatih dalam kehidupan sehari-hari, dan teruji dalam persoalan atau perkara yang kecil dan sederhana? Untuk maksud itulah Tuhan Yesus memberikan pengajaran dengan perumpamaan di Luk. 16:1-13 tentang bendahara yang tidak jujur. Hal yang aneh dalam perumpamaan Tuhan Yesus tersebut adalah sepertinya Tuhan Yesus memberi pujian kepada bendahara yang tidak jujur. Namun kita tidak boleh terlalu cepat menarik kesimpulan bahwa Tuhan Yesus menghargai dan memuji tindakan yang tidak jujur dari bendahara tersebut. Kita perlu memahami budaya zaman dahulu perihal pengelolaan uang yang dipercayakan kepada seorang bendahara. Si pemilik modal hanya menyediakan suatu dana agar manager yang diangkatnya tersebut mampu mengelola uang tersebut sehingga usaha tersebut menghasilkan keuntungan. Karena itu manager yang disebutnya sebagai bendahara yang menentukan tingkat besarnya suatu bunga. Sehingga risiko kerugian harus ditanggung penuh oleh bendahara; tetapi kalau dia berhasil, maka dia akan memperoleh keuntungan lebih.

Dalam perumpamaan tersebut akhirnya diketahui oleh si pemilik uang bahwa bendaharanya telah menghambur-hamburkan uang. Dia segera dipanggil oleh tuannya untuk mempertanggungjawabkan seluruh keuangan yang telah dikelolanya. Apa yang kemudian dilakukan oleh bendahara tersebut? Di Luk. 16:5-7, bendahara tersebut mengurangi jumlah hutang dari para krediturnya. Namun dengan mengurangi jumlah hutang dari para krediturnya, berarti pula sang bendahara kehilangan haknya untuk memperoleh keuntungan yang seharusnya. Jadi sebenarnya dia memotong hak keuntungan untuk dirinya dari pemotongan jumlah hutang dari para krediturnya. Sehingga pada akhirnya sang bendahara tersebut mampu mempertanggungjawabkan seluruh keuangan yang telah dipercayakan kepadanya. Sebab uang yang menjadi hak dari tuannya itu tidak berkurang sedikitpun, sehingga dia tidak jadi dipecat dari jabatannya sebagai seorang manajer. Dari perumpamaan Tuhan Yesus ini, kita dapat belajar bagaimana sang bendahara memikirkan masa depannya secara cerdik. Walaupun dia pernah melakukan kesalahan besar, namun dia segera memperbaiki diri dengan memotong apa yang menjadi hak keuntungan pribadinya. Secara finansial sang bendahara itu tidak memperoleh banyak keuntungan dari hak yang seharusnya dia terima, tetapi secara moril dia mampu mempertanggungjawabkan sikapnya. Demikian pula dengan makna kesetiaan yang tanpa syarat. Seorang yang mampu tetap setia kepada orang yang tidak setia berarti dia bersedia mengurangi atau memotong apa yang menjadi haknya. Tetapi dengan bersikap demikian, sesungguhnya dia telah menyelamatkan dirinya dan orang yang tidak setia tersebut. Jadi tekanan utama dari makna perumpamaan bendahara di Luk. 16 bukanlah soal ketidakjujurannya, tetapi kerelaan dia untuk memotong apa yang menjadi hak keuntungannya. Ketidakjujuran bendahara tersebut terjadi ketika dia melakukan kesalahan dengan cara menghambur-hamburkan uang yang bukan miliknya, tetapi dia segera berbenah diri dan mampu mempertanggungjawabkan seluruh keuangan yang dikelolanya, sehingga dia akhirnya dapat menyelamatkan masa depan dan kariernya.

Kita gagal untuk berlaku setia karena kita sering mempertahankan hak-hak kita sedemikian rupa, sehingga kita tidak mampu menyediakan ruang sedikitpun untuk memberi pengampunan kepada para musuh kita. Selain itu juga melalui perumpamaan di Luk. 16 Tuhan Yesus mengingatkan agar kita mau memberlakukan nilai-nilai kesetiaan dan kasih seperti kita menggunakan dan mengelola keuangan setiap hari. Bukankah tiap-tiap hari kita harus menggunakan dan mengelola keuangan? Uang menjadi sesuatu yang begitu akrab dalam kehidupan nyata kita. Tetapi apakah kita juga akrab dengan prinsip-prinsip kesetiaan yang tanpa syarat setiap hari? Apabila bendahara yang tidak jujur itu mampu memikirkan masa depannya, maka seharusnya kita juga serius memikirkan masa depan kita yaitu kehidupan kekal bersama dengan Kristus. Untuk itu demi hidup yang kekal, apakah kita bersedia untuk memotong atau mengurangi apa yang menjadi hak-hak kita, agar kita dapat menyelamatkan orang-orang yang jauh dan tidak peduli kepada Allah. Jadi prinsip spiritualitas iman Kristen adalah bersedia mengurangi dan memotong segala hak kita, agar kita memiliki ruang yang cukup lebar untuk mengasihi dan berlaku setia kepada mereka yang membenci dan mengkhianati kita. Sehingga kita dapat terus-menerus mendoakan mereka agar mereka terus diperbaharui oleh Roh Kudus. Dan pada saat yang buruk di mana para lawan kita mengalami kesusahan atau kemalangan, maka kita dengan tulus menolong mereka agar mereka dapat mengalami wujud dari kasih Allah yang sempurna. Jika demikian, bagaimana dengan sikap hidup saudara? Apakah kehidupan kita telah ditandai oleh kesetiaan yang tanpa syarat? Untuk itu kita harus memulai dan melatih terus-menerus kesetiaan dalam perkara-perkara yang kecil setiap hari. Amin.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

MENCARI YANG TERHILANG

Renungan Minggu, 16 September 2007


Yer. 4:11-12, 22-28; Mzm. 14; I Tim. 1:12-17; Luk. 15:1-10

Salah satu sikap Tuhan Yesus yang sangat menonjol adalah sikap dan cara pendekatanNya dalam memperlakukan orang-orang yang dianggap rendah, hina,miskin, lemah dan berdosa. Di Luk. 15:1-2 menyaksikan demikian: Para pemungut cukai dan orang-orang berdosa biasanya datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia. Maka bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya: "Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka". Tampaknya Tuhan Yesus sering memperlakukan orang-orang yang dianggap rendah dan berdosa sedemikian rupa, sehingga mereka bersedia untuk selalu ingin datang dan mendengarkan pengajaran Tuhan Yesus. Lebih dari pada itu Tuhan Yesus juga bersedia untuk makan bersama-sama dengan mereka. Padahal dalam tradisi orang Yahudi, seorang yang saleh tidak dibenarkan untuk makan bersama dengan orang yang buruk kelakuannya. Sebab makna dari tindakan makan bersama merupakan bentuk empati dan persekutuan yang intim dengan orang-orang yang duduk di sekitarnya. Sehingga ketika Tuhan Yesus bersedia duduk untuk makan bersama dengan para pemungut cukai dan orang berdosa, Dia dianggap oleh orang-orang Farisi dan ahli Taurat telah memposisikan diriNya sebagai bagian dari kehidupan dari para pemungut cukai dan orang berdosa. Itu sebabnya orang Farisi dan ahli-ahli Taurat segera menunjukkan sikap ketidaksetujuan bahkan mereka memperlihatkan sikap protes yang bernada marah ketika Tuhan Yesus ternyata mau makan bersama dengan para pemungut cukai dan orang berdosa. Di sini letak perbedaan sikap antara Tuhan Yesus dengan para pemimpin agama Yahudi pada waktu itu. Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat lebih cenderung menjaga kesucian dann kesalehan mereka dengan menjauhi orang-orang yang dianggap berdosa, rendah dan hina. Sedangkan Tuhan Yesus berkenan menjadi sahabat mereka agar mereka mengalami kasih dan pengampunan Allah.

Mungkin banyak orang mengenal Tuhan Yesus sebagai orang yang berkuasa dan mampu membuat berbagai mukjizat, tetapi juga banyak orang yang mengenal dan mengalami kehadiran Tuhan Yesus sebagai seorang sahabat karib yang setia. Seorang penulis nyanyian yang sangat terkenal dan syairnya tercantum di Kidung Jemaat 453, dengan judul: “Yesus Kawan Sejati” mengungkapkan pengalaman pribadinya dengan Tuhan Yesus. Judul asli dari nyanyian tersebut adalah “What A Friend We Have In Jesus” ditulis oleh Joseph Medlicott Scriven (1819–1886). Joseph Scriven berasal dari Irlandia, yang mana dia menulis syair “What a Friend We Have In Jesus” sebenarnya dilatar-belakangi oleh pengalaman pahitnya karena kekasihnya mati tenggelam satu hari menjelang perkawinan mereka. Dengan tragedi itu Joseph Scriven memutuskan untuk hidup seorang diri. Tetapi sesungguhnya dia tidak pernah hidup seorang diri, karena dia hidup bersama dengan Kristus yang adalah sahabat karibnya. Pada saat itulah dia tergerak untuk membuat syair dalam lagu “What A Friend We Have In Jesus” untuk dikirim ke mamanya. Tetapi waktu itu dia tidak mempunyai uang untuk mengirimkan syair lagu tersebut, sebab dia hidup begitu miskin. Di tengah-tengah kesendirian, kesedihan, kemiskinan dan penderitaannya, Joseph Scriven mengalami secara mendalam kasih Kristus. Demikian pula dengan para pemungut cukai dan orang berdosa yang datang kepada Tuhan Yesus. Mereka mau datang karena mereka merasa diterima, dihargai dan dikasihi oleh Tuhan Yesus. Dalam hal ini Tuhan Yesus mampu menyentuh kebutuhan rohani manusia yang terdalam yaitu kebutuhan untuk diterima, dihargai dan dikasihi walaupun mereka berdosa. Bagi Joseph Scriven, Kristus dialami sebagai pribadi ilahi yang setia mendampingi dan menguatkan dirinya ketika dia kehilangan orang yang dicintainya. Jadi bagi para pemungut cukai dan orang-orang berdosa serta orang-orang yang mengalami penderitaan, Tuhan Yesus dihayati sebagai sahabat yang sempurna, yaitu sahabat yang mau peduli untuk menolong dan menyelamatkan mereka. Kepada mereka, Tuhan Yesus bersedia menyatakan empati dan solidaritas kasihNya dengan bersedia untuk duduk makan bersama sebagai wujud persekutuan yang memulihkan. Dalam hal ini tidak dimaksudkan bahwa Tuhan Yesus mau solider dengan keberdosaan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa, tetapi Dia solider agar mereka dapat menemukan dan mengalami kasih Allah yang menyelamatkan. Kepada Joseph Scriven, Tuhan Yesus solider dengan penderitaan yang dialaminya agar Joseph Scriven tetap mampu hidup secara berarti dan memiliki pengharapan kepada Allah. Solidaritas kasih dan empati Kristus senantiasa bersifat memulihkan, menyembuhkan, menyelamatkan dan memberikan pengharapan baru.

Sebaliknya sikap orang Farisi dan ahli-ahli Taurat dinyatakan dengan sikap bersungut-sungut. Pengertian “bersungut-sungut” di sini berarti: “suatu pernyataan yang mengungkapkan perasaan tidak puas dan tidak bahagia terhadap suatu situasi” (a statement expressing discontent or unhappiness about a situation). Jadi dengan kata lain orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat tidak puas dan hati mereka tidak bahagia ketika mereka menyaksikan Tuhan Yesus bergaul dan duduk semeja dengan orang-orang yang dianggap hina, rendah, dan berdosa. Dengan kata lain orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat lebih “bahagia” dan “puas” manakala mereka dapat menyaksikan Tuhan Yesus mau menjauhi dan tidak bergaul dengan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Mereka memahami makna “hidup suci” dan “berkenan” kepada Allah dengan cara memutuskan segala kemungkinan komunikasi dengan orang-orang yang dianggap fasik. Dalam hal ini orang Farisi dan ahli-ahli Taurat beranggapan bahwa orang-orang berdosa hanya layak untuk menerima hukuman dan murka Allah, sehingga mereka harus menjauhi orang-orang yang dianggap berdosa agar mereka tidak menerima hukuman dan murka Allah. Dengan pola berpikir demikian, orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat tidak merasa bertanggungjawab untuk peduli atau menolong orang-orang yang dianggap berdosa dan buruk kelakuannya. Mereka sudah merasa puas dengan “kesucian” dan “hidup benar” yang telah mereka tempuh. Ternyata Tuhan Yesus mempunyai sikap dan pemahaman yang sangat berbeda dengan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Justru Tuhan Yesus dalam kesalehan, kesucian dan kasihNya; Dia terpanggil untuk peduli dan menolong setiap orang yang berdosa dan hina.

Untuk menjelaskan bagaimana sikap Allah yang mengasihi setiap orang yang berdosa, Tuhan Yesus memberikan perumpamaan tentang seorang gembala yang mau mencari seekor anak domba dengan meninggalkan 99 ekor dombanya. Perumpamaan Tuhan Yesus tersebut merupakan gambaran dari kehidupan para gembala domba pada zamannya. Tetapi sebenarnya pola kebiasaan para gembala tersebut ternyata tetap bertahan sampai sekarang. Sebab pada tahun 1957 seorang gembala bernama Muhammad ed-Dib di dekat Laut Mati yang memiliki 55 ekor kambing kehilangan salah satu kambingnya. Ketika dia mencari kambingnya yang hilang, dia justru secara kebetulan menemukan gua yang menyimpan “naskah-naskah Qumran” yang kemudian dikenal dengan penemuan “Dead Sea Scrolls” yang menggemparkan dunia. Para gembala Israel ataupun penemu tempat penyimpanan naskah-naskah Qumran pada hakikatnya menunjukkan bagaimana kesungguhan mereka untuk mencari kambing atau dombanya yang hilang. Mereka bersedia mencari di tempat-tempat yang cukup jauh dan sulit. Mereka hanya mau pulang apabila mereka telah berhasil membawa kambing atau dombanya yang hilang. Sikap para gembala tersebut dipakai oleh Tuhan Yesus untuk menggambarkan sikap kasih Allah yang terus-menerus mencari setiap umatNya yang hilang dan tersesat. Sehingga Allah berkenan mempertaruhkan “nyawaNya” ketika Dia harus mencari dan menolong umatNya yang mungkin sedang terperosok dalam sebuah jurang yang sangat terjal dan dalam. Jadi di hadapan Allah, Kristus mau menunjukkan betapa berharga dan pentingnya manusia walaupun dia hina, lemah dan berdosa. Itu sebabnya di Yes. 43:4, Allah berfirman kepada umat Israel, yaitu: “Oleh karena engkau berharga di mataKu dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau”.

Makna perumpamaan Tuhan Yesus pada prinsipnya mau menyatakan bahwa di dalam kasih dan kerahimanNya, Allah memandang semua umatNya begitu berharga; bahkan manakala umatNya jatuh di dalam dosa Allah tetap memandang berharga sehingga Dia akan tetap mencari dan menyelamatkan mereka. Tetapi sayang sekali, makna perumpamaan Tuhan Yesus tersebut sering diaplikasikan secara kurang bertanggungjawab. Karena gembala dalam perumpamaan Tuhan Yesus pergi untuk mencari seekor dombanya yang hilang dengan meninggalkan 99 ekor domba yang lain; maka kemudian ditarik kesimpulan, bahwa tugas gereja yang utama adalah mencari seorang anggota jemaat yang hilang tidak ke gereja, dengan meninggalkan semua anggota jemaat yang tetap setia. Dengan penekanan ini maka gereja Tuhan sering mengabaikan tanggungjawabnya untuk terus memelihara rohani dan iman kepada anggota jemaat yang tetap setia. Padahal maksud perumpamaan Tuhan Yesus pada prinsipnya hanya mau menyatakan bahwa Allah sangat peduli dan mengasihi umatNya walau mereka berdosa dan tersesat. Sehingga gereja Tuhan tidak dibenarkan mengabaikan dan meninggalkan sebagian besar anggota jemaatnya hanya untuk mencari seseorang atau beberapa orang yang terhilang. Sebaliknya gereja Tuhan wajib bertanggungjawab dan mengasihi setiap anggota jemaatnya tanpa terkecuali, sebab mereka semua telah ditebus dengan darah salib Kristus. Sehingga setiap anggota jemaat dapat mengalami secara personal kasih Allah yang bersedia berkorban, agar mereka juga mau mengasihi setiap sesamanya khususnya sesama yang tersingkirkan dalam pergaulan akibat kelakuan mereka yang buruk dan belum mengenal Kristus. Manakala kita telah disentuh oleh kasih Allah, maka kita juga akan terdorong untuk mengasihi setiap orang yang lemah dan berdosa, karena kita yang lemah dan berdosa juga telah dicintai oleh Allah dengan pengorbanan Kristus.

Kasih Allah yang mau mencari dan menyelamatkan yang hilang dialami secara pribadi oleh rasul Paulus. Di I Tim. 1:15-16 rasul Paulus menyaksikan pengalaman hidupnya, yaitu: “Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa, dan di antara mereka akulah yang paling berdosa. Tetapi justru karena itu aku dikasihani, agar dalam diriku ini, sebagai orang yang paling berdosa, Yesus Kristus menunjukkan seluruh kesabaran-Nya. Dengan demikian aku menjadi contoh bagi mereka yang kemudian percaya kepada-Nya dan mendapat hidup yang kekal”. Dalam pengakuan dan kesaksiannya, rasul Paulus menyatakan bahwa dirinya sebagai pribadi yang paling berdosa tetapi ternyata Kristus begitu mengasihi dia agar melalui kehidupan rasul Paulus Kristus dapat menunjukkan seluruh kesabaran dan pengampunanNya. Hal yang sama juga dialami oleh para pemungut cukai dan orang-orang berdosa yang saat itu berada di dekat Tuhan Yesus. Mereka sadar akan kekurangan dan keberdosaan mereka, tetapi pada sisi yang lain saat mereka mengenal pribadi Kristus, mereka juga mengetahui bahwa mereka tidak dibuang oleh Allah. Justru melalui Kristus, mereka dapat mengalami kasih Allah yang setia untuk mencari dan menyelamatkan setiap orang berdosa. Di Rom. 5:8 rasul Paulus berkata: “Akan tetapi Allah menunjukkan kasihNya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa”. Allah mengasihi kita, bukan ketika kita baik, benar dan saleh. Tetapi sebaliknya Allah di dalam Kristus sangat mengasihi kita justru ketika kita berdosa dan lemah. Allah di dalam Kristus adalah Allah yang penuh anugerah dan maha rahim. Dia mencintai orang berdosa agar mereka selamat dan memperoleh hidup yang kekal. Itu sebabnya mereka yang telah diampuni oleh Allah seharusnya terpanggil pula untuk mengkomunikasikan kasih dan pengampunan Allah kepada sesamanya yang masih terhilang.

Dalam praktek hidup ternyata tidaklah mudah untuk mengaplikasikan tindakan kasih Allah yang mau mencari dan menyelamatkan sesama yang hilang atau tersesat. Karena ketika kita bergaul, berempati dan bersekutu dengan sesama yang tersesat, kita juga dapat jatuh dalam sikap yang kompromistis dengan membenarkan tindakan-tindakan mereka yang tidak terpuji. Dalam solidaritas kasih kita kepada mereka, kita wajib menjaga integritas diri. Sebab bilamana kita lupa diri, maka kita dapat terlalu mengidentifikasikan diri dengan mereka sehingga kita dapat terjatuh dalam sikap yang tidak kritis, yang mana akhirnya kita juga bersikap dan bertindak seperti mereka. Itu sebabnya di I Kor. 15:33 rasul Paulus berkata: “Jangan kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik”. Ini berarti untuk mencari dan menyelamatkan sesama yang hilang kita membutuhkan integritas diri sedemikian rupa sehingga spiritualitas kita tersebut tetap mampu hidup murni dan kudus. Tuhan Yesus dihormati dan sangat berwibawa bagi orang-orang berdosa yang berada di dekatNya karena mereka melihat kesucian dan kasihNya yang tulus sehingga mereka ingin terus belajar dan mendengarkan setiap pengajaranNya. Tetapi ketika kita hanya ingin menyenangkan hati orang banyak atau orang-orang di sekitar kita, sesungguhnya kita telah kehilangan otoritas dan kuasa kasih Allah di hadapan mereka. Sehingga mereka berani memperlihatkan segala perbuatan dan tingkah-lakunya yang buruk di depan kita, sebab mereka beranggapan bahwa kita memiliki watak dan kelemahan yang sama dengan diri mereka. Dalam kondisi yang demikian, kita telah gagal total memberikan perubahan spiritual kepada mereka; bahkan sebaliknya kita sendiri telah diubah menurut standar dunia ini.

Dengan demikian makin menjadi jelaslah bahwa solidaritas kasih yang tidak didasari oleh integritas diri, yaitu yang ditandai oleh kesalehan dan kemurnian hidup menjadi suatu malapetaka dalam pelayanan. Kita dapat melihat dalam beberapa contoh yang terjadi dalam pelayanan gerejawi. Saya pernah menjumpai seorang gadis yang begitu berantusias untuk memberitakan Injil kepada teman yang tidak seiman, tetapi akhirnya terjadi hal yang sebaliknya. Dia kemudian memilih untuk meninggalkan iman Kristen dan menyangkal Kristus karena dia lebih mengikuti perasaan hatinya untuk hidup bersama dengan pria tersebut. Juga kasus seseorang yang pernah tergerak oleh kasih Kristus sehingga dia ingin melayani dengan mencari dan menyelamatkan para pemabuk dan pengguna narkoba, justru dia sendiri akhirnya jatuh menjadi pemabuk dan penjual narkoba. Jadi makna tindakan kasih Allah yang mencari dan menyelamatkan yang hilang pada hakikatnya tidak pernah sedikitpun mengubah jati diri Allah untuk berkompromi dengan dosa dan kejahatan manusia. Demikian pula yang dilakukan oleh Tuhan Yesus, kasihNya tetap dinyatakan beriringan dengan kekudusanNya. Jika demikian, bagaimana dengan kehidupan kita selaku jemaat Tuhan yang juga dipanggil untuk mencari dan menyelamatkan sesama yang tersesat? Apakah kita tetap mampu mempertahankan integritas iman dan kasih kita di tengah-tengah situasi yang buruk dan penuh godaan? Marilah kita seperti Kristus yang memiliki kasih dengan mau peduli mencari dan menyelamatkan sesama di sekitar kita yang tersesat dengan tetap menjaga integritas dan kesetiaan iman kita. Amin.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

BERSEDIA DIBENTUK MENJADI BEJANA ALLAH

Renungan: Minggu, 9 September 2007


Yer. 18:1-11, Mzm. 139:1-6, Phil. 1-22, Luk. 14:25-33

Selaku jemaat Tuhan kita sering berdoa, membahas, dan mendiskusikan bahkan mengupayakan dalam berbagai program gerejawi agar terwujud kedatangan Kerajaan Allah di atas bumi ini, yaitu pemerintahan Allah yang membawa perubahan atau transformasi secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Namun doa dan pembahasan teologis serta berbagai upaya yang dilakukan seringkali masih terhambat oleh sikap mental/spiritualitas kita dalam memperlakukan dan merespon sesama khususnya kepada orang yang pernah melakukan kesalahan. Kita sering gagal memperlakukan sesama dengan kasih dan pengampunan Allah padahal dia sebenarnya sudah menunjukkan sikap pertobatan. Itu sebabnya sering sesama kita tidak dapat memulai hidup baru. Kita telah memberikan suatu stigma negatif yang abadi kepada dirinya. Dalam pengertian ini “stigma” diartikan sebagai: sign of social unacceptability: the shame or disgrace attached to something regarded as socially unacceptable” (tanda penolakan sosial berupa rasa malu atau aib yang dikenakan kepada seseorang karena pernah melakukan suatu kesalahan). Sehingga dengan pemberian suatu stigma, seseorang atau sekelompok orang tidak pernah mampu membuktikan pertobatan dan kehidupan barunya. Tindakan yang mereka perbuat senantiasa dicurigai dan tidak dipercaya, sehingga seluruh itikad atau maksud baik mereka senantiasa tidak diterima dengan hati yang tulus oleh anggota masyarakat. Dalam kondisi yang demikian, sebenarnya kita tidak akan pernah mampu mengalami datangnya kerajaan Allah di tengah-tengah kehidupan ini.

Di surat rasul Paulus kepada Filemon, kita dapat melihat bagaimana karya keselamatan Allah yang dinyatakan oleh rasul Paulus kepada seorang budak bernama Onesimus. Tampaknya Onesimus pernah melakukan kesalahan yang fatal kepada tuannya yang bernama Filemon. Kemungkinan Onesimus pernah mencuri atau berhutang dalam jumlah yang sangat besar. Karena Onesimus merasa tidak sanggup atau merasa sangat bersalah, dia kemudian melarikan diri dari tuannya. Tentunya tindakan Onesiumus tersebut sangat merugikan Filemon, tuannya. Tetapi dalam pelariannya itu Onesimus berjumpa dengan rasul Paulus di penjara. Perjumpaan Onesimus dengan rasul Paulus ternyata membawa suatu perubahan besar dalam kehidupan pribadi Onesimus. Karena disaksikan Onesimus akhirnya dapat mengenal dan menerima Tuhan Yesus sebagai Juru-selamatnya. Bahkan di ayat 10, rasul Paulus menyebut Onesimus sebagai “anaknya”. Lalu di ayat 12 rasul Paulus menyebut Onesimus sebagai “buah hatinya”. Walaupun demikian, rasul Paulus tidak menahan Onesimus untuk dirinya sendiri. Sebaliknya rasul Paulus menyuruh Onesimus kembali pulang kepada tuannya. Lebih dari pada itu agar kredibilitas Onesimus pulih kembali, maka di ayat 18-19 rasul Paulus dengan rela bersedia memberikan jaminan dan ganti rugi kepada Filemon, yaitu: “Dan kalau dia sudah merugikan engkau ataupun berhutang padamu, tanggungkanlah semuanya itu kepadaku – aku, Paulus, menjaminnya dengan tulisan tanganku sendiri: Aku akan membayarnya”. Bahkan rasul Paulus dalam suratnya kepada Filemon menyampaikan suatu permohonan: “Sebab mungkin karena itulah dia dipisahkan sejenak dari padamu, supaya engkau dapat menerimanya untuk selama-lamanya, bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih, bagiku sudah demikian, apalagi bagimu, baik secara manusia maupun di dalam Tuhan” (Filemon 1:15-16). Sikap kasih dari rasul Paulus tersebut tentunya akan berhasil untuk menghapus berbagai stigma negatif yang melekat di dalam diri Onesimus. Karena kini selain Onesimus telah menampakkan sikap pertobatannya, rasul Paulus juga telah memberikan suatu jaminan dan sebutan Onesimus sebagai “buah hati” dan “anaknya”.

Seringkali kita selaku umat percaya dengan mantap berdoa “ampunilah kesalahan kami, seperti kamipun mengampuni orang yang bersalah kepada kami”. Tetapi dalam praktek kita ternyata lebih cenderung dan terampil untuk memberikan stigma negatif kepada banyak orang yang kita anggap bersalah. Sangat berbeda sikap rasul Paulus ketika dia menghadapi orang yang sedang bermasalah dan melakukan kesalahan. Rasul Paulus tidak bersikap menghakimi Onesimus, melainkan dia membimbing dengan penuh kasih sehingga akhirnya Onesimus dapat percaya dan menerima Kristus. Rasul Paulus juga mengasihi Onesimus sedemikian rupa sampai dia menyebut Onesimus sebagai buah hati dan anaknya sendiri. Secara khusus pula rasul Paulus meminta kepada Filemon selaku tuannya agar mau menerima Onesimus bukan lagi sebagai seorang budak, tetapi sebagai saudara yang kekasih. Di sini status Onesimus yang dahulu budak diubah oleh rasul Paulus menjadi seorang saudara yang kekasih. Onesimus yang dahulu harus lari karena dia melakukan kejahatan kini dipulihkan statusnya oleh rasul Paulus menjadi seorang yang dapat kembali pulang dengan predikat yang baru di dalam kasih Kristus. Manakala Onesimus kemudian dapat diterima oleh tuannya Filemon sebagai saudara yang kekasih, bukankah ini berarti suatu kemungkinan bahwa status Onesimus tidak lagi dianggap sebagai seorang budak? Sebab bagaimana mungkin Filemon memperlakukan Onesimus yang kembali pulang ke rumahnya sebagai seorang budak sekaligus memperlakukan Onesimus sebagai saudara yang kekasih?

Sikap rasul Paulus tersebut pada hakikatnya merupakan cermin dari sikap kasih Allah sendiri. Di Yer. 18:1-11 Allah memerintahkan nabi Yeremia untuk pergi ke rumah tukang periuk. Ketika nabi Yeremia pergi ke rumah tukang periuk yang sedang bekerja, dia melihat bagaimana bejana yang dibentuk itu rusak atau menjadi bejana yang kurang sempurna, maka tukang periuk itu segera mengerjakannya kembali menjadi bejana yang lebih baik. Atas dasar pengamatan nabi Yeremia itu, Allah kemudian berfirman: “Masakan Aku tidak dapat bertindak kepada kamu seperti tukang periuk ini, hai kaum Israel!, demikianlah firman TUHAN. Sungguh, seperti tanah liat di tangan tukang periuk, demikianlah kamu di tangan-Ku, hai kaum Israel!” Dalam karya keselamatanNya, Allah memposisikan peranNya seperti tukang periuk yang sedang mengerjakan bejana. Apabila dalam proses pembuatan bejana tersebut hasilnya ternyata kurang sempurna, maka Allah akan segera membentuk bejana tersebut menjadi lebih baik dan sempurna. Allah tidak akan membiarkan umatNya dalam keadaan rusak dan binasa. Tetapi dengan kerahiman, dan kebijaksanaanNya, Allah senantiasa terus berupaya untuk memulihkan kembali martabat dan harkat manusia yang berdosa. Itu sebabnya karya keselamatan Allah senantiasa terjadi dalam seluruh perjalanan umat manusia. Allah tiada henti-hentinya terus berkarya agar Dia dapat memulihkan dan menyelamatkan umatNya yang berdosa. Pemulihan dan pengampunan Allah terlihat di Yer. 18:8, yaitu: “Tetapi apabila bangsa yang terhadap siapa Aku berkata demikian telah bertobat dari kejahatannya, maka menyesallah Aku, bahwa Aku hendak menjatuhkan malapetaka yang Kurancangkan itu terhadap mereka”. Pada sisi lain bentuk proses pemulihan dan penyelamatan Allah tersebut kadang-kadang juga melalui proses yang sangat menyakitkan. Sebab Allah kadang-kadang menggunakan cara hukuman kepada umatNya yang lebih memilih mengeraskan hati dan tetap hidup dalam dosa.

Di Yer. 18:7, Allah berfirman: “Ada kalanya Aku berkata tentang suatu bangsa dan tentang suatu kerajaan bahwa Aku akan mencabut, merobohkan dan membinasakannya”. Allah yang bernama Yahweh adalah Allah yang penuh dengan kerahiman, sehingga Dia berkenan mengampuni dan membatalkan hukumanNya terhadap orang-orang yang berdosa. Tetapi ketika umat tetap berdosa dan mengeraskan hatinya, maka Allah segera menggunakan prinsip kekudusan dan keadilanNya sehingga Dia mencabut, merobohkan dan membinasakannya. Allah memproses umat yang berdosa dengan hukuman dan penderitaan yang sangat berat. Tujuan dari hukuman Allah pada prinsipnya sama sekali bukan untuk menghancurkan atau membinasakan umatNya, justru sebaliknya Allah ingin agar umatNya dipulihkan dan dapat kembali hidup benar di hadapanNya. Seperti tukang periuk yang harus menggiling, membanting dan menggilas tanah liat di tangannya, demikian pula Tuhan kadang-kadang juga harus menggiling, membanting dan menggilas umatNya yang mengeraskan hatinya agar mereka dapat dibentuk menjadi bejana yang indah. Dalam konteks ini makna penderitaan dan kesakitan sebagai hukuman Allah sebenarnya merupakan suatu rahmat. Sebab manakala kita tidak mengalami penderitaan dan kesakitan akibat perbuatan dosa kita, sesungguhnya kita akan mengalami kebinasaan kekal. Sebab ini berarti Allah telah meninggalkan dan membuang kita. Tetapi ketika kita diperkenankan oleh Allah untuk diproses, dibentuk dan ditempa oleh berbagai penderitaan akibat dosa dan kesalahan seharusnya kita amini bahwa Allah sangat menyayangi dan ingin menolong kita agar kita memiliki masa depan dan kehidupan yang lebih berkualitas sebagai anak-anakNya. Khususnya melalui karya Kristus, Allah menyatakan kasihNya dengan merangkul manusia yang berdosa dan mengangkat kita semua sebagai anak-anakNya sendiri, yaitu sebagai buah hatiNya. Namun, bagaimanakah agar kita selaku umat percaya dapat diproses dan dibentuk tanpa harus mengalami hukuman Allah? Bagaimana sikap kita yang seharusnya agar kita dapat menjadi tanah yang liat sehingga kehidupan kita mudah dibentuk sebagai bejana yang indah di hadapan Allah dan sesama?

Kita tidak dapat dibentuk dan diproses oleh Allah sebagai tanah yang liat untuk menjadi bejana yang dikehendakiNya manakala kita tetap mengeraskan hati terhadap firmanNya dan hidup kita lebih lekat kepada hal-hal yang duniawi. Makna “lekat” kepada yang duniawi berarti orientasi hidup kita menempatkan segala hal yang duniawi sebagai yang paling menentukan, sehingga Allah diabaikan dan kuasaNya direlatifkan. Itu sebabnya kehidupan kita lebih banyak dipengaruhi, diwarnai, dan didominasi oleh segala hal yang duniawi sehingga kehidupan kita tidak lagi memancarkan sebagai gambar dan rupa Allah. Kita tidak hidup sebagai buah hati atau anak-anak Allah, tetapi sebaliknya sebagai buah hati dan anak-anak dari kuasa dunia ini. Akibatnya kehidupan kita menjadi rusak total dan jauh dari kemuliaan Allah. Jenis spiritualitas kita tidak menjadi tanah liat yang lentur dan mudah dibentuk tetapi justru spiritualitas kita sering menjadi tanah yang keras sehingga tidak mungkin lagi dapat dibentuk menjadi sebuah bejana sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Jadi kekerasan hati dan kelekatan roh kita kepada hal-hal yang duniawi menyebabkan kita kehilangan kemampuan untuk mengalami keselamatan dan proses pembaharuan yang dikerjakan oleh Allah. Itu sebabnya Tuhan Yesus memanggil kita untuk memahami dan mempraktekkan makna memikul salib. Di Luk. 14:27, Tuhan Yesus berkata: “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi muridKu”. Makna memikul salib di sini jelas menunjuk kepada kesediaan untuk menerima beban dari Kristus, dan bukan menerima dan memikul berbagai beban dosa. Ketika kita menerima dan memikul beban dari Tuhan, beban tersebut memang sangat berat tetapi senantiasa membebaskan dan menyelamatkan. Sebaliknya ketika kita memikul beban dosa, beban tersebut umumnya ringan dan menyenangkan tetapi senantiasa membawa kita kepada kebinasaan dan hukuman Allah.

Salah satu bentuk kelekatan yang menghalangi kita kepada proses pembentukan Allah adalah cinta kita yang berlebihan kepada para anggota keluarga, nyawa dan harta milik kita. Kita sering menempatkan keluarga, nyawa dan milik kita sedemikian penting, sehingga mereka sering menjadi penguasa atas hidup kita. Itu sebabnya Tuhan Yesus berkata: “Jikalau seorang datang kepadaKu, dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudara laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi muridKu” (Luk. 14:26). Tentu perkataan ucapan Tuhan Yesus dengan ungkapan “membenci” di sini bukanlah dalam pengertian yang sebenarnya. Lebih tepat makna kata “membenci” di sini justru lebih menunjuk kepada pengertian “mengasihi lebih dari pada apapun”. Sehingga barangsiapa yang mengasihi ayah, ibu, isteri, anak-anak, saudara-saudara laki-laki atau perempuan dan nyawanya sendiri lebih dari apapun juga, maka dia tidak layak untuk mengikut Tuhan Yesus. Sebab seseorang yang mengasihi para anggota keluarga, nyawa dan harta miliknya lebih dari pada apapun juga pastilah seorang yang tidak ingin menaklukkan diri di bawah kehendak Allah. Dia akan lebih cenderung ingin memberlakukan keinginan dan orientasi hidupnya sebagai yang paling utama. Kita dapat melihat dalam perjalanan sejarah ketika seseorang menempatkan para anggota keluarganya sebagai yang paling utama, yaitu munculnya sikap nepotisme atau dinasti keluarga yang cenderung untuk mengidolakan para anggota keluarga sehingga melahirkan berbagai tindakan yang a-sosial. Atau seseorang yang terlalu mencintai nyawanya sendiri sehingga melahirkan sikap egoisme diri, dan rasa cinta yang berlebihan kepada etnisnya sendiri melahirkan sikap rasialisme; rasa cinta yang berlebihan kepada bangsanya sendiri melahirkan sikap chauvinisme. Demikian pula rasa cinta kepada uang dan materi yanga berlebihan akan melahirkan sikap materialisme. Semua sikap tersebut terwujud dalam realita kehidupan manusia karena kita tidak menempatkan Allah sebagai satu-satunya pusat kehidupan kita.

Onesimus sebelumnya sempat menjadikan harta milik atau uang sebagai yang paling utama sehingga dia berani melakukan tindakan yang merugikan tuannya. Tetapi ketika dia berjumpa dengan rasul Paulus, sehingga dia mengenal kasih Allah di dalam Kristus, Onesimus bersedia bertobat dan mengalami kehidupan yang baru. Dia sama sekali tidak mengeraskan hati, tetapi Onesimus membiarkan kuasa kasih Kristus bekerja untuk mentransformasikan kehidupannya. Keadaan akan berbeda manakala Onesimus waktu itu tetap mengeraskan hati dan tidak mau bertobat. Proses pemulihan yang dilakukan Allah kepadanya mungkin menjadi sangat panjang dan berliku. Lebih dari pada itu proses pemulihan yang dikerjakan Allah di dalam hidup Onesimus mungkin sangat menyakitkan dan memalukan. Tetapi syukurlah Onesimus bersedia membuka hatinya dan bertobat. Sehingga dia kini bukan hanya dapat kembali ke rumah Filemon; tetapi juga dia dianggap sebagai buah hati dan anak dari rasul Paulus, bahkan Onesimus tidak dianggap oleh Filemon sebagai seorang budak, tetapi dia dapat menjadi saudara kekasih di dalam Kristus. Dalam hal ini Onesimus dapat menjadi sebuah bejana yang bersedia dibentuk oleh Allah menurut kehendak dan rencanaNya. Karena dia bersedia membuka seluruh hatinya terhadap pekerjaan Roh Kudus, dan dia bersedia untuk melepaskan segala kelekatan duniawi agar dia dapat mengikut Kristus dengan paradigma yang baru. Bagaimana dengan kehidupan saudara? Apakah hidup saudara menjadi bejana yang siap dibentuk oleh Allah? Marilah kita belajar melepaskan segala kelekatan diri terhadap hal-hal yang duniawi ini, sehingga kita dapat menjadi murid Kristus yang selalu lentur untuk diproses dan dibaharui. Amin.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

MENJAMU PARA MALAIKAT

Renungan Minggu, 2 September 2007


Yer. 2:4-13; Mzm. 81:1-16; Ibr. 13:1-8, 15-16; Luk. 14:1, 7-14

Secara kebetulan saya berkenalan dengan seorang Nigeria di suatu seminar. Dari perkenalan itu akhirnya kami berteman, sehingga kami dapat berbicara dari hati ke hati. Akhirnya dia mengisahkan peristiwa yang mengerikan yang pernah menimpa dirinya ketika terjadi konflik agama di negaranya antara Muslim dan Kristen. Dia kehilangan hampir seluruh keluarga besarnya. Mereka dibantai dan dibunuh secara mengerikan. Sebelum membunuh mereka berulang-ulang meneriakkan nama Allah. Fenomena tersebut mencerminkan kebengisan kepada sesama yang telah dilegitimasikan dengan model teologi yang vertikalistis. Jadi pengertian model teologi yang vertikalisme pada prinsipnya merupakan keyakinan yang dogmatis bahwa tindakan memuliakan Allah ditempuh dalam berbagai cara untuk menegakkan keyakinan agamanya sedemikian rupa, sehingga dimungkinkan bagi mereka untuk meniadakan atau membinasakan sesama yang dianggap tidak sejalan atau tidak memiliki keyakinan yang sama. Dengan kata lain pemahaman teologi yang vertikalis menempatkan “keagungan Allah” dengan meniadakan “keagungan ciptaanNya” manakala ciptaanNya tersebut dianggap tidak mempermuliakan Allah menurut prinsip keyakinan agamanya. Sehingga tidak mengherankan agama-agama yang cenderung hanya vertikalis dalam perjalanan sejarah umumnya mudah jatuh dalam berbagai tindakan kekerasan terhadap sesama yang dianggap berbeda keyakinan atau agama. Mereka sangat serius menegakkan keagungan Allah, tetapi mereka gagal untuk menegakkan kasihNya.

Sebenarnya para penganut teologi vertikalis juga mengenal dan mempraktekkan “kasih persaudaraan”. Tetapi kasih persaudaraan yang mereka maksudkan hanyalah sebatas persaudaraan di lingkungan internal mereka saja. Kasih yang mereka maksudkan bukanlah kasih yang universal, yaitu kasih yang tertuju kepada setiap orang tanpa memandang keyakinan, agama dan suku atau bangsa. Di tengah-tengah situasi yang demikian, penulis surat Ibrani memberi nasihat: “Peliharalah kasih persaudaraan!” (Ibr. 13:1). Tetapi kasih persaudaraan yang dimaksudkan oleh penulis surat Ibrani ternyata tidak eksklusif dan terbatas hanya kepada suatu lingkungan internal jemaat Kristen saja. Sebab di Ibr. 13:2 firman Tuhan berkata: “Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat”. Pemberian tumpangan yang dimaksudkan dalam Ibr. 13:2 ternyata bukan hanya ditujukan kepada orang-orang yang kita telah kenal, tetapi justru diingatkan agar kita mau peduli dengan orang-orang asing yang membutuhkan pertolongan. Di Kej. 18:1-15 disaksikan bagaimana sikap Abraham yang menunjukkan kemurahan hati dan keramahannya saat dia menyambut 3 orang tamu asing di kemahnya. Abraham segera menyediakan makanan dan minuman kepada para tamunya serta membasuh kaki mereka. Akhirnya diketahui oleh Abraham bahwa ketiga orang tamunya itu sesungguhnya adalah para malaikat Tuhan. Tradisi dari kisah Abraham ini menyampaikan suatu pesan teologis bahwa Allah kadang-kadang menyatakan diriNya sebagai tamu-tamu asing yang hadir di tengah-tengah kehidupan kita. Allah tidak hanya tampil dalam keagunganNya saja, tetapi juga Dia kadang-kadang menyatakan diriNya melalui sesama yaitu orang-orang asing (the strangers) yang mungkin tidak satu suku, satu keyakinan dan satu agama dengan kita. Allah kita adalah Allah yang transenden (melampaui segala hal dan sangat agung), tetapi sekaligus Dia imanen (hadir) di tengah-tengah realita kehidupan kita.

Orang-orang asing yang perlu kita bela dan lindungi dalam kehidupan sehari-hari mungkin tampil sebagai orang-orang hukuman dan orang-orang yang diperlakukan secara sewenang-wenang. Kita mengetahui apa artinya keadaan dan status dari orang-orang hukuman karena mereka umumnya tidak berdaya dan sering diperlakukan secara sewenang-wenang. Mereka membutuhkan kemurahan hati dan kasih kita agar mereka memperoleh sedikit kelegaan dan keringanan dari beban hidup yang sangat berat. Sehingga mereka dapat merasakan kebaikan Allah yang luar biasa ketika mereka memperoleh segelas air dan sesuap makanan serta keramahan kita yang tulus. Dalam hal ini betapa sering wajah kita tidak ramah dan tangan kita tidak menunjukkan kemurahan kepada sesama yang sedang terbeban dan menanggung persoalan yang begitu berat. Manakala kita tidak ramah dan bermurah hati untuk hal-hal yang sederhana, maka kita tidak mungkin memberikan kemurahan hati untuk membela kasus mereka d depan hukum. Saya sangat terkesan dengan seorang pengacara dari Pakistan yaitu Parvez Aslam yang memiliki komitmen untuk membela setiap orang yang tertindas di negaranya. Karena umat Kristen di Pakistan banyak ditindas, diteror dan difitnah, dia beberapa kali menunjukkan komitmen pembelaannya di depan hukum. Untuk itu dia membentuk suatu asosiasi pengacara pengadilan tinggi (advocate high court) agar pembelaannya dapat lebih efektif dan keadilan ditegakkan bagi orang-orang yang tertindas dan tidak berdaya.

Model teologi/agama yang vertikalistis sering gagal melihat kehadiran Allah dalam diri sesama yang ada di sekitarnya. Mereka terus-menerus mencari dan menyembah Allah yang di atas, tetapi mereka mengabaikan kehadiran Allah di tengah-tengah kehidupan bersama sesamanya. Tepatnya teologi yang vertikalistis sering memisahkan secara tajam diri Allah dengan eksistensi dan hidup sesama. Mereka merasa telah beriman dan melakukan hal-hal yang berkenan kepada Allah dengan berbagai ritual ibadah dan hukum-hukum agama, tetapi mereka tidak peduli dan mengasihi sesamanya yang berbeda. Martin Buber seorang filsuf Yahudi dalam bukunya yang berjudul “I and Thou” mengulas secara mendalam tentang kehadiran Allah yang ditampilkan dalam wajah sesama. Sebab kecenderungan manusia pada umumnya memiliki relasi “I-It” (aku dan benda) yang mana sesama hanya dijadikan obyek, sehingga nilai dan martabat kemanusiaannya tidak dipedulikan dan dihargai sebagaimana yang seharusnya. Karena sesama hanya dijadikan obyek, maka sesama sering dieksploitasi, disiksa dan dibunuh. Kita dapat melihat berbagai kasus seperti pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan kepada para tenaga kerja Indonesia, ekploitasi sebagai budak dan gaji yang tidak manusiawi. Dalam relasi “I-It” agama banyak berbicara tentang Allah, tetapi mereka gagal memahami Allah sebagai pribadi (“religion means talking to God, not about God”). Itu sebabnya Buber mengajak agar kita berbicara kepada Allah secara personal melalui kehadiran dari pribadi-pribadi sesama. Bahkan manusia menjadi lebih sadar akan keberadaan Allah dalam setiap perjumpaan dengan sesama jika dia mau tetap terbuka dan siap memberi respon dengan seluruh keberadaannya (“man becomes aware of being addressed by God in every encounter if he remains open to that address and ready to respond with his whole being”). Makna “kasih persaudaraan” tidak lagi dipahami bahwa sesama yang dikasihi hanya karena dia sepaham, sesuku, seiman atau seagama; tetapi karena melalui sesama tersebut, Allah berkenan menyatakan wajahNya. Itu sebabnya di Mat. 25:40, Tuhan Yesus berkata: “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”.

Di Mat. 25:40 justru Tuhan Yesus menegaskan bahwa kehadiran diriNya dinyatakan melalui setiap sesama yang hina-dina. Sehingga perlakuan kita kepada setiap orang yang hina-dina pada hakikatnya merupakan perlakuan kita secara langsung kepada Tuhan Yesus. Ini berarti betapa seriusnya Tuhan Yesus menempatkan masalah hubungan kita dengan sesama sebagai bentuk hubungan kualitatif iman kita dengan Allah. Dalam konteks ini kita dianggap tidak beriman oleh Tuhan Yesus, ketika kita gagal untuk peduli dan mengasihi sesama. Manakala kita tidak mengasihi sesama, maka kita akan ditolak untuk masuk ke dalam kerajaan Allah. Dalam pandangan Tuhan Yesus sesama yang menderita dan hina tidak dianggap sebagai kelompok yang boleh dimarginalisasi dan dieksploitasi oleh karena ketidakberdayaannya. Justru umat percaya dipanggil untuk memberi prioritas dan perhatian kasih kepada sesama yang hina dan menderita. Di Luk. 14:13-14, Tuhan Yesus berkata: “Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Sebab engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar”. Nasihat Tuhan Yesus tersebut ditempatkan secara kontras dengan kecenderungan dan pola berpikir dunia pada umumnya. Sikap dunia pada umumnya lebih cenderung untuk memberi perhatian dan kasih hanya kepada sesama yang setara, yang kaya, sepaham dan yang mampu membalas kebaikan. Dalam hal ini kasih persaudaraan dipahami oleh dunia sebagai bentuk kasih dan kepeduliaan kita kepada teman-teman, saudara-saudara, orang-orang yang berada, orang-orang yang sesuku dan seagama. Mengapa kita lebih peduli dan mengasihi mereka? Di Luk. 14:12b, Tuhan Yesus berkata: “karena mereka akan membalasnya dengan mengundang engkau pula dan dengan demikian engkau mendapat balasan”. Betapa sering motif kita memberi dan melakukan kasih kepada sesama atau orang-orang tertentu, karena sebenarnya kita ingin memperoleh balasan dan pujian dari mereka. Itu sebabnya kita menjadi kurang peduli dan berlaku kurang ramah serta tidak bermurah hati kepada orang-orang yang miskin, hina dan menderita; karena mereka tidak mampu membalas kebaikan dan kemurahan hati kita.

Hubungan firman Tuhan di Ibr. 13:1-2 dan Luk. 14:13-14 merupakan hubungan yang sinergis dan saling melengkapi. Ketika kita memperlakukan sesama yang hina, miskin dan menderita dengan penuh kasih sesungguhnya kita telah menjamu para malaikat Tuhan. Kehadiran Allah bukan hanya di sorga, tetapi di bumi ini yaitu realita hidup kita. Kasih persaudaraan terwujud ketika kehadiran Allah dialami melalui kehadiran dari setiap sesama khususnya mereka yang miskin, cacat, lumpuh dan orang-orang buta. Mereka tidak lagi ditempatkan berada di luar wilayah hidup kita, tetapi sebaliknya mereka berada secara riel di dalam pusat hidup kita. Kita tidak sekedar bersimpati dengan penderitaan dan kesusahan mereka, tetapi lebih dari pada itu kita terpanggil untuk berempati dan berbela-rasa dengan mereka. Sehingga penderitaan dan kesusahan mereka menjadi pijakan yang integral dengan spiritualitas iman kita kepada Tuhan. Ini berarti penderitaan dan kesusahan mereka bukan sekedar sasaran dari spiritualitas iman kita, tetapi lebih dari pada itu penderitaan dan kesusahan mereka kini dapat terintegrasi secara penuh dengan spiritualitas kita. Dalam tahap spiritualitas yang demikian, kita dapat menghayati dan mengalami kembali makna penderitaan Kristus yang telah mengasihi setiap orang yang menderita dan menjadi korban ketidakadilan.

Manakala nabi Yeremia menegur umat Israel yang telah berbalik dari Allah dengan mengikuti dewa kesia-siaan, sebenarnya nabi Yeremia mau mengingatkan dan menegaskan bahwa relasi Allah dan umat Israel berada dalam relasi kasih. Di Yer. 2:2, Allah berfirman: “Aku teringat kepada kasihmu pada masa mudamu, kepada cintamu pada waktu engkau menjadi pengantin, bagaimana engkau mengikuti Aku di padang gurun, di negeri yang tiada tetaburannya”. Tetapi ternyata kemudian umat Israel berpaling dengan meninggalkan Allah. Mereka menyembah berbagai dewa kesia-siaan. Pengertian dewa kesia-siaan di sini sebenarnya menunjuk tindakan penyembahan berhala di mana mereka menjadikan “sesuatu yang bukan Allah” sebagai idol mereka. Jadi Allah tidak lagi menjadi idol utama yang dimuliakan. Akibatnya, para berhala atau dewa kesia-siaan tersebut menjauhkan umat Israel dari kuasa kasih Allah. Sebab mereka kemudian akan mengidolakan (memberhalakan) berbagai nafsu, pola hidup dan berbagai tingkah-laku yang buruk seperti mempersembahkan sesama atau anak-anak mereka kepada para berhala itu (bandingkan Im. 18:21!). Umumnya penyembahan berhala dalam pengertian ini senantiasa diikuti oleh kejahatan dan kekerasan kepada sesama. Jadi kasih persaudaraan dalam arti yang universal dan suci tidak mungkin dilakukan oleh para penyembah berhala. Sebab para penyembah berhala akan cenderung untuk menjadikan orang lain sebagai korban. Karena itu pengertian para penyembah berhala kini bukan hanya menunjuk kepada orang-orang yang tidak ber-Tuhan atau “kafir”; tetapi penyembah berhala sebenarnya juga menunjuk orang-orang yang menjadikan sesamanya sebagai korban sebagai pelampiasan hawa nafsu dan keinginannya yang duniawi.

Jika demikian, makin jelaslah bahwa pengertian para penyembah berhala tidak lagi hanya terbatas kepada orang-orang yang tidak beragama; tetapi para penyembah berhala pada masa kini meliputi setiap orang yang tidak menempatkan Allah sebagai pusat hidupnya sehingga mereka kehilangan kuasa kasihNya yang suci. Karena itu mereka tidak mampu mengasihi sesama sebagaimana yang seharusnya. Mereka lebih suka memperlakukan sesama hanya sebagai benda dan obyek untuk dieksploitasi. Karena itu mereka tidak pernah berjumpa dengan Allah walau mereka mungkin sangat khusuk dan taat beribadah. Jika demikian, kualitas iman kita kepada Tuhan Yesus sangat ditentukan pula oleh sikap dan perlakuan kita kepada sesama khususnya mereka yang hina, menderita dan menjadi korban ketidakadilan. Bagaimanakah sikap dan respon saudara? Amin.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

SETIA DALAM PANGGILAN

Renungan 26 Agustus 2007

HUT Penyatuan GKI ke XIX


Yer. 1:4-10, Mzm. 71:1-6, Ibr. 12:18-29, Luk. 13:10-17

Kita sering berpikir bahwa pemerintah HIndia Belanda yang beragama Kristen zaman pra-kemerdekaan Republik Indonesia tentulah senantiasa mendukung pengembangan iman Kristen. Padahal dari dokumen sejarah terlihat bahwa pemerintah Hindia Belanda pada zaman dahulu di pulau Jawa sering menyita sejumlah Alkitab Perjanjian Baru. Sehingga praktis sampai tahun 1850 pulau Jawa tertutup bagi penginjilan dan pengembangan gereja Tuhan. Namun sangat menarik proses pendirian dan pengembangan jemaat yang kelak menjadi cikal bakal GKI di wilayah Jawa Timur dimulai oleh peristiwa yang sederhana tetapi langka. Seorang pemuda usia 18 tahun bernama Oei Soei Tiong pada tahun 1894 bekerja di pabrik petasan di Sidoarjo secara tidak sengaja menemukan sobekan kertas yang ternyata sobekan dari Injil Yohanes yang mana Tuhan Yesus berkata: “Akulah Gembala yang baik” (Yoh. 10:11). Sobekan dari Yoh. 10:11 ini kemudian membawa Oei Soei Tiong mengenal Kristus. Dia kemudian dibaptis pada tanggal 19 Februari 1898 di Kendal Payak, Malang Selatan. Setelah itu Oei Sioe Tiong membentuk persekutuan di antara orang-orang Tionghoa. Kelak persekutuan-persekutuan tersebut menjadi cikal bakal jemaat GKI wilayah Jawa Timur. Demikian pula kisah cikal bakal pendirian jemaat di wilayah GKI Jawa Barat yang dimulai dari seorang pemuda bernama Ang Boeng Swi. Dia mengenal Kristus karena ingin mengenal keselamatan yang sesungguhnya. Dalam pencarian keselamatan itu, secara kebetulan dia bertemu dengan seorang temannya yang sedang membawa Alkitab dalam bahasa Jawa. Dia tertarik untuk mempelajari isi Alkitab tersebut. Saat Ang Boeng Swi membaca isi Alkitab itu dia makin sangat terpikat dan percaya dengan firman Tuhan. Dia kemudian dibaptis pada tahun 1858. Kelak dari pelayanan Ang Boeng Swi berdiri jemaat yang bernama GKI Indramayu. Sedang jemaat GKI wilayah Jawa Tengah sebenarnya dimulai oleh pelayanan perseorangan. Pelayanan tersebut berkembang pesat, kemudian mulai tanggal 8 Agustus 1945 di Jawa Tengah secara resmi berdirilah gereja yang kemudian disebut GKI Jawa Tengah.

Kedua tokoh tersebut yaitu Oei Sioe Tiong dan Ang Boeng Swi merupakan kisah dari para pemuda yang pernah digerakkan oleh Tuhan melalui pembacaan Alkitab sehingga mereka mengenal Kristus dan terpanggil untuk melayaniNya. Sangat menarik, bertepatan dengan hari ulang tahun penyatuan GKI yang ke-19 firman Tuhan pada hari ini juga berbicara tentang kisah seorang pemuda yang dipanggil oleh Allah. Di Yer. 1:4-10 kita dapat melihat panggilan Allah kepada Yeremia untuk menjadi nabiNya. Allah berfirman kepada Yeremia: “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa” Yer. 1:5). Namun jawaban Yeremia waktu itu masih dipenuhi dengan keragu-raguan sebab dia merasa masih muda dan tidak pandai bicara, sehingga dia berkata: “Ah, Tuhan Allah! Sesungguhnya aku tidak pandai berbicara, sebab aku ini masih muda” (Yer. 1:6). Apabila kedua pemuda yang bernama Oei Sioe Tiong dan Ang Boeng Swi menemukan keselamatan dan panggilan karena mereka membaca ayat-ayat Alkitab, maka dalam kisah pemanggilan Allah kepada nabi Yeremia lebih menunjuk kesaksian tentang otoritas atau kedaulatan Allah atas hidup manusia. Jadi dalam pemanggilan Allah kepada nabi Yeremia, dapat dinyatakan dalam model: “Allah memanggil, manusia memberi respon/jawaban”. Sebaliknya dalam kisah Oei Sioe Tiong dan Ang Boeng Swi merupakan model panggilan Allah yang dimulai dari: “manusia bertanya, dan Allah menjawab”. Kedua bentuk panggilan Allah tersebut, yaitu model otoritas atau kedaulatan Allah dan model manusia diberi rahmat untuk bertanya pada hakikatnya merupakan dinamika dari cara penyataan Allah di dalam sejarah umatNya agar mereka dapat melayani Allah sebagai para hambaNya. Itu sebabnya peristiwa penyatuan GKI yang terdiri dari ketiga sinode wilayah yaitu GKI wilayah Jawa Barat, GKI wilayah Jawa Tengah dan GKI wilayah Jawa Timur pada tanggal 26 Agustus 1988 merupakan karya Allah yang berkenan menjadikan manusia sebagai kawan-sekerjaNya. Dalam usianya yang relatif masih muda, penyatuan jemaat dari ketiga sinode wilayah yang bernama GKI tersebut juga menerima panggilan dari Allah untuk mencabut dan merobohkan setiap dinding pemisah, untuk membinasakan dan meruntuhkan perseteruan dan kebencian; dan untuk membangun dan menanam kasih, keadilan dan perdamaian (bandingkan Yer. 1:10). Sebab Allah telah meletakkan firmanNya di dalam kehidupan jemaat (Yer. 1:9) agar firman itu terus diberitakan dan disebarkan.

Dasar penyatuan jemaat dari ketiga sinode wilayah dari GKI Jawa Barat, GKI Jawa Tengah dan GKI Jawa Timur pada hakikatnya sebagai respon iman kepada karya keselamatan Kristus yang telah terjadi dalam peristiwa salib. Dalam peristiwa salib, darah Kristus yang tertumpah berkuasa untuk mendamaikan antara Allah dengan manusia yang berdosa; dan mendamaikan antara manusia dengan sesamanya. Itu sebabnya di Ef. 2:14 rasul Paulus berkata: “Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan”. Sangat berbeda dengan makna peristiwa penumpahan darah Habel yang telah dibunuh oleh Kain, kakaknya. Setelah Habel dibunuh oleh Kain, Allah berfirman kepada Kain: “Apakah yang telah kauperbuat ini? Darah adikmu itu berteriak kepadaKu dari tanah. Maka sekarang, terkutuklah engkau, terbuang jauh dari tanah yang mengangakan mulutnya untuk menerima darah adikmu itu dari tanganmu” (Kej. 4:10-11). Darah Habel menuntut balas dan menimbulkan kutukan bagi Kain sehingga dia harus terbuang jauh dan terkucilkan dari pergaulan dengan sesamanya. Dengan pemahaman ini kita dapat melihat bahwa peristiwa penyatuan jemaat dari ketiga sinode wilayah GKI pada prinsipnya untuk memenuhi panggilan Allah yaitu setiap diri kita juga dipanggil untuk saling membuat jembatan yang menghubungkan komunikasi yang telah rusak antara Allah dengan manusia, dan komunikasi antara manusia dengan sesamanya. Penyatuan GKI tidak boleh menjadi penyatuan yang membahayakan eksistensi jemaat atau gereja-gereja yang lain. Juga penyatuan GKI sama sekali tidak boleh membahayakan hubungan dengan para pemeluk agama lain. Bahkan sebaliknya penyatuan GKI seharusnya mampu menjadi media yang komunikatif dan membawa rahmat, bukan untuk berkonfrontasi dengan sesamanya. Penyatuan GKI adalah karya rahmat Allah yang membawa damai-sejahtera dan pengampunanNya, sebab berdasar kepada karya penebusan Kristus di atas kayu salib; dan sama sekali bukan didasarkan kepada tuntutan pembalasan dendam dari darah Habel. Sehingga sangatlah tepat firman Tuhan di Ibr. 12:24 berkata: “dan kepada Yesus, Pengantara perjanjian baru, dan kepada darah pemercikan, yang berbicara lebih kuat dari pada darah Habel”.

Ini berarti kita selaku jemaat GKI dalam menghayati makna ibadah atau kebaktian tidak boleh sekedar suatu ritual keagamaan. Tetapi melalui ibadah yang diselenggarakan oleh GKI pada prinsipnya bertujuan agar kita dapat membangun spiritualitas iman kepada Kristus sehingga kita dimampukan untuk menjadi media damai-sejahtera Allah dengan setiap orang yang kita jumpai. Di Ibr. 12:28, firman Tuhan berkata: “Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepadaNya, dengan hormat dan takut”. Teologi GKI menempatkan ibadah sebagai dasar spiritualitas iman setiap jemaat untuk melayani karya keselamatan Allah dengan mengabdikan diri kita, yaitu: untuk mencabut dan merobohkan setiap dinding pemisah, untuk membinasakan dan meruntuhkan perseteruan dan kebencian; dan untuk membangun dan menanam kasih, keadilan dan perdamaian. Sehingga melalui ibadah atau kebaktian di GKI kita boleh mendengar panggilan firman Allah yang selalu memampukan kita untuk mau peduli dan membebaskan setiap orang yang terbelenggu dan berada di bawah kuasa dosa dengan kuasa kasih Kristus. Namun betapa sering dalam lingkungan jemaat GKI, kebaktian masih dipakai sebagai sarana untuk memuaskan kebutuhan dirinya sendiri. Akibatnya di antara kita cukup banyak anggota jemaat yang tidak pernah terdorong untuk ambil bagian dalam pelayanan, atau bersikap enggan untuk terlibat dengan serius dalam berbagai persoalan masyarakat dan bangsa. Mereka sangat sibuk dengan permasalahan diri mereka pribadi, sehingga mereka tidak pernah mau mendengar panggilan Allah sebagaimana dinyatakan kepada nabi Yeremia.

Dengan penyatuan GKI yang relatif masih muda, sebenarnya kita masih belum memiliki pengalaman yang cukup untuk menghayati makna keesaan gereja. Sehingga dalam kondisi yang demikian kita sebagai jemaat membutuhkan pijakan hukum (peraturan-peraturan gerejawi yang sifatnya yuridis-teologis) dan landasan ekklesiologi (pemahaman tentang makna hidup berjemaat, ber-klasis dan ber-sinode) yang kuat dan teratur. Tetapi kebutuhan tersebut dapat menjadi suatu bumerang, yaitu seperti senjata makan tuannya. Karena secara tidak sadar atau cukup disadari kita cenderung menjadi orang-orang yang bersifat terlalu legalistis dan mengedepankan peraturan dan ajaran gereja sedemikian rupa sampai kita tidak tanggap dan rela mengorbankan kebutuhan yang lebih manusiawi. Sebagai contoh kita dapat menggunakan Tata Gereja GKI sebagai legitimasi atau pembenaran diri, atau kita menggunakan klausul-klausul peraturan Tata Gereja sebagai pengganti firman Tuhan yaitu Alkitab dalam mengambil keputusan gerejawi. Atau mungkin sebaliknya kita secara dangkal menggunakan ayat-ayat Alkitab tertentu untuk menolak dan membuang peraturan Tata Gereja tanpa pijakan studi teologis yang seharusnya. Sikap kita tersebut sebenarnya juga mencerminkan pengaruh dari spiritualitas orang-orang Farisi dan ahli Taurat pada zaman Tuhan Yesus. Sebab orang-orang Farisi dan ahli Taurat sering menggunakan peraturan hukum Taurat tentang hari Sabat untuk menolak karya keselamatan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus.

Di Luk. 13:10-17 menyaksikan Tuhan Yesus yang sedang mengajar pada hari Sabat di salah satu rumah ibadah/sinagoge. Ketika Tuhan Yesus mengajar, Dia melihat seorang perempuan yang telah 18 tahun sakit bungkuk di punggungnya. Luk. 13:12-13 memberi kesaksian demikian, yaitu: “Ketika Yesus melihat perempuan itu, Ia memanggil dia dan berkata kepadanya: Hai ibu, penyakitmu telah sembuh. Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas perempuan itu, dan seketika itu juga berdirilah perempuan itu, dan memuliakan Allah”. Disaksikan bahwa “ketika” Tuhan Yesus melihat perempuan itu, Dia segera memanggil dan menyembuhkan ibu yang sedang sakit bungkuk di punggungnya. Artinya waktu itu Tuhan Yesus tidak menunda-nunda pertolongan kepada ibu yang telah 18 tahun sakit bungkuk di punggungnya. Jadi Tuhan Yesus segera menyembuhkan wanita tersebut pada hari itu juga, yang kebetulan hari itu adalah Sabat. Di Luk. 13:14 menyaksikan kepala rumah ibadah itu menjadi sangat gusar karena Yesus menyembuhkan wanita itu pada hari Sabat. Di Luk. 13:15-16, Tuhan Yesus memberi jawaban, yaitu: "Hai orang-orang munafik, bukankah setiap orang di antaramu melepaskan lembunya atau keledainya pada hari Sabat dari kandangnya dan membawanya ke tempat minuman? Bukankah perempuan ini, yang sudah delapan belas tahun diikat oleh Iblis, harus dilepaskan dari ikatannya itu, karena ia adalah keturunan Abraham?" Orang-orang Farisi dan ahli Taurat mempunyai kebiasaan untuk melepaskan hewan peliharaannya mereka pada hari Sabat, tetapi mereka melarang Tuhan Yesus melepaskan penderitaan seorang wanita pada hari Sabat. Dengan pola berpikir yang serba legalistis dan dangkal dapat membuat seseorang memiliki anggapan bahwa “hewan peliharaannya” atau harta miliknya lebih penting dari pada keselamatan dan kebahagiaan sesamanya. Atau suatu anggapan/pandangan yang menempatkan hukum dan peraturan harus ditegakkan sedemikian rupa tanpa pernah dia mau peduli terhadap efek atau akibatnya bagi orang-orang yang akan menanggungnya. Apabila jemaat-jemaat GKI memiliki dan mempraktekkan sikap pandangan dan spiritualitas orang-orang Farisi dan ahli Taurat tersebut, maka kita akan menjadi jemaat yang sangat kaku, legalistis, merasa diri selalu benar, perasaan superioritas diri, dan kita kehilangan kepekaan terhadap permasalahan sesama manusia.

Kita selaku jemaat Tuhan yang berjuang di tengah-tengah dunia ini juga tidak boleh menyerah ketika kita dihambat untuk melaksanakan karya keselamatan Allah. Sebagaimana Kristus juga dihambat oleh kepala rumah ibadat, maka gereja Tuhan juga akan mengalami penghambatan atau penolakan oleh kuasa dunia ini. Sejauh kita selaku gereja Tuhan sungguh-sungguh konsisten untuk setia kepada panggilan kita menghadirkan karya keselamatan Allah di tengah-tengah kehidupan umat manusia, kita tidak boleh kecil hati atau gentar ketika kita dihambat atau dirintangi. Karena itu kita harus tahu secara persis dan obyektif apakah rintangan atau hambatan tersebut disebabkan oleh pola pendekatan dann pola komunikasi kita yang kurang bijaksana, ataukah memang hambatan tersebut terjadi karena kita konsisten dengan nilai-nilai iman Kristen yaitu sikap kasih sebagaimana yang telah diajarkan oleh Tuhan Yesus. Jadi seluruh jemaat GKI dipanggil untuk senantiasa konsisten dalam memberlakukan kasih dan keadilan dengan membela setiap orang yang tertindas dan lemah tanpa mempedulikan latar-belakang suku, etnis dan agama. Jika panggilan ini dapat terwujud maka kita dapat menjadi jemaat yang membawa rahmat Allah dan pembebas bagi sesama kita. Bagaimanakah sikap keputusan saudara untuk merespon HUT penyatuan GKI ke-19? Mari kita meresponnya dengan sikap setia dan komitmen iman yang mantap sebagai para pelayan Kristus, yaitu untuk berjuang menghadirkan karya kasih Allah di atas muka bumi ini. Amin.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono